SORE itu Ifah pulang dengan gelisah. Ia baru ingat. Hari itu tanggal 18, hari terakhir jatuh tempo pembayaran untuk anaknya kuliah. Ia tau pasti, dana yang terkumpul dari pendapatannya dan suami sangat terbatas.
Meskipun “hanya” kurang satu juta rupiah, tetap saja Ifah pusing dibuatnya. Sebab dana yang lain tidak bisa diganggu lagi dengan keperluan berbeda.
Sambil menunggu kepulangan suami, Ifah menelpon uminya. Sudah menjadi kebiasaannya rutin menghubungi orangtuanya.
Ifah terkejut karena terigat Kiriman dana bulanan untuk orangtuanya ternyata belum ditunaikan.
Selama ini, Ifah ikut menanggung pemakaian listrik, air dan berbagai keperluan orangtuanya. Ia merasa ada sejumlah pengeluaran tak terduga yang melampaui keuangan keluarganya.
Sempat terbetik untuk acuh. Toh ia masih memiliki saudara lain yang bisa memenuhi kebutuhan orangtua mereka. Anehnya, justru muncul rasa sombong. Merasa diri paling berjasa pada keluarga khususnya kepada uminya selama ini.
Syukur, secepat itupula ia beristighfar. Usai menelepon, Ifah segera mentransfer sejumlah dana kepada uminya. Kali ini ia bahkan sengaja melebihkan dari biasanya. Selesai transaksi, kembali Ifah mengecek saldo rekeningnya. Dana yang sedianya untuk membayar uang kuliah anaknya, kini tampak makin berkurang. Lagi-lagi otaknya berpikir keras. Ke mana ia mencari tambahan dana untuk tersebut.
Ifah tak ingin menyesal karena telah meringankan kebutuhan uminya. Sebaliknya ia juga tidak bisa menunda pembayaran uang kuliah anaknya karena terancam denda.
Masih dengan perasaan gulana, Ifah segera mengambil air wudhu. Ia merasa tak punya pelarian lagi kecuali shalat dua rakaat, bersimpuh di hadapan kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala (Swt). Baru selesai salam, tiba-tiba suaminya datang mengetuk pintu rumah. Ada lara yang membuncah, ingin segera ia mengadu kepada suaminya. Tapi Ifah berusaha menahan sekuat tenaga. Ia tidak mau menambah letih suaminya yang baru pulang dari pekerjaannya.
“Wan Ifah, alhamdulillah ada rezeki tidak disangka tadi,” ujar suaminya membuka percakapan sambil tersenyum.
“Pak Rahman datang melunasi pinjamannya yang tiga tahun lalu itu. Entahlah, tiba-tiba saja ia datang ke tadi,” imbuh suaminya sambil menyerahkan sebuah amplop tebal.
“Allahu Akbar…!” Allahu Akbar...!
Ifah takbir atas kuasa Allah, ia sendiri sudah lupa perihal uang piutang itu. Waktu itu mereka hanya berniat menolong Pak Rahman, temen akrab suaminya itu.
Dengan rasa syukur Ifah segera membuka amplop itu. Lembar demi lembar terlihat dari dalam amplop. Lembaran itu bahkan masih lengkap dengan ikatan penanda dari bank.
MasyaAllah , lagi-lagi ia hampir berteriak. Uang tersebut ternyata persis 200 kali lipat dari jumlah yang baru saja ia transfer kepada uminya tadi. Masih dalam sujud syukurnya, sebuah pesan singkat masuk atas nama uminya.
“Ifah, terima kasih ya. Kata adikmu ada uang masuk ke rekening untuk umi. Semoga rezekimu berkah dan berlimpah. Maafkan umi yang selalu merepotkanmu.”
Ridho Allah, Ridho Orangtua
Dalam Islam, ridho Allah Subhanahu Wata’ala berhubungan dengan ridho kepada kedua orangtua. Karena itu hadits mengatakan, Ridho Allah bersama dengan ridho orangtua, kemurkaan Allah karena murkanya orangtua.
Nabi Shallallaahu alaihi wasallam (Saw) bersabda: “Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan orangtua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orangtua.”(Riwayat at-Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim).
Keridhoan orangtua dimulaikan dari buah ketulusan. Berapapun harta yang diberikan anak kepada orangtua, namun tak disertai ketulusan, tentunya tidak mendapat jaminan ridho dari orangtua.
Sebab ridho orangtua bukanlah persoalan berapa nominal harta atau materi lainnya. Perhatian tulus, keinginan untuk menyenangkan, membantu, memuliakannya, selalu mendoakan dan membahagiakan kedua orangtua itulah yang melahirkan keridhoannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar