Rabu, 17 Agustus 2022
“Anda tidak mau disebut radikal. Tidak mau juga disebut fundamentalis. Lantas maunya disebut apa?” tanya wartawan Newsweek pada saya dalam satu kesempatan wawancara.
Nafkah Bukanlah Kejar Setoran
“Pokoknya, ayah harus uang belanja dua ratus ribu rupiah ya!”
Sebagian istri ada yang memandang nafkah suami ibarat setoran. Mesti dikirim tiap hari, dan jumlahnya sudah ditentukan. Mungkin para istri seperti ini sudah mengkalkulasi biaya kebutuhan harian atau bulanan sehingga punya target minimal uang belanja. Saya tidak mengada-ada. Faktanya memang ada sejumlah perempuan yang menerapkan pola seperti ini pada suaminya.
Nafkah memang kewajiban para suami. Allah Swt .dan Rasulullah saw. telah menetapkan kewajiban ini pada kaum lelaki, bukan pada kaum perempuan. Firman-Nya:
وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. (TQS Al-Baqarah [2]: 233)
Nabi saw. mengingatkan para suami agar jangan sekali-kali mengabaikan nafkah keluarga. Sabdanya:
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ
Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang wajib ia beri makan (nafkah). (HR Abu Daud)
Nafkah juga mesti diberikan secara makruf oleh suami.
قلت: يا رسول الله! ما حقُّ زوجة أحدِنا عليه؟ قال: أن تُطعِمَها إِذا طَعِمْت، وتَكْسُوَها إِذا اكتسيت، ولا تضربَ الوجه، ولا تُقَبِّحَ، ولا تهجرَ إِلا في البيت
“Wahai Rasulullah, apa saja hak istri yang wajib kami tunaikan?” Beliau bersabda, “Engkau beri ia makan jika engkau makan, engkau beri ia pakaian jika engkau berpakaian, dan jangan engkau memukul wajahnya, jangan mencelanya, dan jangan memboikotnya kecuali di rumah.” (HR Abu Daud)
Memberi nafkah adalah salah satu kewajiban yang pokok dalam pernikahan. Bahkan para pemuda yang diseru untuk menikah oleh Nabi adalah mereka yang punya kemampuan menikah, di antaranya adalah memiliki nafkah.
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ
“Wahai para pemuda, siapa di antara kalian telah mampu menikah, hendaklah ia menikah.”(HR Bukhari)
Makna al-ba’ah oleh para ulama dijelaskan dalam dua hal; pertama, makna secara bahasa yaitu jimak (bersetubuh). Kedua, makna ba’ah itu adalah beban (al-mu’nah dan jamaknya mu’an) pernikahan.
Imam Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim juz IX/173 ketika menjelaskan makna ba’ah, beliau mengutip pendapat Qadhi Iyadh, menurut bahasa yang fasih, makna ba’ah adalah bentukan dari kata al-maba’ah yaitu rumah atau tempat, di antaranya maba’ah unta yaitu tempat tinggal (kandang) unta. Kemudian mengapa akad nikah disebut ba’ah? karena siapa yang menikahi seorang wanita maka ia akan menempatkannya di rumah.
Tetapi, para istri juga harus paham kalau kewajiban nafkah pada suami itu ditetapkan oleh Allah Swt. Yakni, Allah menetapkan batasan nafkah sesuai kemampuan suami, bukan berdasarkan kesepakatan suami apalagi permintaan istri. Tentu saja, suami harus paham kalau ia wajib bekerja keras sebagai pencari nafkah.
Lalu, bicara soal nafkah tentu terkait dengan ketetapan rezeki dari Allah Swt. Tidak ada yang bisa memastikan berapa besar rezeki yang bisa didapat seorang hamba setiap saat. Allah Swt. berfirman:
وَاللّٰهُ يَقْبِضُ وَيَبْصُۣطُۖ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan. (TQS Al-Baqarah [2]: 245)
Di sinilah keadilan syariat Islam terwujud, ketika Allah mewajibkan nafkah pada para suami, namun Islam juga memberikan batas kewajiban itu sesuai kadar rezeki yang diberikan Allah. Firman-Nya:
لِيُنفِقۡ ذُو سَعَةٖ مِّن سَعَتِهِۦۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيۡهِ رِزۡقُهُۥ فَلۡيُنفِقۡ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَاۚ سَيَجۡعَلُ ٱللَّهُ بَعۡدَ عُسۡرٖ يُسۡرٗا
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
Ketika Allah memberikan rezeki yang lapang pada seorang suami, maka ia diwajibkan memberikan nafkah selapang-lapangnya pada keluarga. Saatnya ajak istri makan steak, jalan-jalan, atau beli skincare untuk perawatan tubuh. Tetapi ketika Allah sedang menyempitkan rezeki suami, maka sebatas itulah nafkah yang wajib diberikan pada keluarga. Allah tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya.
Karenanya, para istri wajib paham kalau nafkah memang kewajiban, tetapi bukan setoran yang ada batas minimal perhari atau perbulan. Suami yang paham agama akan bekerja sebaik-baiknya mencari nafkah, dan memberikan nafkah yang terbaik untuk istri dan anak-anak.
Saat suami diberi ujian kesempitan rezeki, ya istri harus terima. Bersabar dan tetap bersyukur adalah sikap terbaik, sambil mendekatkan diri pada Allah agar hati tidak kufur nikmat dan mudah-mudahan diberi rezeki dari jalan yang tak diduga-duga. Tahu-tahu ada berkat tahlilan dengan lauk ayam geprek pakai sambel goreng kentang. Itu juga rezeki dari Allah.
Suami dan istri harus tetap kompak dan romantis karena Allah, bukan karena uang. Tak ada artinya hidup miskin kalau Allah gak rida. Yang enak adalah rezeki berlimpah dan Allah rida, bukan begitu? Jadi dekaplah suami, beri support, jangan banyak menuntut karena istri bukanlah pengacara, tetapi sahabat setia. Jadilah perempuan yang pandai bersyukur karena itu salah satu kekayaan keluarga yang berharga.
Amal Rahasia Zainul Abidin yang Baru Diketahui Ketika Beliau Wafat
Beliau adalah Ali Zainul Abidin bin Husain, cucu Ali bin Abi Thalib yang terkenal dengan nama 'Ali As Sajjad' (Ali yang suka bersujud). Beliau adalah ulama luarbiasa yang digambarkan oleh Az Zuhri yang sezaman dengannya, "aku tidak pernah melihat seorang lelaki Quraisy yang lebih baik darinya di zamannya."
Namun ada satu hal yang sangat menarik dari beliau untuk kita baca kali ini. Zainul Abidin ternyata memiliki amalan rahasia yang baru diketahui oleh orang-orang ketika beliau wafat. Apa amal rahasia itu?
Ali Zainul Abidin memiliki kebiasaan memanggul karung tepung untuk ia bagikan pada keluarga janda dan fakir di sekitarnya. Beliau memilih untuk melakukannya sendiri, tanpa bantuan asisten maupun murid-muridnya. Tak seorang pun tahu, bahkan mereka yang diberi karungan tepung pun sama sekali tak mengira bahwa yang memberinya adalah Zainul Abidin. Sebab beliau melakukannya diam-diam dan tak menyingkap wajahnya.
Di hari ketika Zainul Abidin rahimahullah wafat, seisi Madinah berduka. Orang-orang berdatangan untuk bertakziah, sementara keluarganya memandikan jenazah. Namun di saat mereka memandikannya, terlihat sebuah bekas hitam memanjang di punggung Zainul Abidin.
Orang-orang tahu tanda bekas berwarna hitam memanjang itu tidak akan ada kecuali jika seseorang memanggul beban yang berat. Tak sekali dua kali, tapi berkali-kali. Dan itulah yang kemudian mereka simpulkan: Zainul Abidin sering memanggul sesuatu yang berat di punggungnya, tapi apa?
Tak lama setelah itu, tanda tanya itupun terjawab dengan sendirinya. Keluarga janda, yatim dan para fakir di sekitar Madinah menyadari bahwa orang tak dikenal yang membawakan mereka karung tepung kini tak lagi mengantar. Bukan hanya satu dua keluarga, bahkan yang merasa kehilangan bantuan itu adalah ratusan rumah tangga.
Saat itu mereka tahu dan terharu, bahwa yang melakukan amal hebat itu adalah seorang tokoh besar yang memilih mengamalkannya secara rahasia. Zainul Abidin rahimahullah, yang Imam Malik berkata tentangnya, "ia digelari dengan Zainul Abidin (perhiasan bagi para hamba) karena ibadahnya yang begitu banyak."
Minggu, 14 Agustus 2022
Seorang Pemuda di Majelis Pemimpin Dunia
Seorang pemuda cerdas lagi bertakwa telah hadir di majelis musyawarah Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu.
Bukan hanya sekali-dua kali, melainkan di setiap pertemuan, Khalifah tak pernah ragu mengundangnya walaupun usianya masih muda.
Abdullah bin Abbas, sepupu Rasulullah ﷺ, mengisahkan sendiri sebuah kejadian yang menunjukkan ketakwaan dan kepandaian si pemuda yang bernama al-Hur bin Qais ini,
“Suatu hari Uyainah bin Hishn bin Hudzaifah datang menemui al-Hur bin Qais yang tak lain adalah keponakannya. Ia tahu kalau keponakannya itu memiliki kedudukan di sisi Khalifah Umar bin al-Khaththab.
Oleh karena itu, ia berkata kepada al-Hur bin Qais, ‘Keponakanku, sungguh engkau memiliki kedudukan yang mulia di sisi Khalifah. Maka dari itu, mintakanlah izin kepadanya agar aku bisa menemuinya.’
‘Aku akan memintakan izin untukmu, Paman, insyaAllah,” jawab al-Hur bin Qais singkat
Tatkala Uyainah telah diberi izin dan dipersilakan masuk menemui Khalifah, serta merta dan dengan lancangnya ia berteriak,
“Heh, Ibnul Khaththab! Demi Allah, Anda tidak memberikan sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhan kami dan tidak pula menegakkan hukum dengan adil!”
Khalifah Umar radhiallahu anhu, yang memang memiliki watak keras, marah mendengar ucapan Uyainah. Wajahnya memerah, bahkan beliau hampir saja akan menimpakan hukuman kepada Uyainah kalau saja al-Hur tidak menenangkannya,
‘Wahai Amirul Mukminin¹, sesungguhnya Allah ta’ala telah berfirman kepada Nabi-Nya,
‘Jadilah engkau seorang yang pemaaf, perintahkanlah orang untuk mengerjakan kebaikan, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh.’² Sungguh, pamanku ini termasuk salah satu dari orang-orang bodoh itu.’”
Seketika itu Khalifah Umar tersadar.
Kemarahan yang tadi memuncak, kini telah padam begitu mendengar ayat dan nasihat yang disampaikan oleh al-Hur bin Qais. Pilihannya untuk mengajak al-Hur bin Qais sebagai orang dekatnya benar-benar terbukti. Beliau tak salah, untuk memilih seorang pemuda yang bertakwa dan cerdas masuk ke dalam majelis musyawarahnya.
Abdullah bin Abbas radhiallahu anhu kembali melanjutkan,
“Demi Allah, Umar sama sekali tidak mengabaikan ayat yang dibacakan kepadanya. Sungguh, beliau adalah orang yang sangat berpegang teguh dengan Kitabullah.”
Jika disampaikan dengan tulus dan bijak, sebuah nasihat bisa saja mengubah pendirian seorang pemimpin dunia, meskipun yang menyampaikannya adalah seorang pemuda.
Semoga Allah merahmati al-Hur bin Qais …
Wanita yang Kematiannya Disambut Para Malaikat
Fokus
Ada seorang anak yang setiap ibadah.. rajin ke Masjid, lalu suatu hari ia berkata kepada ibunya,
"Ibu mulai hari ini saya tidak mau ke masjid lagi"
"Kenapa?" sahut si ibu.
"Karena di Masjid saya bertemu orang² yang kelihatannya suci tapi sebenarnya tidak, ada yang sibuk dengan gadgetnya, sementara yang lain sibuk tentang keburukan orang lain".
Si ibu pun berfikir sejenak dan berkata, "Baiklah kalau begitu, tapi ada satu syarat yang harus kamu lakukan setelah itu terserah pd kamu".
"Apa itu ibu?"
"Ambillah air satu gelas penuh, lalu bawa keliling Masjid, ingat jangan sampai ada air yang tumpah".
Si anak pun membawa segelas air mengelilingi Masjid dengan hati², hingga tak ada setitis air pun yang jatuh.
Sesampai di rumah si ibu bertanya, "Bagaimana sudah kamu bawa air itu keliling Masjid?",
"Sudah".
"Apakah ada yang tumpah?"
"Tidak".
"Apakah di Masjid tadi ada orang yang sibuk dengan gadgetnya?".
"Wah, saya tidak tahu kerana pandangan saya hanya tertumpu pada gelas ini", jawab si anak.
"Apakah di Masjid tadi ada orang² yang bersembang keburukan orang lain?", tanya si ibu lagi.
"Wah, saya tidak dengar kerana saya hanya fokus menjaga air dalam gelas".
Si ibu pun tersenyum lalu berkata, "Begitulah hidup anakku, jika kamu FOKUS pada tujuan hidupmu, kamu tidak akan ada masa untuk menilai keburukan orang lain. Jangan sampai kesibukanmu menilai orang lain membuatmu lupa akan nilai dirimu".