Jumat, 26 Agustus 2022

TIDAK LARI MENGAPA DIKEJAR & TIDAK HILANG MENGAPA KAWATIR ?

 


Biasanya anda berlari karena mengejar sesuatu agar tidak menjauh. Sebagaimana biasanya sesuatu bila ditinggal atau diabaikan akan hilang, sehingga anda kawatir setiap kali ketinggalan sesuatu.

Namun anehnya selama ini anda berlari mengejar rejeki, padahal untuk urusan rejeki, ia tidak pernah lari. Sebaliknya, anda menjadi gundah, lagi panik bila menyadari ada dari sebagian harta anda yang ketinggalan di suatu tempat karena anda kawatir kehilangan.

Sobat! ketahuilah sikap semacam ini sejatinya adalah kesalahan besar yang selama ini melilit diri anda.

Percayalah bahwa rejeki anda tidak akan pergi menjauh sehingga tidak ada perlu anda berlari tunggang langgang mengejarnya.

Sebaliknya rejeki anda juga tidak akan hilang dipungut orang walaupun telah ketinggalan di suatu tempat.

Cukuplah anda berusaha sewajarnya yaitu dengan tetap mengindahkan batasan dan hukum syari’at, niscaya seluruh rejeki anda pasti berhasil anda dapatkan dan nikmati.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

إن الروح الأمين نفث فى روعى أنها لا تموت نفس حتى تستوفى رزقها فأجملوا فى الطلب

Sejatinya Malaikat Jibril (Ruhul Qudus) membisikkan ke dalam jiwaku bahwa tiada seorang jiwapun yang meninggal dunia hingga ia benar-benar telah

mengenyam jatah rizkinya, karena itu tempuh jalan-jalan yang baik dalam mencari rizki. (Ibnu Aii Syaibah, Al Baihaqy dan lainnya).

percayalah sobat! niscaya anda bahagia.

KEBAHAGIAAN DI AKHIRAT AKAN DI DAPAT MELALUI ISTIGHFAR…

 


Kebahagiaan di akhirat akan di dapat melalui ISTIGHFAR. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:

مَن أحَبَّ أنْ تسُرَّه صحيفتُه فلْيُكثِرْ فيها مِن الاستغفارِ

“Barangsiapa yang ingin berbahagia ketika melihat lembaran catatan amalnya, maka perbanyaklah ISTIGHFAR”

(HR. Ath Thabrani dalam Al Ausath, 1/256, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no, 5955).

Allah Ta’ala berfirman

“فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّاراً . يُرْسِلِ السَّمَاء عَلَيْكُم مِّدْرَاراً . وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَاراً”

Artinya: “Aku (Nabi Nuh) berkata (pada mereka), “Beristighfarlah kepada Rabb kalian, sungguh Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan menurunkan kepada kalian hujan yang lebat dari langit. Dan Dia akan memperbanyak harta serta anak-anakmu, juga mengadakan kebun-kebun dan sungai-sungai untukmu” (QS. Nuh: 10-12)

Ayat di atas menjelaskan dengan gamblang bahwa di antara buah istighfar: turunnya hujan, lancarnya rizki, banyaknya keturunan, suburnya kebun serta mengalirnya sungai.

Karenanya, dikisahkan dalam Tafsir al-Qurthubi, bahwa suatu hari ada orang yang mengadu kepada al-Hasan al-Bashri rohimahullah tentang lamanya paceklik, maka beliaupun berkata, “Beristighfarlah kepada Allah”.

Kemudian datang lagi orang yang mengadu tentang kemiskinan, beliaupun memberi solusi, “Beristighfarlah kepada Allah”. Terakhir ada yang meminta agar didoakan punya anak, al-Hasan menimpali, “Beristighfarlah kepada Allah”.

Ar-Rabi’ bin Shabih yang kebetulan hadir di situ bertanya, “Kenapa engkau menyuruh mereka semua untuk beristighfar ?”.

Maka al-Hasan al-Bashri rohimahullah pun menjawab, “Aku tidak mengatakan hal itu dari diriku sendiri. Namun sungguh Allah telah berfirman dalam surat Nuh: “Aku (Nabi Nuh) berkata (pada mereka), “Beristighfarlah kepada Rabb kalian, sungguh Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan menurunkan kepada kalian hujan yang lebat dari langit. Dan Dia akan memperbanyak harta serta anak-anakmu, juga mengadakan kebun-kebun dan sungai-sungai untukmu”.

KIAT SEDERHANA IKHLAS BERAMAL…

 


Anda merasa susah untuk ikhlas dalam beramal ?

Tenang sobat, menurut penuturan Imam Ibnu Taimiyyah,

ikhlas itu akan mudah anda lakukan bila anda telah memutus semua harapan anda kepada sesama makhluq dan hanya menggantungkan harapan anda kepada Allah Ta’ala pemilik segala sesuatu dan yang kuasa melakukan segala sesuatu, inilah hakekat dari zuhud yang benar.

Bila anda telah memupus semua harapan anda kepada semua makhluq dan hanya tersisa harapan kepada Allah Ta’ala alias benar-benar telah zuhud, maka ikhlas itu menjadi mudah.

Dan untuk bisa zuhud maka anda harus memupuk subur ketakwaan anda dengan menjalankan segala perintah dan meninggalkan segala larangan. Setiap perintah yang anda jalankan dan setiap larangan yang anda tinggalkan pasti menghantarkan anda kepada ketakwaan. (Majmu’ Fatawa 1/94)

Karena itu untuk bisa ikhlas, teruslah berbuat, dan beramal kebajikan dan terus berjuang meninggalkan kemaksiatan. Dengan izin Allah suatu saat anda akan ikhlas.

Selamat mencoba, semoga dimudahkan dan berhasil.

Rabu, 17 Agustus 2022

Keluarga, Tempat yang Menyenangkan dan Menenangkan

 




Seluruh umat muslim ketika hendak mewujudkan sebuah keluarga tentu menginginkan keluarga yang penuh dengan ketenangan dan ketenteraman. 

Oleh karena itu, sejak memulainya dengan akad nikah hingga menjalani kehidupan pernikahan harus selalu berusaha menjaga seluruh aturan Allah Swt. berjalan di dalam kehidupan rumah tangganya. 

Di sinilah pentingnya pasangan suami istri untuk memahami hakikat kehidupan pernikahan adalah kehidupan persahabatan antara suami dan istri, memahami tujuan pernikahan, serta memahami peran dan tugas masing-masing dalam kehidupan pernikahan. 

Dan yang penting lagi adalah menjalani peran dan tugas tersebut dengan ikhlas. Juga jangan lupa untuk senantiasa berkomunikasi dengan baik dan saling menasihati agar berpijak pada ketentuan syarak sehingga biduk rumah tangga bisa berjalan dengan penuh keberkahan dan ketenteraman. 

Esensinya memang keluarga adalah tempat yang penuh ketenteraman bagi seluruh anggota keluarga. Keluarga, Tempat yang Menyenangkan Sekaligus Menenangkan Siapa pun akan mengakui bahwa perjalanan pernikahan memang bukan hal yang mudah untuk dilalui, penuh onak, dan duri. Akan tetapi, harus pula dipahami bahwa pernikahan bukan hal yang perlu dikhawatirkan sehingga takut untuk menempuhnya. 

Dalam perjalanannya bisa jadi memang penuh dengan derai air mata, akan tetapi bukan melulu air mata kesedihan, tetapi di dalamnya bisa jadi lebih banyak air mata bahagia. 

Bagaimanapun, setiap aktivitas yang kita lakukan tentu saja akan ada konsekuensinya. Hanya saja, dengan bekal keyakinan yang kuat, bertujuan untuk menjalankan syariat-Nya, serta dengan banyak doa yang dipanjatkan, kita semua berusaha untuk menapaki kehidupan pernikahan ini dengan penuh tanggung jawab dan tawakal sehingga akan bisa sampai pada tujuannya, yaitu tercapainya sakinah, mawaddah war-rahmah. 

Dengan adanya pernikahan yang kemudian di dalamnya dilahirkan anak-anak yang saleh dan salihah, maka akan terbentuk sebuah keluarga. Ketika keluarga ini menjalankan biduk rumah tangganya sesuai dengan aturan Sang Maha Pencipta, maka terwujudnya keluarga yang menyenangkan dan penuh ketenteraman merupakan hal yang niscaya. Karena Allah Swt. telah menjelaskan hal ini dalam QS Ar-Rum ayat 21,

 وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ 

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”

Ketika naluri nau’ ini muncul, misalnya ada ketertarikan terhadap lawan jenis, maka menuntut untuk dipenuhi. Dan jika tidak dipenuhi, akan mengakibatkan kegelisahan. 

Sebaliknya, jika dipenuhi sesuai dengan tuntunan syariat Islam, akan diperoleh kebahagiaan dan ketenteraman. 

Tidak diragukan lagi bahwa menikah, jika sesuai dengan tuntunan syariat Islam, akan terwujud ketenangan, ketenteraman, serta kasih sayang. Oleh karenanya, tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa keluarga adalah tempat yang menenangkan sekaligus menyenangkan atau memberikan kebahagiaan bagi anggota keluarga. 

Lalu, bagaimana kita berupaya untuk merealisasikannya dalam kehidupan, apa yang bisa kita lakukan saat ini? 

Mewujudkan Keluarga yang Menyenangkan dan Penuh ketenangan 

Sakinah atau ketenteraman, kebahagiaan, dan keutuhan keluarga dapat dijaga dan terpelihara dengan baik, jika semua pihak–yaitu ayah, ibu, dan anak-anak–atau semua anggota keluarga berkomitmen untuk memperkuat ketahanan keluarga.  

Ada setidaknya enam hal yang bisa diwujudkan oleh pasangan suami istri dan juga seluruh anggota keluarga untuk menjaga sakinah dalam keluarga. 

Pertama, menguatkan kembali pondasi dasar, motivasi, dan cita-cita dalam membangun rumah tangga.  

Pondasi dasar dari pernikahan adalah akidah Islam, bukan manfaat ataupun kepentingan. Hal ini harus dijaga sepenuh jiwa oleh pasangan suami istri. 

Demikian halnya cita-cita yang ingin diwujudkan bersama pasangan harus terus dikuatkan sehingga akan membawa bahtera rumah tangga berlayar menuju pulau harapan, yaitu menuju keluarga sakinah mawadah warahmah yang terjauhkan dari kekerasan, kekasaran, sikap sewenang-wenang, dan kehancuran. Menjaga cita-cita pernikahan akan menghindarkan anggota keluarga, termasuk pasangan suami istri, dari penyimpangan. 

Di dalam keluarga akan tampak suasana saling memberi, menerima, memahami, membutuhkan satu sama lain.  

Selain itu juga masing-masing anggota keluarga saling memaafkan, saling mengalah, menguatkan dalam kebaikan, saling mencintai, dan saling merindukan. Semua ini harus terinternalisasikan dan diupayakan pencapaiannya oleh seluruh anggota keluarga. 

Sedangkan, motivasi dan tujuan berumah tangga yang benar merupakan pondasi untuk membangun kehidupan rumah tangga yang kukuh. Dalam hal ini, Islam menetapkan bahwa motivasi seseorang melangsungkan kehidupan suami istri adalah untuk melaksanakan salah satu dari bentuk ibadah kita kepada Allah Swt..  


Halal/haram dijadikan landasan dalam berbuat, bukan hawa nafsu. Di sinilah pentingnya anggota keluarga untuk menguatkan pemahaman tentang fungsi dan kedudukan masing-masing dalam keluarga dan berupaya semaksimal mungkin menjalankannya sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. 

Adapun berbagai pembagian peran dan fungsi yang ada di dalamnya serta berbagai implikasi pembagian hak dan kewajiban di antara anggota keluarga, dapat dipahami sebagai bentuk keadilan dan kesempurnaan yang diberikan Islam untuk merealisasikan tujuan-tujuan duniawi dan ukhrawi yang mulia ini.  

Tidak ada peran dan fungsi yang satu lebih tinggi dari yang lainnya.  

Ketika seluruh peran ini dapat difungsikan dengan baik sesuai dengan syariat Islam, sekaligus menjadikannya sebagai pijakan ketika menghadapi masalah, maka keberkahan dan ketenteraman akan senantiasa tercurah bagi keluarga kita. Amin. 

Seorang ayah yang bekerja mencari nafkah halal demi menghidupi keluarga dan anak-anaknya tentu menjadi pahala dan amal ibadah sendiri dalam keluarga. 

Begitupun seorang ibu yang mengurus dan merawat rumah suaminya, mengasuh anak-anaknya, serta mendidik anak-anaknya bersama-sama menjadi ladang ibadah dan amal saleh tersendiri.  

Ladang ibadah dan amal saleh hanya akan bisa dilakukan secara kondusif oleh keluarga yang terjaga rasa cinta, sayang, dan penuh dengan ketulusan dalam menjalankannya. 

Ketiga, membangun persahabatan yang erat dengan pasangan dalam suka dan duka,karena kehidupan pernikahan adalah kehidupan persahabatan antara seorang suami dan istrinya.  

Suami menjadi sahabat bagi istrinya dan istri menjadi sahabat bagi suaminya secara sempurna dalam seluruh aspek kehidupan. 

Sebagaimana layaknya sahabat, keduanya harus saling memberi masukan, mengingatkan, menasihati, dan berdiskusi ketika menghadapi masalah. Dengan kehidupan persahabatan ini, Allah telah menjadikan pernikahan sebagai tempat ketenteraman dan ketenangan bagi pasangan suami istri 

Keempat, muasyirah bil makruf atau menjalin pergaulan yang baik dengan pasangan merupakan hal penting dalam menjaga ketenangan dalam keluarga. 

Allah telah memerintahkan agar suami bergaul dengan istrinya dengan cara yang makruf, sebagaimana layaknya seorang sahabat secara sempurna. 

Inilah yang Rasulullah lakukan terhadap istri-istrinya. Memberikan hak-haknya, nafkah dan mahar baginya, tidak bermuka masam di hadapan istrinya, dan tidak menampakkan kecenderungan kepada wanita lain. Firman Allah, 

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا “ … Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”(QS An-Nisaa’: 19)  

Yang dimaksud dengan menggauli dengan cara yang patut/baik adalah akhlak yang baik, lembut, bicara pelan dan tidak kasar, serta mengakui kesalahan dan kekhilafan yang semua orang pasti pernah melakukannya.  

Kelima, menjalin komunikasi dan relasi yang harmonis di dalam rumah tangga. Kehidupan pernikahan tidak selalu berjalan mulus, kadang diterpa cobaan. Cobaan yang datang setelah pernikahan merupakan ujian yang harus dihadapi dengan kematangan sikap dan kematangan berpikir oleh anggota keluarga. Idealnya, harus dihadapi dengan hati yang lapang dan pikiran yang jernih, selalu berprasangka positif, serta dengan komunikasi yang baik. 

Komunikasi menjadi kunci utama dalam sebuah pernikahan yang akan membebaskan pasangan dari rasa curiga, pikiran negatif, dan kecemasan lainnya. Komunikasi merupakan jembatan pembentuk kepercayaan. Dengan komunikasi, pasangan lebih bisa menentukan langkah ke depan menuju kebahagiaan yang diinginkan, insyaallah.  

Khatimah  

Demikianlah, keluarga adalah tempat yang menyenangkan dan akan memberikan ketenangan bagi anggotanya. Hal ini harus diupayakan oleh setiap keluarga mulim. Hanya saja, ketenangan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hanya bisa diraih dalam keluarga yang menerapkan aturan Islam secara kafah.  

Setiap pasangan suami istri harus memiliki komitmen untuk melaksanakan dan memenuhi hak-hak pasangan dan anggota keluarga yang telah ditetapkan Islam. Seorang suami akan menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik, demikian pula seorang istri akan menjalankan kewajiban dan menuntut hak dengan baik.  

Pernikahan sebagai sesuatu yang bernilai ibadah merupakan hal yang niscaya. Oleh karenanya, menjadi kewajiban setiap pasangan untuk melanggengkan sebuah ikatan pernikahan dan kehidupan keluarga agar selalu terikat dengan hukum Allah Swt.  

agar kekukuhan dan ketenangannya tetap terjaga. Wallahualam bissawab. [MNews/Rgl]
Halaman : 1 2 3

Kondisi Saat Berada di dalam Majelis Ilmu Vs Kondisi Saat Berada Bersama Keluarga

 




Salah satu perkara yang bisa menguatkan iman dan semakin meningkatkan salah satunya adalah hadir di dalam majelis ilmu. Karena saat kita hadir di dalam majelis ilmu, yang dibicarakan adalah perkara agama, Sehingga semangat keimanan atau yang disebut dengan jawil imani memang akan semakin terasa. 

Namun terkadang, setelah pulang dari majelis, berkumpul dengan keluarga, jawil imani (suasana keimanan) tersebut tidak sama saat bersama dengan keluarga. Hal ini mungkin dirasakan oleh sebagian orang, namun mungkin tidak bagi sebagian yang lain. 

Hal seperti ini sebenarnya pernah dialami oleh dua orang sahabat Nabi Muhammad ﷺ yakni yang pernah dirasakan oleh Hanzhalah dan Abu Bakar. 

Sebagaimana riwayat dari Hanzhalah Al Usayyidiy -beliau adalah di antara juru tulis Rasulullah ﷺ , ia berkata, “Abu Bakr pernah menemuiku, lalu ia berkata padaku, “Bagaimana keadaanmu wahai Hanzhalah?” Aku menjawab, “Hanzhalah kini telah jadi munafik.” Abu Bakar berkata, “Subhanallah, apa yang engkau katakan?” Aku menjawab, “Kami jika berada di sisi Rasulullah ﷺ, kami teringat neraka dan surga sampai-sampai kami seperti melihatnya di hadapan kami. Namun ketika kami keluar dari majelis Rasul ﷺ dan kami bergaul dengan istri dan anak-anak kami, sibuk dengan berbagai urusan, kami pun jadi banyak lupa.” Abu Bakar pun menjawab, “Kami pun begitu.”
Kemudian aku dan Abu Bakar pergi menghadap Rasulullah ﷺ lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, jika kami berada di sisimu, kami akan selalu teringat pada neraka dan surga sampai-sampai seolah-olah surga dan neraka itu benar-benar nyata di depan kami. Namun jika kami meninggalkan majelismu, maka kami tersibukkan dengan istri, anak dan pekerjaan kami, sehingga kami pun banyak lupa.” 

Rasulullah ﷺ lalu bersabda, “Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya kalian mau kontinu dalam beramal sebagaimana keadaan kalian ketika berada di sisiku dan kalian terus mengingat-ingatnya, maka niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat tidurmu dan di jalan. Namun Hanzhalah, lakukanlah sesaat demi sesaat.” Beliau mengulanginya sampai tiga kali. (HR Muslim no. 2750)
Halaman : 1 2 3

1444 Tahun Lalu, Hijrah Nabi Kita Bermula

 


Itu artinya 17328 bulan yang lalu, Nabiku dan Nabimu, teladanku dan teladanmu, memulai sebuah hentakan sejarah baru yang tak hanya mengubah wajah sejarah bangsa Arab. Beliau, di hari-hari itu telah melakukan aksi peradaban yang kelak akan sangat berpengaruh pada umat manusia. Dari Siberia-nya hingga Granada, dari ujung Utara Rusia hingga selatan Selandia.

Rasulullah ﷺ ditemani Abu Bakar berhijrah, dari Makkah yang kala itu penuh tekanan, membelah jarak nan jauh selama belasan hari menuju Kota Yatsrib yang kelak dinamai Madinah. Apakah Rasulullah ﷺ dalam keadaan aman dalam hijrah itu?

Tidak. Momentum itu benar-benar mencekam. Dikejar oleh pembunuh bayaran, disiarkan sebagai "buronan" yang siapapun akan mendapatkan imbalan jika berhasil menangkap beliau, dead or alive. Itulah mengapa Rasulullah ﷺ membuat strategi yang sangat matang; memilih partner perjalanan yang cocok, membuat tim yang strategis. Ada yang ditugaskan menghapus jejak langkah, ada yang bertugas mengumpulkan informasi, sampai Asma binti Abi Bakr yang mendapat amanah menjadi supplier makanan selama di Gua Tsur.

Kenapa hijrah Rasulullah ﷺ bukan sekedar berpindah tempat saja?

Karena beliau berpindah dari tekanan menuju mukadimah kebangkitan. Beliau berjalan dari negeri yang masih mendustakan dakwahnya menuju negeri baru yang subur dengan jiwa-jiwa perindu perubahan. Beliau berpindah dari seorang kesatria yang hebat menjadi seorang pemimpin entitas politik yang brilian. Dari gerakan, ke negara.

Yatsrib bukan pula sekadar kota biasa. Di sana ada suku Aus dan Khazraj yang telah lama berperang saudara. Mereka sudah lelah dengan perang panjang itu, menanti apakah ada satu tokoh kunci yang mampu menjadi "solidarity maker" agar Madinah menjadi negeri yang stabil hidupnya. Pucuk di cinta ulam pun tiba, mereka tak hanya mendapatkan seorang pemimpin. Mereka mendapatkan seorang inspirator, seorang nabi dan rasul, dan seorang arsitek peradaban.

Syekh Abdul Aziz Thuraifi mengatakan sebuah hikmah yang sangat menarik untuk direnungkan, "Khalifah Umar menjadikan peristiwa hijrah sebagai patokan awal penanggalan kalender Hijriah, dan tidak menjadikan hari lahir Nabi untuk memulai kalender itu sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlul Kitab..."

Mengapa? Beliau melanjutkan, "Li annal ummah ummatu amalin" (karena umat ini adalah umat amal), "dan sebuah zaman tidak akan menjadi hebat tanpa sebuah amal." Tahun baru hijriah, mentadaburi namanya saja membuat kita berdecak kagum dan bergetar sendiri.

Jika ada seseorang mengatakan, "ini adalah 1444 Hijriah", sebenarnya ia sedang mengatakan, "ini adalah tahun ke-1444 setelah hijrahnya Rasulullah ﷺ ", maka, apakah kita sebagai umat telah berusaha meneladani kerja besar Rasul ﷺ itu? Yang mengawali dakwah di Makkah, tetapi justru uniknya kepemimpinan beliau ada di Madinah, dan justru Islam menembus barat dan timur saat ibu kotanya di Damaskus...

Yang dilebarkan oleh para sahabat sampai sungai Eufrat di Irak dan sungai Guadalquivir di Andalusia. Yang ditinggikan menara azan dari megahnya Kairo yang perkasa hingga ufuk Mali yang kaya raya. Yang madrasahnya ada dari Kufah yang melegenda hingga Malaga dan Sevilla yang penuh dengan jejak cinta.

Mentalitas hijrah itu akan tetap hidup selama umat ini hidup, hingga terbentang nyatalah sabda Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, "sungguh agama ini akan menjangkau negeri yang bisa dijangkau oleh siang dan malam." Artinya? Seluruh dunia!

Efek Buruk Orang Tua Pasang Badan

 


Ada saja orang tua yang siap pasang badan melindungi kesalahan anak. Bagi orang tua yang melakukan hal itu alasannya karena kasih sayang dan berharap anak mereka tidak mengulang kesalahannya. Untuk sejumlah kondisi tertentu orang tua pantas untuk pasang badan atas kesalahan anak. Namun untuk kondisi lain, menjadi bumper kesalahan anak justru bisa menjadi masalah. Bukan untuk orang tua, tapi justru jadi masalah untuk anak-anak mereka sendiri.

Ketika bicara kesalahan yang dilakukan anak, orang tua wajib untuk memahami kapan hal itu jadi tanggung jawab orang tua, dan kapan saat anak harus belajar memikul tanggung jawab atas kesalahannya. Patokannya bukanlah kebiasaan umum di masyarakat. Tidak semua hal yang berlaku di masyarakat itu patut ditiru.

Demikian pula hukum positif yang berlaku di tanah air, juga tidak bisa menjadi patokan hal tadi. Bagi kita, kaum muslimin, harus berpegang pada standar yang ditentukan agama. Islam sudah menetapkan batas halal dan haram, juga siapa yang bertanggung jawab terhadap perbuatan setiap hamba. Itulah hisab. Firman-Nya,

Sungguh, kepada Kami-lah mereka kembali. kemudian sesungguhnya (kewajiban) Kami-lah membuat perhitungan atas mereka. (TQS Al-Ghasyiyah [88]: 25 – 26)

Sebagai orang tua kita wajib memahami bila anak-anak yang belum balig, mereka terbebas dari hisab Allah Swt. Pada saat itu orang tua punya tanggung jawab besar mendidik anak dengan ajaran Islam sebaik-baiknya. Selain juga berkewajiban melindungi anak-anak dari perbuatan tercela dan hal yang membahayakan mereka. Sabda Nabi saw.,

 رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّغِيرِ حَتَّى يَكْبُرَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ أَوْ يُفِيقَ

Diangkat pena dari tiga orang, yaitu orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia dewasa, dan dari orang yang gila hingga ia berakal atau sadar. (HR Nasa’i)

Namun ketika anak-anak sudah beranjak aqil baligh, orang tua semestinya paham kalau mereka bertanggung jawab atas setiap tindakan diri sendiri. Selain itu, orang tua juga wajib memahamkan pada anak bila mereka harus berpikir sebelum bertindak. Anak-anak kita yang sudah menjadi mukallaf, harus dipahamkan kalau mereka sudah harus bertanggung jawab atas setiap perbuatan mereka.

Orang tua dan anak sama-sama wajib memahami kalau anak tidak menanggung dosa orang tua, dan juga sebaliknya. Nabi saw. bersabda:

لاَ يَجْنِى جَانٍ إِلاَّ عَلَى نَفْسِهِ لاَ يَجْنى وَالِدٌ عَلَى وَلَدِهِ وَلاَ مَوْلُودٌ عَلَى وَالِدِهِ

Tidaklah seseorang berbuat dosa kecuali menjadi tanggung jawabnya sendiri, tidaklah orangtua berbuat dosa menjadi tanggung jawab anaknya dan tidak pula anak berbuat dosa menjadi tanggung jawab orang tuanya. (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Jadi, nggak bisa orang tua menanggung kesalahan anaknya yang sudah remaja di dunia, apalagi akhirat. Harap diingat, sesayang apapun orang tua pada anak takkan bisa pikul dosa anaknya di yaumil akhir. Pada putrinya, Fatimah, Rasulullah berpesan bahwa beliau tak bisa menolongnya kelak di hadapan Allah Taala,

وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِى مَا شِئْتِ مِنْ مَالِى لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا

Wahai Fatimah putri Muhammad, mintalah padaku apa yang engkau mau dari hartaku, sesungguhnya aku tidak dapat menolongmu sedikit pun dari Allah. (HR Bukhari dan Muslim)

Mulailah ajarkan anak-anak kita untuk bertanggung jawab atas apa yang telah ia lakukan sejak dini. Di saat kecil, bila ia menelantarkan mainnya lalu hilang, maka ajarkan ia untuk tidak mengulanginya dan menerima akibat tidak merawat mainannya. Bila ia memukul adiknya atau kawannya, maka orang tua menasihatinya dan bila perlu memberinya sanksi sesuai usia. Anak-anak yang sejak kecil diajarkan menerima konsekuensi perbuatannya, maka ia akan terlatih untuk bertanggung jawab dan berpikir sebelum bertindak.


Namun orang tua yang selalu pasang badan untuk anaknya, apalagi membela terus kesalahan anaknya kelak akan menerima dua hukuman; pertama, anaknya akan mengecilkan arti kesalahan dan tanggung jawab, manja, berlindung di balik ketiak orang tuanya, karena tahu orang tuanya akan turun tangan membela mereka. Nah, mau kah orang tua terus dibuat susah anak-anak mereka sampai tua kelak, karena anak-anak mereka tak pernah kenal arti tanggung jawab?

Kedua, anak-anak yang selalu dibela orang tuanya akan terus mencari tumbal orang lain untuk disalahkan. Ketika orang tua mereka sudah tak bisa lagi membela kesalahannya, anak-anak seperti ini sudah terpasang pemikiran untuk lepas tanggung jawab dan melimpahkannya pada orang lain.

Saat ini, kita sudah banyak melihat tipikal pemimpin seperti ini. Ketika rakyat kesusahan, mereka malah menuduh rakyat pemalas. Ketika rakyat antre minyak goreng, mereka menyalahkan rakyat yang kebanyakan menggoreng makanan. Ketika harga kebutuhan pokok meroket, para pemimpin seperti ini meminta rakyat untuk mengurangi makanan, bercocok tanam di halaman rumah, atau rakyat diminta bersyukur karena harga kebutuhan pokok di negeri ini masih lebih murah dibandingkan negara lain.

Para pemimpin seperti itu tidak pernah mau mengakui kesalahan diri sendiri, tidak mau memikul tanggung jawab kekuasaan yang mereka miliki. Inilah buah dari pola didik pasang badan yang dilakukan oleh orang tua atau orang-orang di sekitar mereka. Ayah bunda, mau anak-anak tumbuh menjadi orang-orang seperti ini?

Mulailah menanamkan jiwa kesatria dan bertanggung jawab pada anak. Biarkan mereka merasakan konsekuensi perbuatan keliru mereka. Meski orang tua mungkin merasa sedih dan pahit. Tak mengapa, Itu jauh lebih baik ketimbang merusak mental anak remaja kita di masa depan kelak.