Jumat, 03 Juni 2022

Dialog Ibnu Abbas Dengan Kaum Khowarij

 


Abdullah bin ‘Abbas radhiallahuanhu bercerita:

Ketika kaum Haruriyyah (Khawarij) memberontak, mereka berkumpul menyendiri di suatu daerah. Ketika itu mereka ada sekitar 6000 orang. Maka aku pun berkata kepada Ali bin Abi Thalib ‘Wahai Amirul Mu’minin, tundalah shalat zhuhur hingga matahari tidak terlalu panas, mungkin aku bisa berbicara dengan mereka kaum Khawarij’.

Ali berkata: “Aku mengkhawatirkan keselamatanmu.”

Aku berkata: “Tidak perlu khawatir.”

Aku lalu memakai pakaian (yang layak) dan menyisir rambut. Aku sampai di daerah mereka pada pertengahan hari, ketika itu mereka sedang makan. 

Mereka berkata: “marhaban bik (selamat datang) wahai Ibnu ‘Abbas, apa yang membuatmu datang ke sini?”. 

Aku berkata: “Aku datang mewakili para sahabat Nabi dari kaum Muhajirin dan Anshar dan mewakili sepupu Nabi sekaligus menantunya (maksudnya Ali bin Abi Thalib). Di tengah-tengah mereka Al Qur’an diturunkan, mereka lebih memahami makna Al Qur’an daripada kalian, dan tidak ada seorang pun dari kalian termasuk mereka (sahabat Nabi). Akan aku sampaikan perkataan mereka kepada kalian dan perkataan kalian kepada mereka”. 

Lalu sebagian mereka mendekat kepadaku...

Aku berkata: “Sampaikan kepadaku, apa alasan kalian memerangi para sahabat Rasulullah dan anak dari pamannya?”. 

“Karena 3 hal”. 

“Apa saja?”. 

“Pertama: ia telah menjadikan orang sebagai hakim dalam urusan Allah, padahal Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya hukum itu hanyalah milik Allah” (QS. Al An’am: 57, Yusuf: 40). Betapa beraninya seseorang menetapkan hukum!.” 

Aku berkata: “Ini yang pertama, lalu yang kedua?”. 

“Yang kedua: Ia memimpin perang (melawan pihak ‘Aisyah) namun tidak menawan tawanan dan tidak mengambil ganimah. Padahal jika memang ia memerangi orang kafir maka halal tawanannya. Namun jika yang diperangi adalah orang mukmin maka tidak halal tawanannya dan tidak boleh diperangi”. 

Aku berkata: “Ini yang kedua, lalu apa yang ketiga?”. 

Yang ketiga mereka menyampaikan perkataan yang intinya bahwa Ali bin Abi Thalib telah menghapus gelar Amirul Mu’minin dari dirinya kalau begitu (menurut mereka) ia adalah Amirul Kafirin. 

Aku lalu berkata: “Apakah kalian memiliki alasan lain?”. 

Mereka menjawab: “Itu sudah cukup”.
Aku (Ibnu Abbas) berkata: “Bagaimana jika aku bacakan Al-Quran dan sunnah Nabi yang membantah pendapat kalian? Apakah kalian akan rujuk (bertaubat)?”. 

Mereka berkata: “Ya”. 

“Adapun perkataan kalian bahwa Ali bin Abi Thalib telah menjadikan orang sebagai hakim dalam urusan Allah, aku akan membacakan Ayat dari Al-Quran yang menunjukkan kepada kalian bahwa Allah telah menyerahkan hukum kepada manusia dalam seperdelapan dari seperempat dirham. 

Allah tabaraka wa ta’ala memerintahkan untuk berhukum kepada manusia dalam hal ini. tidakkah kalian membaca firman Allah tabaraka wa ta’ala (yang artinya): ‘Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh hewan buruan dalam keadaan berihram. Barang siapa yang membunuhnya diantara kamu secara sengaja, maka dendanya adalah mengantinya dengan hewan yang seimbang dengannya, menurut putusan hukum dua orang yang adil diantara kamu‘ (QS. Al Maidah: 95)”

Ini termasuk hukum yang Allah serahkan putusannya kepada manusia. Andaikan Allah mau, tentu Allah bisa saja memutuskan hukumnya. Namun Allah membolehkan berhukum kepada manusia dalam hal ini. Demi Allah aku bertanya kepada kalian, apakah putusan hukum seseorang dalam rangka mendamaikan pertikaian dan dalam menjaga darah kaum muslimin lebih baik ataukah dalam masalah daging hewan? 

Mereka menjawab: “Iya, tentu dalam perkara (pertikaian) itu lebih baik”. 
“Begitu juga dalam masalah pertikaian suami istri, Allah berfirman: “Dan bila kamu mengkhawatirkan perceraian antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (penengah yang memberi putusan) dari keluarga laki-laki dan seorang penengah dari keluarga wanita” (QS. An Nisaa: 35). 

Demi Allah aku katakan kepada kalian hukum seseorang dalam melerai pertikaian dan menjaga darah kaum muslimin sungguh lebih baik daripada mendamaikan dua orang suami istri. 

Apakah alasan (pertama) ini sudah aku bantah?”

“Ya” kata mereka.
“Adapun  perkataan kalian bahwa Ali berperang (melawan pihak ‘Aisyah) namun tidak menawan dan tidak pula mengambil ganimah, aku bertanya kepada kalian, apakah kalian akan menawan ibu kalian ‘Aisyah? Apakah ia halal bagi kalian sebagaimana tawanan lain halal? 

Jika kalian katakan bahwa ia halal bagi kalian sebagaimana halalnya tawanan yang lain maka kalian telah kafir. Dan jika kalian katakan bahwa ia bukan Ibu kalian maka kalian pun telah kafir. 

Allah berfirman: “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri, dan isteri-isterinya merupakan ibu mereka (kaum mukminin)” (QS. Al Ahdzab: 6). 

Maka kalian berada di antara dua kesesatan, coba kalian cari jalan keluar darinya!

Apakah aku sudah membantah alasan kalian ini?”. 

Mereka menjawab: “Ya”.
“Adapun perkataan kalian bahwa Ali menghapus gelar Amirul Mu’minin darinya, maka aku akan sampaikan sesuatu yang kalian ridai. Bukankah Nabi shalallahu‘alaihi wasallam pada saat perjanjian Hudaibiyah dengan kaum Musyrikin, Rasulullah berkata kepada Ali, “tulislah wahai Ali, ini adalah perdamaian yang dinyatakan oleh Muhammad Rasulullah”. 

Lalu kaum musyrikin berkata, “Tidak! andai kami percaya bahwa engkau Rasulullah, tentu kami tidak akan memerangimu”. 

Maka Rasulullah shalallahu‘alaihi wasallam bersabda, “Kalau begitu hapuslah tulisan “Rasulullah” itu wahai Ali, Ya Allah, sungguh Engkau Maha Mengetahui bahwa aku adalah Rasul-Mu. Hapus saja, wahai Ali. Dan tulislah, ini adalah perdamaian yang dinyatakan oleh Muhammad bin Abdillah”. 

Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tentu lebih utama dari pada Ali. Namun beliau sendiri pernah menghapus gelar “Rasulullah”. Namun penghapus gelar tersebut tidak serta merta menghapus kenabian beliau. Apakah alasan kalian ini sudah terjawab?”. 

Mereka berkata: “Ya”.

Ibnu Abbas berkata:

“Maka 2000 orang di antara mereka bertaubat dan sisanya tetap memberontak. Mereka akhirnya terbunuh dalam kesesatan mereka oleh (para sahabat dari) kaum Muhajirin dan Anshar”.

Selesai.

#Faedah dari kisah dialog Ibnu Abbas dengan Khowarij

1. Pentingnya pemahaman yang benar dalam beragama sebelum menyalahkan orang.

2. Hendaknya kita berhati-hati dalam menafsirkan ayat atau hadist agar tidak keluar dari maksud dan makna yang diinginkan Allah dan Rasul-Nya.

3. Pentingnya berilmu sebelum berkata dan berbuat.

4. Kita harus meletakkan sesuatu pada tempatnya.

5. Kesesatan terjadi karena kebodohan.

6. Agama tidak seperti hitungan matematika.

7. Perpecahan yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin merupakan ujian bagi kita. Kita harus berusaha untuk menyikapinya dengan hikmah dan ilmu.


Kisah Di Sebuah Parit


 

[Di dalam kitab sahihnya, Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Suhaib radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:]

Dahulu ada seorang raja, dari orang-orang sebelum kalian. Dia memiliki seorang tukang sihir. Tatkala tukang sihir itu sudah tua, berkatalah ia kepada rajanya: “Sesungguhnya aku telah tua. Utuslah kepadaku seorang anak yang akan aku ajari sihir.” 

Maka sang raja pun mengutus seorang anak untuk diajari sihir. Setiap kali anak tersebut datang menemui tukang sihir, di tengah perjalanan ia selalu melewati seorang rahib, ia pun duduk mendengarkan pembicaraan rahib tersebut, sehingga ia kagum kepadanya. Maka setiap kali ia datang ke tukang sihir, ia selalu duduk dan mendengarkan petuah rahib itu, kemudian baru ia datang ke tukang sihir sehingga tukang sihir itu memukulnya (karena ia datang terlambat, red.). 

Ia mengadukan hal itu kepada rahib tadi, sang rahib pun berpesan: “Kalau engkau takut kepada tukang sihir, katakanlah bahwa keluargamu telah menghalangimu (sehingga engkau terlambat), dan bila engkau takut kepada keluargamu, katakan juga bahwa tukang sihir itu telah mencegahmu. 

Maka tatkala berlangsung demikian, tiba-tiba ada seekor binatang buas mengonggok di tengah jalan sehingga menghalangi lalu-lalangnya manusia. Menghadapi peristiwa ini maka ia pun bergumam: “Pada hari ini akan aku buktikan apakah tukang sihir itu lebih utama daripada rahib, ataukah sebaliknya.”

Ia pun mengambil sebuah batu kemudian mengatakan: “Ya Allah, apabila perkara rahib lebih engkau sukai daripada tukang sihir, maka bunuhlah binatang buas itu.” Kemudian ia lemparkan batu tersebut, sehingga matilah binatang buas tadi dan manusia pun bisa lewat kembali. 

Sesudah itu datang lah ia kepada rahib dan mengabarkan kejadian yang baru saja ia alami, kemudian sang rahib mengatakan:

“Wahai anakku, hari ini engkau lebih baik daripada aku, dan engkau telah sampai pada perkara yang aku sangka. (ketahuilah) sesungguhnya engkau akan diuji, dan bila engkau diuji, janganlah engkau tunjukkan tentang diriku.”

Dan kini ia dapat menyembuhkan penyakit buta, penyakit kusta, serta dapat mengobati manusia dari berbagai macam penyakit.

Hal ini terdengar oleh seorang teman duduk raja, sedangkan dia adalah seorang yang buta, kemudian ia membawa harta yang banyak seraya mengatakan: “Aku akan berikan harta ini kepadamu bila engkau bersedia menyembuhkan penyakitku.” 

Maka sang anak menjawab, “Sesungguhnya aku tidaklah bisa menyembuhkan siapapun, yang bisa menyembuhkan hanyalah Allah. Kalau engkau beriman kepada Allah maka aku akan berdoa kepada-Nya untuk kesembuhanmu.” 

Maka ia pun beriman kepada Allah dan Allah pun menyembuhkan penyakitnya. 

Kemudian datanglah dia menemui sang raja dan duduk sebagaimana biasanya, sang raja pun heran seraya mengatakan: “Siapakah yang telah mengembalikan pandanganmu?” 

maka ia menjawab: “Rabb-ku.”  

Sang raja melanjutkan: “Apakah engkau memiliki Rabb selain aku???”

Jawabnya, “Ya, Dia adalah Rabb-ku dan Rabb-mu juga.” 

Maka sang raja pun menyiksanya dan terus menyiksanya sampai ia menunjukkan kepada anak tersebut. 

Didatangkanlah si anak itu, kemudian sang raja berujar: “Wahai anakku, sekarang engkau telah memiliki kepandaian sihir, sehingga bisa menyembuhkan orang yang buta dan juga bisa menyembuhkan penyakit kusta dan lain sebagainya.” 

Sang anak balik menjawab, “Sesungguhnya aku tidak bisa menyembuhkan siapapun, dan hanya Allah-lah yang bisa menyembuhkan.”

Akhirnya sang raja pun menyiksanya dan terus menyiksanya sampai ia menunjukkan kepada rahib. 

Maka didatangkanlah si rahib, kemudian dikatakan kepadanya: “Berhentilah dari agamamu!!” Ia pun enggan. 

Maka sang raja meminta gergaji kemudian diletakkan tepat di tengah kepalanya, dan dibelahlah tubuhnya sampai terbelah menjadi dua bagian. 

Kemudian didatangkan pula teman duduk sang raja tersebut, dan dikatakan kepadanya: “Berhentilah dari agamamu!!” Demikian pula, ia pun enggan, kemudian ditaruh gergaji itu di atas kepalanya, lantas dibelahlah tubuhnya hingga terbelah.

Selanjutnya didatangkanlah sang anak, dan dikatakan kepadanya: “Berhentilah dari agamamu!!” Ia pun menolak. Kemudian ia dilemparkan kepada sekelompok prajurit raja, dan dikatakan: “Pergilah kalian ke gunung ini dan gunung ini, mendakilah sampai di puncak gunung, apabila ia mau berhenti dari agamanya selamatkan dia, kalau tidak, maka lemparkan ia ke dasar jurang.”

Maka mereka pun pergi, kemudian naik, dan tatkala berada di atas gunung sang anak berdoa: “Ya Allah! Jagalah diriku dari tipudaya mereka sekehendak-Mu.” Tiba-tiba bergetarlah gunung tersebut dan semua prajurit raja jatuh ke bawah jurang, kemudian kembalilah sang anak menemui sang raja.

Ia (raja) heran dan mengatakan: ‘Apa yang terjadi pada para sahabatmu (para prajurit)?” 

Sang anak menjawab: “Sesungguhnya Allah telah menjagaku dari makar mereka.” 

Maka kembali sang raja melemparkannya ke sekelompok prajuritnya yang lain, kali ini perintah sang raja: “Pergilah kalian dan bawalah anak ini ke sebuah perahu, apabila kalain telah berada di  tengah laut, apabila ia mau berhenti dari agamanya selamatkanlah ia, kalau ia tetap enggan, lemparkanlah ia ke tengah lautan!”

Maka mereka pun pergi, setelah sampai di tengah laut, sang anak pun berdoa: “Ya Allah! Jagalah aku dari tipudaya mereka sekehendak-Mu.” Maka perahu itu pun terbalik, namun Allah tetap menyelematkan anak itu dan tenggelamlah seluruh prajurit raja. Kembalilah sang anak datang menemui sang raja.

Raja pun terkejut seraya mengatakan: “Apa yang terjadi pada para sahabatmu (prajurit raja)?” 

Sang anak menjawab, “Allah telah menjagaku dari makar mereka.” 

Kemudian ia berkata kepada sang raja, “Sesungguhnya engkau tidak akan pernah bisa membunuhku, kecuali bila engkau mau menuruti permintaanku.” 

Sang raja menjawab, “Apakah itu? 

Sang anak melanjutkan, “Kumpulkanlah seluruh manusia pada satu tempat, kemudian saliblah aku di sebuah pohon kurma, kemudian ambillah satu anak panah dari tempat anak panahku, letakkan anak panah itu di busurnya, kemudian katakanlah “Bismilah Rabbil ghulam (dengan nama Allah Rabb-nya anak ini).’ Kemudian lepaskanlah anak panah tersebut. Dengan begitu engkau bisa membunuhku.”

Maka sang raja pun mengumpulkan manusia pada suatu padang yang luas. Dia menyalib anak tersebut pada sebuah batang kurma, kemudian mengambil sebuah anak panah dari tempat anak panahnya dan diletakkan di busur, kemudian mengatakan: “Bismillah Rabbil ghulam (Dengan menyebut nama Allah, Rabb anak ini).” Kemudian panah itu dilepaskan, maka anak panah itu melesat tepat mengenai pelipisnya, setelah itu sang anak meletakkan tangannya di pelipisnya kemudian meninggal.

Maka manusia seluruhnya mengucapkan, “Aamanna bi Rabbil ghulam (Kami beriman kepada Allah Rabb-nya anak tersebut).” 

Maka dikatakan kepada sang raja: “(Wahai sang raja!) Tahukah engkau, perkara yang selama ini kau khawatirkan telah terjadi. Sungguh manusia seluruhnya telah beriman.” 

Maka sang raja memerintahkan untuk membuat sebuah parit di dekat pintu-pintu jalan dan membuat lubang panjang. Lalu dinyalakanlah api kemudian ia berorasi: “Barangsiapa yang tidak mau kembali dari agamanya, maka lemparkanlah ke dalam parit tersebut.” Atau sehingga dikatakan, “Lemparkanlah!!” maka mereka pun melemparkan seluruhnya. 

Sampai datang seorang wanita bersama bayinya, ia berputus asa, berdiri lemas tanpa daya menghadap jurang parit yang tengah berkobar api, tiba-tiba sang bayi berucap, “Wahai ibuku.. bersabarlah, sesungguhnya engkau berada di atas kebenaran…!”

(Hadits shahih riwayat Imam Muslim dalam kitab Az-Zuhd bab “Qishashotu Ash-habil Ukhdud was Sahir war Rahib wal Ghulam: 3005)

TINGGALKAN DIA KARENA ALLAH


 Dalam riwayat Hadits yang lemah bahwa Nabi bersabda

من ترك شيئا لله عوضه الله خيرا منه

Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, Allah akan mengganti dengan sesuatu yang lebih baik (untuknya).

Namun ada sebuah riwayat yang derajatnya lebih shahih ala sarthi muslim, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah di dalam Musnadnya.

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ ، وَأَبِي الدَّهْمَاءِ ، قَالَا : أَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ ، فَقُلْنَا : هَلْ سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا ؟ قَالَ : نَعَمْ، سَمِعْتُهُ يَقُولُ : " إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ ".

Dari Abu Qatadah dan Abu Ad Dahma` keduanya berkata: Kami mendatangi salah seorang pedalaman, kami bertanya: Apa kau pernah mendengar sesuatu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam? Ia menjawaba: Ya, aku mendengar beliau bersabda: "Tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah AzzaWaJalla melainkan Allah akan mengganti dengan sesuatu yang lebih baik darinya untukmu."

Berikut beberapa kisah yang bisa kita teladani:

1. Sulaiman Alaihissalam, di dalam Alquran surat Sad. 

Beliau merupakan seorang Nabi yang sangat mencintai syariat Jihad fi sabilillah, untuk itu iapun selalu menyiapkan perangkat jihad termasuk kuda-kuda tunggangan yang amat ia sukai, suatu ketika ia terlarut ketika menikmati pemandangan kuda-kuda gagah miliknya, baru tersadar oleh terbenamnya matahari, tetnyata ia melewatkan munajatnya (shalat) disore hari.

"Ya Rabb tak mungkinlah cintaku akan nikmatmu, bisa melebihi cintaku padamu"

Ia pun segera kembali ke tempat di mana-mana kuda-kuda itu berada, kemudian satu persatu leher kuda itu dipotongnya dengan pedang miliknya, berharap tidak ada lagi cinta yang bisa melampaui cinta sulaiman terhadap Rabbnya.

*(dalam syariat Nabi sulaiman hal ini masih dibolehkan oleh Allah)

Sebagai gantinya Allah gantikan sulaiman dengan mengistijabah doanya :

 (قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ)

[سورة ص 35]

Dia berkata, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh siapa pun setelahku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Pemberi.”

Allah berikan ia kekuasaan yang diantaranya pasukan berupa angin, setan dan jin yang selalu patuh dan tunduk terhadap perintahnya.

2. Yusuf alaihissalam

Seorang nabi tampan yang tak perlu mengeluarkan kata, seorang permaisuri cantik tak kuasa menahan dirinya, wanita-wanita kota tersihir akan paras yusuf hingga tak sadar tangan-tangan mereka mengalirkan darah segar akibat irisan pisau oleh tangan mereka sendiri.

Yusuf ingat Rabbnya, taqwa dalam hatinya membuka matanya melihat petunjuk dari Rabbnya, penjarapun lebih disukainya.

 (قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ ۖ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ)

[سورة يوسف 33]

 Yusuf berkata, “Wahai Tuhanku! Penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka. Jika aku tidak Engkau hindarkan dari tipu daya mereka, niscaya aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentu aku termasuk orang yang bodoh.

Allah maha adil dan bijaksana, kekuasaan pun  diberikan oleh Allah kepada yusuf, mulai dari ilmu ta'wil mimpi, menjadi seorang bendaharawan harta kerajaan, sampai sujudnya saudara-saudaranya dihadapan dia.

 (رَبِّ قَدْ آتَيْتَنِي مِنَ الْمُلْكِ وَعَلَّمْتَنِي مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ ۚ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنْتَ وَلِيِّي فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ)

[سورة يوسف 101]

Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kekuasaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian takwil mimpi. (Wahai Tuhan) pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkanlah aku dengan orang yang shalih.”

3. Nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam, bersama dengan para sahabatnya dari kaum muhajirin, rela meninggalkan harta, rumah, sanak saudara mereka untuk berhijrah demi membela tauhid mereka atas perintah Allah.

Allah jadikan mereka para pemimpin dunia, kekuasaan kaisar dan kisra pun jatuh ke tangan mereka, Allah tundukkan raja-raja dunia dihadapan mereka.

Allah berfirman : 

(وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ)

[سورة النور 55]

“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh, akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh, Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridhai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Tetapi barangsiapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” QS An-Nur: 55

Kalau memang engkau harus meninggalkannya, tinggalkanlah karena Allah, jika memang harus kehilangan nya ikhlaskan karena Allah, Allah punya banyak cara untuk memberi ganjaran hambanya yang bertaqwa.

ومن يتق الله يجعل له مخرجا ● ويرزقه من حيث لا يحتسب.

  Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya ●  dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.

.

Kamis, 02 Juni 2022

Fitnah Wanita, Fitnah Yang Paling Berbahaya.

 


Semoga Allah menyelamatkan kita dari fitnah wanita, sebahagian ulama salaf bahkan sangat mengkhawatirkan dirinya walaupun hanya terhadap wanita tua dan hitam.

Suatu hari, seorang tabiin bernama Sulaiman bin Yasar rahimahullah keluar dari Madinah untuk melakukan safar bersama temannya. Setibanya mereka di kota Abwaa, temannya berdiri berjalan menuju sebuah pasar untuk membeli (bekal) makanan bagi mereka, dan Sulaiman pun duduk menunggu di tenda.

Sulaiman bin Yasar adalah seorang pria yang tampan dan gagah, termasuk pria yang berwajah sangat tampan, dan paling menjaga diri dari keharaman Allah!!

Dalam penantiannya, ternyata ada seorang wanita dusun dari penduduk gunung memandangnya dari tenda (miliknya). Ketika wanita itu melihat ketampanan Sulaiman dan kegagahannya, turunlah dia dari atas bukit menemui Sulaiman, dengan memakai cadar dan sarung tangan, kemudian datang dan berdiri di hadapan Sulaiman.

Kemudian dia membuka wajahnya yang laksana rembulan di malam purnama seraya berkata: ”Apakah engkau mau memberiku (sesuatu)?”.

Seketika Sulaiman menundukkan pandangannya dari wanita tersebut! Sulaiman mengira bahwa dia adalah wanita miskin yang membutuhkan makanan, maka Sulaiman pun berdiri untuk memberikannya sebagian makanan (sisa perjalanan yang ada padanya).

Wanita itu pun berkata: “Aku tidak menginginkan makanan ini, tetapi yang aku inginkan ialah apa yang dilakukan oleh seorang pria terhadap istrinya!!

Maka seketika berubahlah wajah Sulaiman dan menjadi legam dan dia pun berteriak sembari mengatakan: “Sungguh Iblis yang telah mengutusmu kepadaku!!”

Sulaiman menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, seraya membenamkan kepala diantara kedua lututnya. Terlarutlah Sulaiman dalam jerit dan isak tangis!!

Melihat demikian, wanita itu pun beranjak menutup kembali wajahnya dan berpaling kembali menuju tendanya.

Selang beberapa saat, datanglah temannya yang telah membeli (bekal) makanan bagi mereka. Tatkala melihat Sulaiman kedua matanya lembab karena tangisannya yang kuat dan terengah-engah suaranya, dia bertanya:

“Apa yang menyebabkanmu menangis?!!”

Sulaiman menjawab: “Aku baik-baik saja!! Aku teringat anak perempuan dan anak lelakiku!!”

”Ah tidak mungkin…!! Pasti engkau mengalami sebuah kejadian!! Karena engkau meninggalkan anak-anakmu baru tiga hari atau lebih.

Temannya itu terus mendesak hingga Sulaiman pun memberitahukannya akan kisah seorang wanita cantik yang merayunya!!

Mendengar kisah Sulaiman, teman tersebut malah terisak-isak tangis yang menjadi-jadi. 

Sulaiman pun bertanya (keheranan) kepadanya:

”Dan engkau sendiri, apa yang menyebabkan engkau menangis?”

Temannya menjawab: “Aku lebih berhak menangis daripada engkau!”

“Kenapa?!”

“Karena sungguh aku khawatir jika seandainya aku yang berada pada posisimu maka belum tentu aku bisa bersabar dari wanita tersebut!!”

Keduanya pun akhirnya menangis!!

Singkat cerita, sesampainya Sulaiman di Kota Mekkah, setelah melakukan thawaf dan sa’i, beliau pun mendatangi Hijr dengan berselimut kain, kemudian beliau pun mengantuk dan tertidur sejenak. Tiba-tiba datanglah seorang pria yang tampan dalam mimpinya, laki-laki tersebut gagah dan tinggi, memiliki bentuk fisik yang indah dan beraroma wangi. Sulaiman bertanya kepadanya: ”Siapa engkau -semoga Allah merahmatimu-?

Orang itu menjawab: ”Saya adalah Yusuf bin Ya’qub.”

Sulaiman berkata: ”Oh, engkau Yusuf Nabi yang jujur?, sungguh kisah engkau bersama wanita pembesar kerajaan sangat mengagumkan.”

Yusuf ‘alaihis salam berkata: “Bahkan kisahmu dengan wanita Abwaa tersebut lebih mengagumkan!”


 Hilyah Al-Awliyaa’, Abu Nu’aim rahimahullah (2/191).


Kisah Tiga Ekor Banteng

 


Untuk jadi bahan perenungan bersama tentang makna persatuan dalam berjuang.....

AKU SEBENARNYA TELAH DIMAKAN, KETIKA BANTENG PUTIH ITU DIMAKAN


Ini adalah tamsil yang menarik. 

Tamsil ini dalam bahasa Arab, berbunyi:

أكلت يوم أكل الثور اﻷبيض

"Aku sebenarnya telah dimakan [singa itu], ketika banteng putih itu dimakan." 

Alkisah, ada tiga banteng; putih, merah dan hitam. Ketiga banteng ini berhadapan dengan seekor singa yang hendak memangsanya. Namun, karena ketiganya bersatu padu, singa itu pun tak bisa memangsa mereka, baik yang putih, merah maupun hitam. 

Singa pun tak kehilangan cara. Untuk memangsa ketiganya tidak bisa sekaligus, harus satu-satu. Caranya, dia harus pisahkan ketiganya, dengan bujuk rayu dan muslihat. Singa mulai menjadikan banteng putih sebagai target mangsa. Maka, ia datang kepada kedua banteng yang lain, merah dan hitam. Dia katakan kepada mereka, "Saya akan makan banteng putih, jadi kalau kalian tidak ingin aku mangsa, lebih baik kalian diam saja, tidak perlu membantunya. Kalian akan aku biarkan, dan aman." Kata singa. Kedua banteng itu pun setuju. Mereka diam saja, saat banteng putih dimangsa singa, tak ada kepedulian sedikit pun, karena yang dimangsa bukan mereka. 

Singa itu memangsa banteng putih dengan lahap, tanpa kesulitan berarti, sementara kedua banteng yang lainnya menyaksikan temannya dimangsa, tanpa sedikit pun empati. Mereka salah, dianggap singa itu tak akan memangsa mereka. Maka, setelah hari berganti, giliran mereka yang dimangsa. Tetapi, jika sekaligus, maka singa itu pun tak akan bisa menundukkan mereka. Caranya, sebagaimana cara yang dilakukan singa itu memangsa banteng putih. 

Singa datang kepada banteng hitam, "Saya akan mangsa benteng merah, kamu diam saja, tidak perlu membantunya. Kamu tidak akan aku mangsa, tenang saja, dan diam. Kamu aman." Singa itu pun memangsa banteng merah itu dengan lahapnya, tanpa perlawanan berarti, di depan mata banteng hitam. Banteng hitam itu pun hanya melihat dan menyaksikan temannya, banteng merah dimangsa singa, tanpa empati. Seolah itu tidak akan menimpa dirinya. Tapi, dia salah. 

Setelah hari berganti, banteng hitam itu tinggal sendiri. Saat tinggal sendiri, singa itu pun memangsanya dengan mudah, sebagaimana kedua temannya yang telah dimangsa singa itu terlebih dahulu. Saat banteng hitam itu menjelang ajalnya, dia mengatakan, "Aku sesungguhnya telah dimakan [singa itu], ketika banteng putih itu dimakan." Artinya, ketika mereka membiarkan seekor banteng putih dimangsa singa, dan tidak dilawan, akhirnya kekuatan banteng-banteng tadi berkurang, karena tinggal dua ekor, hingga seekor, saat itulah singa dengan mudah melakukan aksinya. 

Begitulah, tamsil yang indah, menggambarkan betapa persatuan umat Islam itu penting. Tak hanya penting, tetapi juga wajib. 

Cara kaum Kafir untuk menghancurkan kekuatan Islam adalah dengan mengadudomba kaum Muslim. Diciptakanlah, "Islam Radikal" vs "Islam Moderat", "Islam Arab" vs "Islam Nusantara". Semuanya ini tujuannya satu, menghancurkan kekuatan umat Islam, dan memangsa kaum Muslim. 

Sadarkah kita?, 

ada orang Islam, organisasi Islam, bangga karena tidak dicap kaum Kafir sebagai "Islam Radikal", dan senang dengan cap, "Islam Moderat", padahal mereka akan dimakan juga, kelak setelah "Islam Radikal" dijadikan mangsa. 

Sebab, musuh kaum Kafir, seperti kata Samuel Huntington, bukanlah "Islam Radikal," atau "Islam Fundamentalis", tetapi Islam itu sendiri. Dikotomi itu hanya cara yang dilakukan "singa" Kafir untuk memangsa kaum Muslim, dan menghancurkan Islam. 

Maka, ketika musuh Islam melakukan permusuhan bahkan pembubaran terhadap kelompok atau ormas Islam, sekarang diikuti dengan perang terhadap Perda Syariah, targetnya bukan hanya kelompok atau organisasi itu, tetapi menghancurkan Islam dan umatnya. 

Waspadalah!

Kisah Kesalihan dan Kecerdasan Seorang Anak


 

Syaikh Ibnu Dzafar Al-Makki menceritakan:

Bahwasanya Abu Yazid Thaifur bin Isa Al-Busthami rahimahullah saat kecilnya ketika menghafal "Wahai yang berselimut, hidupkanlah malam (dngan salat) kecuali sedikit." (QS Al-Muzzammil 1-2) Dia berkata kepada ayahnya: "Ayahku, siapa yang diperintahkan Allah dengan ini?" 

"Itu Nabi, Anakku"

"Ayah, kenapa engkau tidak melakukan seperti yang dilakukan Nabi ﷺ?

"Shalat malam itu khusus untuk beliau tidak untuk umatnya, Nak."

Lalu Dia (Abu Yazid) diam.

ketika Dia menghafal "Sesungguhnya Rabbmu tahu bahwa engkau salat kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua, atau sepertiganya demikian pula segolongan orang yang bersamamu" (QS Al-Muzammil 20) 

Dia berkata: "Ayah, aku mendengar bahwa segolongan orang juga salat malam, siapakah mereka?"

"Itu adalah para Sahabat radhiallahuanhum, Nak"

"Ayah, kebaikan apa yg kita dapatkan dalam meninggalkan apa yang dilakukan oleh Nabi ﷺ dan Sahabatnya?"

"Engkau benar, Nak"

Setelah itu ayahnya selalu salat malam. Suatu malam Abu Yazid terbangun dan melihat ayahnya sedang salat, setelah itu dia berkata: "Ayah, ajarilah aku bagaimana bersuci dan salat bersamamu" 

" Nak, tidurlah! Kamu masih kecil."

"Ayah, ketika nanti manusia dibangkitkan terpisah2 untuk melihat amalannya, Aku akan mengatakan kepada Rabbku bahwa Aku berkata kepada ayah "Bagaimana aku bersuci agar salat bersamamu? Ia Enggan dan berkata "Tidurlah, kamu masih kecil". Apakah ayah suka?"

"Tidak Nak, Aku tidak suka itu"

Ayahnya mengajarkannya, setelah itu mereka selalu salat bersama.

Hamra’ul Asad dan Ketaatan Para Sahabat



MATAHARI mulai terbenam kala mereka memasuki Madinah. Keletihan di atas keletihan terbayang di wajah. Luka sabetan pedang, tusukan tombak dan luka akibat anak panah musuh yang tertancap di tubuh mengalirkan darah. Gigi seri Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam yang pecah juga tangan kanan beliau yang terluka akibat menangkis pukulan yang diarahkan ke kepala beliau masih menyisakan sakit yang luar biasa. Kesedihan atas meninggalnya tujuh puluh sahabat menambah perihnya luka yang diderita kaum Muslimin di Perang Uhud itu.

Belum cukup mata terpejam untuk istirahat dari kerasnya peperangan, darah segar masih mengalir dari luka-luka yang terbalut perban. Tiba-tiba di keheningan pagi Bilal mengumumkan bahwa musuh harus dikejar. Sang komandan mensyaratkan perintah bahwa yang ikut dengannya adalah orang-orang yang ikut dalam Perang Uhud sebelumnya.

Tholhah bin Ubaidillah menemui Rosulullah, memastikan keberangkatan. Dia mendapati beliau telah siap di atas pelana kudanya di depan pintu masjid, lengkap dengan topi baja yang menutupi seluruh wajah kecuali matanya. Tanpa fikir panjang Tholhah segera berlari menuju kudanya dan segera menyiapkan diri.

Di antara orang-orang Bani Salimah yang telah siap mengijabahi seruan Allah dan Rosulullah terdapat empat puluh tentara terluka, bahkan di antara mereka ada yang mengalami lebih dari sepuluh luka tikam anak panah. Sungguh kekuatan jiwa mereka melebihi kekuatan tubuh mereka. Doa Rosulullah seketika keluar dari lisannya kala memeriksa barisan pasukan, “Ya Allah, berkahilah Bani Salimah!”

Pasukan yang dipimpin langsung oleh Rosulullah itu berhenti di Perang Hamra’ul Asad,kira-kira delapan mil dari Madinah, tidak jauh dari musuh di depan mereka yang telah berkemah selama beberapa waktu di Rawha. Para musuh menunggu waktu tepat untuk menghabisi muslimin hingga ke akarnya.

Di Hamra’ul Asad, Rosulullah memerintahkan pasukannya untuk menyebar dan mengumpulkan kayu kering sebanyak-banyaknya. Setiap orang menumpuknya dalam tumpukan tersendiri. Ketika matahari terbenam, mereka dapat menyiapkan lebih dari lima ratus perapian dan menyalakannya ketika malam tiba.

Tiga hari mereka berada di Hamra’ul Asad menghadang musuh dengan luka-luka yang masih menganga, merancang srategi yang membuat takut musuh. Nyala api yang sangat banyak yang terpencar di areal yang luas seolah-olah menunjukkan besarnya pasukan yang sedang berkemah di sana. Kesan ini tersampaikan kepada Abu Sufyan yang membuat dia dan juga kaumnya ciut nyali dan melarikan diri ke Makkah.

[Ketaatan Tiada Banding]

Allah mengabadikan kisah ini dalam sebuah firman Nya yang berbunyi:

الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِنْ بَعْدِ مَا أَصَابَهُمُ الْقَرْحُ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ عَظِيمٌ (172) الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ(173)

(yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan RosulNya sesudah mereka mendapatkna luka. Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan dan bertakwa ada pahala yang besar. (yaitu) orang-orang yang jika ada yang mengatakan pada mereka “sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, maka takutlah”, keimanan mereka bertambah dan mereka menjawab” cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan dialah sebaik-baik pelindung.” [QS Ali Imron(3): 172-173]

Kedua ayat di atas diturunkan berkenaan dengan Perang Hamra’ul Asad. Walaupun tidak ada kontak fisik, keluarnya Rosulullah dan para sahabat untuk menghadang musuh dan menunjukkan bahwa mereka tidak gentar sedikitpun menghadapi Abu Sufyan dan pasukannya di Hamra’ul Asad dihitung sebagai sebuah peperangan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir Quranul Adzim.

Hamra’ul Asad adalah kisah keberanian dan ketangguhan Rosulullah dan para sahabat mulia. Hamra’ul Asad menjadi saksi sebuah ketaatan tiada bandingnya, saksi atas cinta yang tiada pernah padam di berbagai keadaan. Rasa sakit, keletihan, kepayahan, duka cita yang tak hanya di rasa oleh fisik tapi juga membebani mental tak membuat mereka abai ketika panggilan jihad dikumandangkan. Sungguh gambaran akan ketaatan yang membuat diri semakin kerdil jika dibandingkan dengan mereka.

Saat ini, kala jiwa dipenuhi kecintaan pada materi, kala sakit fisik dan keletihan sedikit dijadikan alasan tertahannya banyak kebaikan dan terhentinya panggilan dakwah, kisah mereka dalam mengijabahi panggilan ribath membuat malu.

Hamra’ul Asad mengajarkan kepada kita sebuah ketaatan pada Allah dan RosulNya yang tak memerlukan alasan apapun. Mengajarkan kepada kita bahwa tawakkal adalah menyerahkan hasil pada Allah setelah ketaatan dijalankan. Hamra’ul Asad contoh ketaatan tiada cela.
Wallahua’lam.