Rabu, 17 Agustus 2022
Kondisi Saat Berada di dalam Majelis Ilmu Vs Kondisi Saat Berada Bersama Keluarga
1444 Tahun Lalu, Hijrah Nabi Kita Bermula
Itu artinya 17328 bulan yang lalu, Nabiku dan Nabimu, teladanku dan teladanmu, memulai sebuah hentakan sejarah baru yang tak hanya mengubah wajah sejarah bangsa Arab. Beliau, di hari-hari itu telah melakukan aksi peradaban yang kelak akan sangat berpengaruh pada umat manusia. Dari Siberia-nya hingga Granada, dari ujung Utara Rusia hingga selatan Selandia.
Rasulullah ﷺ ditemani Abu Bakar berhijrah, dari Makkah yang kala itu penuh tekanan, membelah jarak nan jauh selama belasan hari menuju Kota Yatsrib yang kelak dinamai Madinah. Apakah Rasulullah ﷺ dalam keadaan aman dalam hijrah itu?
Tidak. Momentum itu benar-benar mencekam. Dikejar oleh pembunuh bayaran, disiarkan sebagai "buronan" yang siapapun akan mendapatkan imbalan jika berhasil menangkap beliau, dead or alive. Itulah mengapa Rasulullah ﷺ membuat strategi yang sangat matang; memilih partner perjalanan yang cocok, membuat tim yang strategis. Ada yang ditugaskan menghapus jejak langkah, ada yang bertugas mengumpulkan informasi, sampai Asma binti Abi Bakr yang mendapat amanah menjadi supplier makanan selama di Gua Tsur.
Kenapa hijrah Rasulullah ﷺ bukan sekedar berpindah tempat saja?
Karena beliau berpindah dari tekanan menuju mukadimah kebangkitan. Beliau berjalan dari negeri yang masih mendustakan dakwahnya menuju negeri baru yang subur dengan jiwa-jiwa perindu perubahan. Beliau berpindah dari seorang kesatria yang hebat menjadi seorang pemimpin entitas politik yang brilian. Dari gerakan, ke negara.
Yatsrib bukan pula sekadar kota biasa. Di sana ada suku Aus dan Khazraj yang telah lama berperang saudara. Mereka sudah lelah dengan perang panjang itu, menanti apakah ada satu tokoh kunci yang mampu menjadi "solidarity maker" agar Madinah menjadi negeri yang stabil hidupnya. Pucuk di cinta ulam pun tiba, mereka tak hanya mendapatkan seorang pemimpin. Mereka mendapatkan seorang inspirator, seorang nabi dan rasul, dan seorang arsitek peradaban.
Syekh Abdul Aziz Thuraifi mengatakan sebuah hikmah yang sangat menarik untuk direnungkan, "Khalifah Umar menjadikan peristiwa hijrah sebagai patokan awal penanggalan kalender Hijriah, dan tidak menjadikan hari lahir Nabi untuk memulai kalender itu sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlul Kitab..."
Mengapa? Beliau melanjutkan, "Li annal ummah ummatu amalin" (karena umat ini adalah umat amal), "dan sebuah zaman tidak akan menjadi hebat tanpa sebuah amal." Tahun baru hijriah, mentadaburi namanya saja membuat kita berdecak kagum dan bergetar sendiri.
Jika ada seseorang mengatakan, "ini adalah 1444 Hijriah", sebenarnya ia sedang mengatakan, "ini adalah tahun ke-1444 setelah hijrahnya Rasulullah ﷺ ", maka, apakah kita sebagai umat telah berusaha meneladani kerja besar Rasul ﷺ itu? Yang mengawali dakwah di Makkah, tetapi justru uniknya kepemimpinan beliau ada di Madinah, dan justru Islam menembus barat dan timur saat ibu kotanya di Damaskus...
Yang dilebarkan oleh para sahabat sampai sungai Eufrat di Irak dan sungai Guadalquivir di Andalusia. Yang ditinggikan menara azan dari megahnya Kairo yang perkasa hingga ufuk Mali yang kaya raya. Yang madrasahnya ada dari Kufah yang melegenda hingga Malaga dan Sevilla yang penuh dengan jejak cinta.
Mentalitas hijrah itu akan tetap hidup selama umat ini hidup, hingga terbentang nyatalah sabda Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, "sungguh agama ini akan menjangkau negeri yang bisa dijangkau oleh siang dan malam." Artinya? Seluruh dunia!
Efek Buruk Orang Tua Pasang Badan
Ada saja orang tua yang siap pasang badan melindungi kesalahan anak. Bagi orang tua yang melakukan hal itu alasannya karena kasih sayang dan berharap anak mereka tidak mengulang kesalahannya. Untuk sejumlah kondisi tertentu orang tua pantas untuk pasang badan atas kesalahan anak. Namun untuk kondisi lain, menjadi bumper kesalahan anak justru bisa menjadi masalah. Bukan untuk orang tua, tapi justru jadi masalah untuk anak-anak mereka sendiri.
Ketika bicara kesalahan yang dilakukan anak, orang tua wajib untuk memahami kapan hal itu jadi tanggung jawab orang tua, dan kapan saat anak harus belajar memikul tanggung jawab atas kesalahannya. Patokannya bukanlah kebiasaan umum di masyarakat. Tidak semua hal yang berlaku di masyarakat itu patut ditiru.
Demikian pula hukum positif yang berlaku di tanah air, juga tidak bisa menjadi patokan hal tadi. Bagi kita, kaum muslimin, harus berpegang pada standar yang ditentukan agama. Islam sudah menetapkan batas halal dan haram, juga siapa yang bertanggung jawab terhadap perbuatan setiap hamba. Itulah hisab. Firman-Nya,
Sungguh, kepada Kami-lah mereka kembali. kemudian sesungguhnya (kewajiban) Kami-lah membuat perhitungan atas mereka. (TQS Al-Ghasyiyah [88]: 25 – 26)
Sebagai orang tua kita wajib memahami bila anak-anak yang belum balig, mereka terbebas dari hisab Allah Swt. Pada saat itu orang tua punya tanggung jawab besar mendidik anak dengan ajaran Islam sebaik-baiknya. Selain juga berkewajiban melindungi anak-anak dari perbuatan tercela dan hal yang membahayakan mereka. Sabda Nabi saw.,
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّغِيرِ حَتَّى يَكْبُرَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ أَوْ يُفِيقَ
Diangkat pena dari tiga orang, yaitu orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia dewasa, dan dari orang yang gila hingga ia berakal atau sadar. (HR Nasa’i)
Namun ketika anak-anak sudah beranjak aqil baligh, orang tua semestinya paham kalau mereka bertanggung jawab atas setiap tindakan diri sendiri. Selain itu, orang tua juga wajib memahamkan pada anak bila mereka harus berpikir sebelum bertindak. Anak-anak kita yang sudah menjadi mukallaf, harus dipahamkan kalau mereka sudah harus bertanggung jawab atas setiap perbuatan mereka.
Orang tua dan anak sama-sama wajib memahami kalau anak tidak menanggung dosa orang tua, dan juga sebaliknya. Nabi saw. bersabda:
لاَ يَجْنِى جَانٍ إِلاَّ عَلَى نَفْسِهِ لاَ يَجْنى وَالِدٌ عَلَى وَلَدِهِ وَلاَ مَوْلُودٌ عَلَى وَالِدِهِ
Tidaklah seseorang berbuat dosa kecuali menjadi tanggung jawabnya sendiri, tidaklah orangtua berbuat dosa menjadi tanggung jawab anaknya dan tidak pula anak berbuat dosa menjadi tanggung jawab orang tuanya. (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Jadi, nggak bisa orang tua menanggung kesalahan anaknya yang sudah remaja di dunia, apalagi akhirat. Harap diingat, sesayang apapun orang tua pada anak takkan bisa pikul dosa anaknya di yaumil akhir. Pada putrinya, Fatimah, Rasulullah berpesan bahwa beliau tak bisa menolongnya kelak di hadapan Allah Taala,
وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِى مَا شِئْتِ مِنْ مَالِى لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا
Wahai Fatimah putri Muhammad, mintalah padaku apa yang engkau mau dari hartaku, sesungguhnya aku tidak dapat menolongmu sedikit pun dari Allah. (HR Bukhari dan Muslim)
Mulailah ajarkan anak-anak kita untuk bertanggung jawab atas apa yang telah ia lakukan sejak dini. Di saat kecil, bila ia menelantarkan mainnya lalu hilang, maka ajarkan ia untuk tidak mengulanginya dan menerima akibat tidak merawat mainannya. Bila ia memukul adiknya atau kawannya, maka orang tua menasihatinya dan bila perlu memberinya sanksi sesuai usia. Anak-anak yang sejak kecil diajarkan menerima konsekuensi perbuatannya, maka ia akan terlatih untuk bertanggung jawab dan berpikir sebelum bertindak.
Namun orang tua yang selalu pasang badan untuk anaknya, apalagi membela terus kesalahan anaknya kelak akan menerima dua hukuman; pertama, anaknya akan mengecilkan arti kesalahan dan tanggung jawab, manja, berlindung di balik ketiak orang tuanya, karena tahu orang tuanya akan turun tangan membela mereka. Nah, mau kah orang tua terus dibuat susah anak-anak mereka sampai tua kelak, karena anak-anak mereka tak pernah kenal arti tanggung jawab?
Kedua, anak-anak yang selalu dibela orang tuanya akan terus mencari tumbal orang lain untuk disalahkan. Ketika orang tua mereka sudah tak bisa lagi membela kesalahannya, anak-anak seperti ini sudah terpasang pemikiran untuk lepas tanggung jawab dan melimpahkannya pada orang lain.
Saat ini, kita sudah banyak melihat tipikal pemimpin seperti ini. Ketika rakyat kesusahan, mereka malah menuduh rakyat pemalas. Ketika rakyat antre minyak goreng, mereka menyalahkan rakyat yang kebanyakan menggoreng makanan. Ketika harga kebutuhan pokok meroket, para pemimpin seperti ini meminta rakyat untuk mengurangi makanan, bercocok tanam di halaman rumah, atau rakyat diminta bersyukur karena harga kebutuhan pokok di negeri ini masih lebih murah dibandingkan negara lain.
Para pemimpin seperti itu tidak pernah mau mengakui kesalahan diri sendiri, tidak mau memikul tanggung jawab kekuasaan yang mereka miliki. Inilah buah dari pola didik pasang badan yang dilakukan oleh orang tua atau orang-orang di sekitar mereka. Ayah bunda, mau anak-anak tumbuh menjadi orang-orang seperti ini?
Mulailah menanamkan jiwa kesatria dan bertanggung jawab pada anak. Biarkan mereka merasakan konsekuensi perbuatan keliru mereka. Meski orang tua mungkin merasa sedih dan pahit. Tak mengapa, Itu jauh lebih baik ketimbang merusak mental anak remaja kita di masa depan kelak.
Pogram Penguatan Ketahanan Keluarga, Bisakah Menyelesaikan Tingginya Angka Perceraian?
“Anda tidak mau disebut radikal. Tidak mau juga disebut fundamentalis. Lantas maunya disebut apa?” tanya wartawan Newsweek pada saya dalam satu kesempatan wawancara.
Nafkah Bukanlah Kejar Setoran
“Pokoknya, ayah harus uang belanja dua ratus ribu rupiah ya!”
Sebagian istri ada yang memandang nafkah suami ibarat setoran. Mesti dikirim tiap hari, dan jumlahnya sudah ditentukan. Mungkin para istri seperti ini sudah mengkalkulasi biaya kebutuhan harian atau bulanan sehingga punya target minimal uang belanja. Saya tidak mengada-ada. Faktanya memang ada sejumlah perempuan yang menerapkan pola seperti ini pada suaminya.
Nafkah memang kewajiban para suami. Allah Swt .dan Rasulullah saw. telah menetapkan kewajiban ini pada kaum lelaki, bukan pada kaum perempuan. Firman-Nya:
وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. (TQS Al-Baqarah [2]: 233)
Nabi saw. mengingatkan para suami agar jangan sekali-kali mengabaikan nafkah keluarga. Sabdanya:
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ
Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang wajib ia beri makan (nafkah). (HR Abu Daud)
Nafkah juga mesti diberikan secara makruf oleh suami.
قلت: يا رسول الله! ما حقُّ زوجة أحدِنا عليه؟ قال: أن تُطعِمَها إِذا طَعِمْت، وتَكْسُوَها إِذا اكتسيت، ولا تضربَ الوجه، ولا تُقَبِّحَ، ولا تهجرَ إِلا في البيت
“Wahai Rasulullah, apa saja hak istri yang wajib kami tunaikan?” Beliau bersabda, “Engkau beri ia makan jika engkau makan, engkau beri ia pakaian jika engkau berpakaian, dan jangan engkau memukul wajahnya, jangan mencelanya, dan jangan memboikotnya kecuali di rumah.” (HR Abu Daud)
Memberi nafkah adalah salah satu kewajiban yang pokok dalam pernikahan. Bahkan para pemuda yang diseru untuk menikah oleh Nabi adalah mereka yang punya kemampuan menikah, di antaranya adalah memiliki nafkah.
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ
“Wahai para pemuda, siapa di antara kalian telah mampu menikah, hendaklah ia menikah.”(HR Bukhari)
Makna al-ba’ah oleh para ulama dijelaskan dalam dua hal; pertama, makna secara bahasa yaitu jimak (bersetubuh). Kedua, makna ba’ah itu adalah beban (al-mu’nah dan jamaknya mu’an) pernikahan.
Imam Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim juz IX/173 ketika menjelaskan makna ba’ah, beliau mengutip pendapat Qadhi Iyadh, menurut bahasa yang fasih, makna ba’ah adalah bentukan dari kata al-maba’ah yaitu rumah atau tempat, di antaranya maba’ah unta yaitu tempat tinggal (kandang) unta. Kemudian mengapa akad nikah disebut ba’ah? karena siapa yang menikahi seorang wanita maka ia akan menempatkannya di rumah.
Tetapi, para istri juga harus paham kalau kewajiban nafkah pada suami itu ditetapkan oleh Allah Swt. Yakni, Allah menetapkan batasan nafkah sesuai kemampuan suami, bukan berdasarkan kesepakatan suami apalagi permintaan istri. Tentu saja, suami harus paham kalau ia wajib bekerja keras sebagai pencari nafkah.
Lalu, bicara soal nafkah tentu terkait dengan ketetapan rezeki dari Allah Swt. Tidak ada yang bisa memastikan berapa besar rezeki yang bisa didapat seorang hamba setiap saat. Allah Swt. berfirman:
وَاللّٰهُ يَقْبِضُ وَيَبْصُۣطُۖ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan. (TQS Al-Baqarah [2]: 245)
Di sinilah keadilan syariat Islam terwujud, ketika Allah mewajibkan nafkah pada para suami, namun Islam juga memberikan batas kewajiban itu sesuai kadar rezeki yang diberikan Allah. Firman-Nya:
لِيُنفِقۡ ذُو سَعَةٖ مِّن سَعَتِهِۦۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيۡهِ رِزۡقُهُۥ فَلۡيُنفِقۡ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَاۚ سَيَجۡعَلُ ٱللَّهُ بَعۡدَ عُسۡرٖ يُسۡرٗا
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
Ketika Allah memberikan rezeki yang lapang pada seorang suami, maka ia diwajibkan memberikan nafkah selapang-lapangnya pada keluarga. Saatnya ajak istri makan steak, jalan-jalan, atau beli skincare untuk perawatan tubuh. Tetapi ketika Allah sedang menyempitkan rezeki suami, maka sebatas itulah nafkah yang wajib diberikan pada keluarga. Allah tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya.
Karenanya, para istri wajib paham kalau nafkah memang kewajiban, tetapi bukan setoran yang ada batas minimal perhari atau perbulan. Suami yang paham agama akan bekerja sebaik-baiknya mencari nafkah, dan memberikan nafkah yang terbaik untuk istri dan anak-anak.
Saat suami diberi ujian kesempitan rezeki, ya istri harus terima. Bersabar dan tetap bersyukur adalah sikap terbaik, sambil mendekatkan diri pada Allah agar hati tidak kufur nikmat dan mudah-mudahan diberi rezeki dari jalan yang tak diduga-duga. Tahu-tahu ada berkat tahlilan dengan lauk ayam geprek pakai sambel goreng kentang. Itu juga rezeki dari Allah.
Suami dan istri harus tetap kompak dan romantis karena Allah, bukan karena uang. Tak ada artinya hidup miskin kalau Allah gak rida. Yang enak adalah rezeki berlimpah dan Allah rida, bukan begitu? Jadi dekaplah suami, beri support, jangan banyak menuntut karena istri bukanlah pengacara, tetapi sahabat setia. Jadilah perempuan yang pandai bersyukur karena itu salah satu kekayaan keluarga yang berharga.