Rabu, 17 Agustus 2022

Kondisi Saat Berada di dalam Majelis Ilmu Vs Kondisi Saat Berada Bersama Keluarga

 




Salah satu perkara yang bisa menguatkan iman dan semakin meningkatkan salah satunya adalah hadir di dalam majelis ilmu. Karena saat kita hadir di dalam majelis ilmu, yang dibicarakan adalah perkara agama, Sehingga semangat keimanan atau yang disebut dengan jawil imani memang akan semakin terasa. 

Namun terkadang, setelah pulang dari majelis, berkumpul dengan keluarga, jawil imani (suasana keimanan) tersebut tidak sama saat bersama dengan keluarga. Hal ini mungkin dirasakan oleh sebagian orang, namun mungkin tidak bagi sebagian yang lain. 

Hal seperti ini sebenarnya pernah dialami oleh dua orang sahabat Nabi Muhammad ﷺ yakni yang pernah dirasakan oleh Hanzhalah dan Abu Bakar. 

Sebagaimana riwayat dari Hanzhalah Al Usayyidiy -beliau adalah di antara juru tulis Rasulullah ﷺ , ia berkata, “Abu Bakr pernah menemuiku, lalu ia berkata padaku, “Bagaimana keadaanmu wahai Hanzhalah?” Aku menjawab, “Hanzhalah kini telah jadi munafik.” Abu Bakar berkata, “Subhanallah, apa yang engkau katakan?” Aku menjawab, “Kami jika berada di sisi Rasulullah ﷺ, kami teringat neraka dan surga sampai-sampai kami seperti melihatnya di hadapan kami. Namun ketika kami keluar dari majelis Rasul ﷺ dan kami bergaul dengan istri dan anak-anak kami, sibuk dengan berbagai urusan, kami pun jadi banyak lupa.” Abu Bakar pun menjawab, “Kami pun begitu.”
Kemudian aku dan Abu Bakar pergi menghadap Rasulullah ﷺ lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, jika kami berada di sisimu, kami akan selalu teringat pada neraka dan surga sampai-sampai seolah-olah surga dan neraka itu benar-benar nyata di depan kami. Namun jika kami meninggalkan majelismu, maka kami tersibukkan dengan istri, anak dan pekerjaan kami, sehingga kami pun banyak lupa.” 

Rasulullah ﷺ lalu bersabda, “Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya kalian mau kontinu dalam beramal sebagaimana keadaan kalian ketika berada di sisiku dan kalian terus mengingat-ingatnya, maka niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat tidurmu dan di jalan. Namun Hanzhalah, lakukanlah sesaat demi sesaat.” Beliau mengulanginya sampai tiga kali. (HR Muslim no. 2750)
Halaman : 1 2 3

1444 Tahun Lalu, Hijrah Nabi Kita Bermula

 


Itu artinya 17328 bulan yang lalu, Nabiku dan Nabimu, teladanku dan teladanmu, memulai sebuah hentakan sejarah baru yang tak hanya mengubah wajah sejarah bangsa Arab. Beliau, di hari-hari itu telah melakukan aksi peradaban yang kelak akan sangat berpengaruh pada umat manusia. Dari Siberia-nya hingga Granada, dari ujung Utara Rusia hingga selatan Selandia.

Rasulullah ﷺ ditemani Abu Bakar berhijrah, dari Makkah yang kala itu penuh tekanan, membelah jarak nan jauh selama belasan hari menuju Kota Yatsrib yang kelak dinamai Madinah. Apakah Rasulullah ﷺ dalam keadaan aman dalam hijrah itu?

Tidak. Momentum itu benar-benar mencekam. Dikejar oleh pembunuh bayaran, disiarkan sebagai "buronan" yang siapapun akan mendapatkan imbalan jika berhasil menangkap beliau, dead or alive. Itulah mengapa Rasulullah ﷺ membuat strategi yang sangat matang; memilih partner perjalanan yang cocok, membuat tim yang strategis. Ada yang ditugaskan menghapus jejak langkah, ada yang bertugas mengumpulkan informasi, sampai Asma binti Abi Bakr yang mendapat amanah menjadi supplier makanan selama di Gua Tsur.

Kenapa hijrah Rasulullah ﷺ bukan sekedar berpindah tempat saja?

Karena beliau berpindah dari tekanan menuju mukadimah kebangkitan. Beliau berjalan dari negeri yang masih mendustakan dakwahnya menuju negeri baru yang subur dengan jiwa-jiwa perindu perubahan. Beliau berpindah dari seorang kesatria yang hebat menjadi seorang pemimpin entitas politik yang brilian. Dari gerakan, ke negara.

Yatsrib bukan pula sekadar kota biasa. Di sana ada suku Aus dan Khazraj yang telah lama berperang saudara. Mereka sudah lelah dengan perang panjang itu, menanti apakah ada satu tokoh kunci yang mampu menjadi "solidarity maker" agar Madinah menjadi negeri yang stabil hidupnya. Pucuk di cinta ulam pun tiba, mereka tak hanya mendapatkan seorang pemimpin. Mereka mendapatkan seorang inspirator, seorang nabi dan rasul, dan seorang arsitek peradaban.

Syekh Abdul Aziz Thuraifi mengatakan sebuah hikmah yang sangat menarik untuk direnungkan, "Khalifah Umar menjadikan peristiwa hijrah sebagai patokan awal penanggalan kalender Hijriah, dan tidak menjadikan hari lahir Nabi untuk memulai kalender itu sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlul Kitab..."

Mengapa? Beliau melanjutkan, "Li annal ummah ummatu amalin" (karena umat ini adalah umat amal), "dan sebuah zaman tidak akan menjadi hebat tanpa sebuah amal." Tahun baru hijriah, mentadaburi namanya saja membuat kita berdecak kagum dan bergetar sendiri.

Jika ada seseorang mengatakan, "ini adalah 1444 Hijriah", sebenarnya ia sedang mengatakan, "ini adalah tahun ke-1444 setelah hijrahnya Rasulullah ﷺ ", maka, apakah kita sebagai umat telah berusaha meneladani kerja besar Rasul ﷺ itu? Yang mengawali dakwah di Makkah, tetapi justru uniknya kepemimpinan beliau ada di Madinah, dan justru Islam menembus barat dan timur saat ibu kotanya di Damaskus...

Yang dilebarkan oleh para sahabat sampai sungai Eufrat di Irak dan sungai Guadalquivir di Andalusia. Yang ditinggikan menara azan dari megahnya Kairo yang perkasa hingga ufuk Mali yang kaya raya. Yang madrasahnya ada dari Kufah yang melegenda hingga Malaga dan Sevilla yang penuh dengan jejak cinta.

Mentalitas hijrah itu akan tetap hidup selama umat ini hidup, hingga terbentang nyatalah sabda Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, "sungguh agama ini akan menjangkau negeri yang bisa dijangkau oleh siang dan malam." Artinya? Seluruh dunia!

Efek Buruk Orang Tua Pasang Badan

 


Ada saja orang tua yang siap pasang badan melindungi kesalahan anak. Bagi orang tua yang melakukan hal itu alasannya karena kasih sayang dan berharap anak mereka tidak mengulang kesalahannya. Untuk sejumlah kondisi tertentu orang tua pantas untuk pasang badan atas kesalahan anak. Namun untuk kondisi lain, menjadi bumper kesalahan anak justru bisa menjadi masalah. Bukan untuk orang tua, tapi justru jadi masalah untuk anak-anak mereka sendiri.

Ketika bicara kesalahan yang dilakukan anak, orang tua wajib untuk memahami kapan hal itu jadi tanggung jawab orang tua, dan kapan saat anak harus belajar memikul tanggung jawab atas kesalahannya. Patokannya bukanlah kebiasaan umum di masyarakat. Tidak semua hal yang berlaku di masyarakat itu patut ditiru.

Demikian pula hukum positif yang berlaku di tanah air, juga tidak bisa menjadi patokan hal tadi. Bagi kita, kaum muslimin, harus berpegang pada standar yang ditentukan agama. Islam sudah menetapkan batas halal dan haram, juga siapa yang bertanggung jawab terhadap perbuatan setiap hamba. Itulah hisab. Firman-Nya,

Sungguh, kepada Kami-lah mereka kembali. kemudian sesungguhnya (kewajiban) Kami-lah membuat perhitungan atas mereka. (TQS Al-Ghasyiyah [88]: 25 – 26)

Sebagai orang tua kita wajib memahami bila anak-anak yang belum balig, mereka terbebas dari hisab Allah Swt. Pada saat itu orang tua punya tanggung jawab besar mendidik anak dengan ajaran Islam sebaik-baiknya. Selain juga berkewajiban melindungi anak-anak dari perbuatan tercela dan hal yang membahayakan mereka. Sabda Nabi saw.,

 رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّغِيرِ حَتَّى يَكْبُرَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ أَوْ يُفِيقَ

Diangkat pena dari tiga orang, yaitu orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia dewasa, dan dari orang yang gila hingga ia berakal atau sadar. (HR Nasa’i)

Namun ketika anak-anak sudah beranjak aqil baligh, orang tua semestinya paham kalau mereka bertanggung jawab atas setiap tindakan diri sendiri. Selain itu, orang tua juga wajib memahamkan pada anak bila mereka harus berpikir sebelum bertindak. Anak-anak kita yang sudah menjadi mukallaf, harus dipahamkan kalau mereka sudah harus bertanggung jawab atas setiap perbuatan mereka.

Orang tua dan anak sama-sama wajib memahami kalau anak tidak menanggung dosa orang tua, dan juga sebaliknya. Nabi saw. bersabda:

لاَ يَجْنِى جَانٍ إِلاَّ عَلَى نَفْسِهِ لاَ يَجْنى وَالِدٌ عَلَى وَلَدِهِ وَلاَ مَوْلُودٌ عَلَى وَالِدِهِ

Tidaklah seseorang berbuat dosa kecuali menjadi tanggung jawabnya sendiri, tidaklah orangtua berbuat dosa menjadi tanggung jawab anaknya dan tidak pula anak berbuat dosa menjadi tanggung jawab orang tuanya. (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Jadi, nggak bisa orang tua menanggung kesalahan anaknya yang sudah remaja di dunia, apalagi akhirat. Harap diingat, sesayang apapun orang tua pada anak takkan bisa pikul dosa anaknya di yaumil akhir. Pada putrinya, Fatimah, Rasulullah berpesan bahwa beliau tak bisa menolongnya kelak di hadapan Allah Taala,

وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِى مَا شِئْتِ مِنْ مَالِى لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا

Wahai Fatimah putri Muhammad, mintalah padaku apa yang engkau mau dari hartaku, sesungguhnya aku tidak dapat menolongmu sedikit pun dari Allah. (HR Bukhari dan Muslim)

Mulailah ajarkan anak-anak kita untuk bertanggung jawab atas apa yang telah ia lakukan sejak dini. Di saat kecil, bila ia menelantarkan mainnya lalu hilang, maka ajarkan ia untuk tidak mengulanginya dan menerima akibat tidak merawat mainannya. Bila ia memukul adiknya atau kawannya, maka orang tua menasihatinya dan bila perlu memberinya sanksi sesuai usia. Anak-anak yang sejak kecil diajarkan menerima konsekuensi perbuatannya, maka ia akan terlatih untuk bertanggung jawab dan berpikir sebelum bertindak.


Namun orang tua yang selalu pasang badan untuk anaknya, apalagi membela terus kesalahan anaknya kelak akan menerima dua hukuman; pertama, anaknya akan mengecilkan arti kesalahan dan tanggung jawab, manja, berlindung di balik ketiak orang tuanya, karena tahu orang tuanya akan turun tangan membela mereka. Nah, mau kah orang tua terus dibuat susah anak-anak mereka sampai tua kelak, karena anak-anak mereka tak pernah kenal arti tanggung jawab?

Kedua, anak-anak yang selalu dibela orang tuanya akan terus mencari tumbal orang lain untuk disalahkan. Ketika orang tua mereka sudah tak bisa lagi membela kesalahannya, anak-anak seperti ini sudah terpasang pemikiran untuk lepas tanggung jawab dan melimpahkannya pada orang lain.

Saat ini, kita sudah banyak melihat tipikal pemimpin seperti ini. Ketika rakyat kesusahan, mereka malah menuduh rakyat pemalas. Ketika rakyat antre minyak goreng, mereka menyalahkan rakyat yang kebanyakan menggoreng makanan. Ketika harga kebutuhan pokok meroket, para pemimpin seperti ini meminta rakyat untuk mengurangi makanan, bercocok tanam di halaman rumah, atau rakyat diminta bersyukur karena harga kebutuhan pokok di negeri ini masih lebih murah dibandingkan negara lain.

Para pemimpin seperti itu tidak pernah mau mengakui kesalahan diri sendiri, tidak mau memikul tanggung jawab kekuasaan yang mereka miliki. Inilah buah dari pola didik pasang badan yang dilakukan oleh orang tua atau orang-orang di sekitar mereka. Ayah bunda, mau anak-anak tumbuh menjadi orang-orang seperti ini?

Mulailah menanamkan jiwa kesatria dan bertanggung jawab pada anak. Biarkan mereka merasakan konsekuensi perbuatan keliru mereka. Meski orang tua mungkin merasa sedih dan pahit. Tak mengapa, Itu jauh lebih baik ketimbang merusak mental anak remaja kita di masa depan kelak.

Pogram Penguatan Ketahanan Keluarga, Bisakah Menyelesaikan Tingginya Angka Perceraian?

 


Angka perceraian di Indonesia terus meningkat setiap tahun. Tahun lalu, jumlah kasus perceraian mencapai lebih dari 580 ribu (Republika, 14/07/2022). 

Untuk menangani tingginya jumlah perceraian ini, sejumlah ormas menyusun program-program terkait. NU, misalnya, memiliki Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU). Lembaga ini bertugas melaksanakan kebijakan NU di bidang kesejahteraan keluarga, sosial, dan kependudukan.

Fatayat NU juga memiliki Lembaga Konsultasi, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (LKP3A). Lembaga ini bertugas melakukan advokasi dan konsultasi dalam rangka pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. 

Dalam bidang ekonomi, mereka ada program pemberdayaan ekonomi melalui sistem koperasi, investasi pendidikan, dll. bekerja sama dengan lembaga-lembaga perekonomian pemerintah dan swasta. Dalam bidang kesehatan, ada program dan kegiatan pencegahan stunting dan kesehatan reproduksi perempuan. Hal ini dalam rangka mewujudkan perempuan sehat dan anak sehat sehingga ketenteraman dan kesejahteraan keluarga dapat tercapai. (Republika, 13/07/2022).

‘Aisyiyah, organisasi otonom bagi wanita Muhammadiyah, memprogramkan penguatan keluarga. Program ini berisi perlindungan anak, terutama terkait pernikahan anak (nikahush shagir) dan pembinaan perkawinan dan calon pengantin (catin). (Republika, 13/07/2022).



Angka perceraian di Indonesia memang masih tertinggi di Asia Afrika, yaitu sekitar 28% dari angka perkawinan. Yang memprihatinkan, 93% di antara kasus perceraian adalah cerai gugat, yaitu perceraian yang diajukan oleh istri. (Kemenag, 14/06/2022).

Akar Masalah Penyebab Gugat Cerai
-

Hal paling mendasar untuk menemukan solusi tuntas dari masalah perceraian adalah dengan menelusuri akar masalahnya. Banyak pihak menuding pernikahan dini sebagai penyebab perceraian. Pihak lain menyatakan rapuhnya ketahanan keluarga yang tecermin dari ketimpangan peran ekonomi antara suami dan istri sebagai faktor penyebab perceraian. 

Pada Maret 2021, Komnas Perempuan menyatakan bahwa berdasarkan catatan Pengadilan Agama, penyebab tertinggi perceraian adalah perselisihan dan pertengkaran terus-terusan. Selanjutnya adalah masalah ekonomi, salah satu pihak meninggalkan pihak lainnya, dan adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Perlu kita pahami bahwa sebab-sebab tersebut hanyalah cabang. Ada sebab lain yang memunculkan persoalan tersebut, yaitu sistem kehidupan yang diterapkan negara dan masyarakat.

Sistem tersebut adalah kapitalisme yang menjadikan materi sebagai tolok ukur kebahagiaan. Seseorang merasa bahagia ketika mampu memenuhi seluruh kebutuhannya, primer hingga tersier. Rumah mewah, makanan enak, perhiasan, mode, ataupun jalan-jalan, semua menjadi kebutuhan. Jika “kebutuhan” ini tidak terpenuhi, ia merasa kurang bahagia dan muncullah berbagai konflik dalam rumah tangga.

Di sisi lain, sistem ekonomi kapitalisme menjadikan sumber daya hanya bisa terakses oleh kaum bermodal. Muncullah kesenjangan antara golongan kaya dan miskin. Selain itu, kapitalisme menjadikan semua kebutuhan sebagai ladang bisnis. Pendidikan dan layanan kesehatan menjadi teramat mahal. 

Tidak heran jika tekanan hidup terus meningkat. Suami rentan melakukan KDRT. Istri mudah mengambil keputusan singkat: pergi dari suami untuk bekerja, menjadi TKW di luar negeri, atau berpaling ke laki-laki lain. Inilah yang memunculkan faktor ekonomi di balik perceraian. 

Kapitalisme pun biasanya berjalan bersisian dengan liberalisme ‘paham kebebasan’. Perempuan yang tidak menutup aurat, laki-laki dan perempuan bercampur baur tanpa kepentingan yang mengharuskan, khalwat, maupun pergaulan tanpa batas, menjadikan perselingkuhan marak di tengah masyarakat. Tidak hanya suami yang berselingkuh, istri juga sering kebablasan dengan menyimpan PIL (pria idaman lain, ed.). Apalagi dengan menjamurnya media sosial, peluang berselingkuh makin terbuka lebar.


Akibat liberalisme, masalah-masalah perselingkuhan dianggap sebagai masalah pribadi yang tidak layak dicampuri orang lain. Kontrol sosial menjadi mandul. 

Belum lagi sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Paham ini membuat umat Islam memandang agama sebagai ritual semata. Dalam kehidupan sehari-hari, hukum agama dipinggirkan. Kaum muslim pun makin jauh dari ketakwaan. 

Yang terjadi kemudian adalah para suami yang tidak paham kewajiban menafkahi istri dan anak-anak, menelantarkan mereka dan mengabaikan tanggung jawabnya. Begitu pula suami-suami yang suka melakukan kekerasan terhadap istri, berselingkuh, berpoligami secara tidak adil, dan kezaliman lain yang menyalahi syarak. Semua berujung perselisihan dan keretakan rumah tangga yang sering kali diakhiri dengan gugatan cerai istri kepada suami.

Inilah sejatinya penyebab tingginya perceraian, terutama gugat cerai. Selama kapitalisme beserta turunannya tidak dibongkar habis, masalah perceraian akan terus marak. Bahkan, di negara-negara Eropa dan Amerika yang menjadi lokomotif kapitalisme, tingkat perceraian hampir mencapai 50%.

Program Penguatan Ketahanan Keluarga Bukan Solusi

Melihat akar masalah perceraian tersebut, kita juga bisa mengetahui persoalan penguatan ketahanan keluarga tidak akan bisa menjadi solusi. Ini karena apa pun yang dikatakan sebagai “ketahanan keluarga” hanya terdiri dari faktor-faktor yang bersifat semu. 

Seperti faktor ekonomi yang diperkuat dengan melibatkan perempuan untuk mendapatkan penghasilan, justru akan memunculkan banyak persoalan baru. Tatkala para ibu sibuk menambah penghasilan keluarga, anak-anak terabaikan. 

Coba tengok fakta mengerikan anak-anak pada hari-hari belakangan. Ada anak yang terjebak perundungan hingga depresi. Sebagian lagi tumbuh sebagai para pelaku perundungan yang tidak lagi punya nurani. 

Data survei Reckitt Benckiser Indonesia pada 2019 menyebutkan, 33% remaja Indonesia telah melakukan hubungan seksual. (Kumparan, 18/11/2021). Kepala BKKBN Hasto Wardoyo menyatakan, anak 11—14 tahun yang sudah melakukan hubungan seksual mencapai 6%. Sebanyak 74% anak laki-laki dan 59% anak perempuan pada usia 15—19 tahun mengaku sudah pernah melakukannya. (Antara News, 07/01/2022). Belum lagi soal tawuran, narkoba, dan anak-anak korban kekerasan, semua lepas dari perlindungan dan pengawasan keluarga.

Lantas, apabila ayah dan ibu terbebani kerja sekaligus pengasuhan, pendidikan, dan pengawasan anak—sebagaimana ide para pejuang gender—jelas akan menciptakan tekanan tersendiri bagi masing-masing mereka dan memecah konsentrasi dalam bekerja. Apalagi ketika orang tua sendiri jauh dari pemahaman agama.

Begitu pula pencegahan pernikahan dini, bukanlah solusi. Masalahnya bukan pada umur berapa seseorang menikah, melainkan lebih pada pembentukan kepribadian dan pendidikan untuk mematangkan emosi dan menanamkan pemahaman yang benar. Inilah yang tidak didapatkan anak-anak, baik di rumah maupun sekolah.


Mekanisme Islam Mencegah Perceraian

Kondisi ini berbeda jauh dengan kondisi saat sistem Islam diterapkan. Islam merupakan agama yang unik karena satu-satunya agama yang tidak sekadar mengatur ritual atau aspek ruhiyah. Islam adalah akidah siyasi, yaitu akidah yang memancarkan seperangkat aturan untuk mengatur kehidupan.

Islam memandang masalah ekonomi dari segi tercukupinya kebutuhan individu per individu, baik kebutuhan pokok, kesehatan, maupun pendidikan. Dengan demikian, masyarakat dikatakan sejahtera apabila semua individunya pun sejahtera. 

Aturan Islam juga mengenalkan kita pada kewajiban nafkah. Suami wajib hukumnya menafkahi anak dan istri. Apabila suami ingkar, pengadilan berhak memaksa atau menyita harta suami untuk menafkahi keluarganya secara layak. Apabila suami tidak mampu karena sakit atau cacat, kewajiban tersebut berpindah kepada para wali dari jalur suami. Apabila ternyata mereka semua miskin, negaralah yang mengeluarkan nafkah dari kas negara.

Selain itu, negara wajib menyediakan lapangan kerja yang luas agar para suami dapat bekerja dan menafkahi keluarganya. Dalam Islam, semua sumber daya alam strategis adalah milik umat yang dikelola negara. Dengan pemasukan yang besar dari semisal tambang, hutan, perairan, dan sumber daya alam lainnya, bukan hal mustahil bagi negara untuk menciptakan lapangan kerja yang luas dan menjamin kebutuhan individu warga negaranya. Dengan mekanisme ini, penyebab perceraian dari faktor ekonomi dapat terhindarkan.

Dari sisi kebebasan, Islam memang menghargainya, tetapi tetap menjaga agar kebebasan tersebut bernilai positif bagi kehidupan. Islam memberi kebebasan bagi perempuan beraktivitas di luar rumah, misalnya. Untuk mencegah dampak negatif dari keluarnya perempuan di ruang publik, seperti pergaulan bebas dan perselingkuhan, Islam mengharuskan perempuan maupun laki-laki terikat dengan seperangkat aturan. Mereka wajib menutup aurat, tidak berkhalwat, menjaga pandangan, serta menjaga izzah (kehormatan). Khusus bagi perempuan, mereka wajib berjilbab, tidak tabaruj, dan tidak bersafar sehari semalam lebih tanpa mahram.

Kemudian media massa, mereka bebas menyebarkan berita, tetapi berkewajiban untuk memberikan pendidikan bagi umat, menjaga akidah dan kemuliaan akhlak, serta menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat.


Khatimah

Dengan aturan Islam, ketakwaan dan kemuliaan masyarakat akan senantiasa terjaga. Perselingkuhan bisa dicegah sehingga keberlangsungan rumah tangga dapat terjaga. Selain itu, Islam memberikan seperangkat aturan untuk menjaga agar tidak mudah terjadi perceraian. Salah satunya dengan menyolusi setiap perselisihan antara suami istri. 

Allah Swt. berfirman,

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا

“Dan jika kamu mengkhawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS An-Nisa’: 35) 

Demikianlah, melalui penerapan syariat Islam secara utuh, seluruh problem manusia, termasuk dalam berumah tangga, akan menemukan solusi tuntas. Dengan cara seperti inilah ketahanan keluarga yang hakiki akan terwujud sehingga kebahagiaan dan kesejahteraan bukan lagi impian yang sulit diraih.




 “Anda tidak mau disebut radikal. Tidak mau juga disebut fundamentalis. Lantas maunya disebut apa?” tanya wartawan Newsweek  pada saya dalam satu kesempatan wawancara. 

Sebutan Islam radikal (radical Islam) dan Islam fundamentalis (fundamentalist moslem), juga istilah Islam garis keras (hard-liner moslem) atau ekstremis Islam memang harus ditolak karena itu semua adalah istilah peyoratif. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah peyoratif adalah unsur bahasa yang memberikan makna menghina dan merendahkan. 

Bahasa membawa cerita. Demikianlah, tiap sebutan juga pasti mengandung citra dan cerita tertentu yang telah terbentuk atau dibentuk sebelumnya. Dan celakanya semua sebutan tadi telah memiliki citra yang buruk.  “Radikalis”, “Fundamentalis”, “Ekstremis”, “Garis Keras” adalah istilah-istilah dalam wacana (discourse) yang dikembangkan oleh Barat untuk menyebut kelompok atau individu muslim yang menurut mereka eksklusif, doktriner, anti dialog, dan memusuhi Barat serta cenderung pada kekerasan. 

Dan sekali Anda melakukan kekerasan, baik benar-benar Anda melakukan ataupun dibuat seolah-olah Anda melakukan, maka cap teroris akan melekat. Dan sekali dicap teroris, maka Anda akan menjadi pesakitan selamanya. 

Itulah dahsyatnya hegemoni wacana. Dan melalui hegemoni itu, Noam Chomsky, profesor linguistik dari Institut Teknologi Massachusetts (MIT), AS, menyebut media Amerika Serikat telah memproduksi consent (imaji lewat media untuk memberikan sekutunya semacam hak untuk melakukan sesuatu yang salah secara hukum tapi berhak untuk tidak dituntut) ke dalam benak masyarakat. 

Imaji lewat media itu dilakukan melalui serangkaian istilah-istilah yang terus disemburkan ke ruang publik melalui media yang memang telah didominasi oleh Barat. Jadilah publik, termasuk orang Islam sendiri, percaya bahwa janganlah menjadi orang Islam yang radikal, fundamentalis, ekstremis, dan jangan pula masuk kepada kelompok garis keras (hard liner) karena itu semua adalah buruk. 

Jadi, Anda maunya disebut apa? Kepada wartawan Newsweek, saya katakan,  “sebut kami, the Truly Moslem atau muslim yang sebenarnya”. Ini istilah yang saya reka sendiri, meniru jargon pariwisata Malaysia yang dalam advetorialnya, mereka menyebut Malaysia sebagai the Truly Asia atau Asia yang sebenarnya. 

Saya sendiri tidak tahu apakah istilah itu tepat atau tidak. Insyaallah sih, tepat. Maksudnya, istilah itu menggambarkan bahwa kita, dan tentu umat Islam lain, adalah orang-orang yang  meyakini Islam sepenuhnya dan  memahami serta mengamalkan seluruh ketentuan Islam dengan sebaik-baiknya. 

Kenapa tidak digunakan saja istilah muslim kaffah? Betul. Semestinya kita tidak kesulitan untuk menyebut siapa diri kita. Tapi itulah yang terjadi. Di era globalisasi  seperti sekarang ini dimana Barat mendominasi hampir seluruh sendi kehidupan termasuk mendominasi ruang opini publik, ternyata kita direpotkan dengan istilah-istilah, sampai-sampai kita kesulitan menyebut diri kita sendiri.

Setelah sekian lama wawancara, saya balik bertanya kepada wartawan Newsweek, TV ABC dan NBC yang berbarengan mewawancarai saya,  “Apakah Anda percaya orang seperti saya ini adalah teroris?”. Serentak mereka menjawab, “Oh, no, no…”. Sementara wartawan The Washington Post setelah wawancara dengan enteng nyelethuk, “You are too smart to be moslem”. 

Jadi benarlah, meeting makes changing. Pertemuan akan mengubah semua. Karena itu, mari kita rajin bertemu atau kontak dengan orang lain. Tentu bukan sekadar kontak, tapi kontak yang terarah (ittishalah maqsudah). Dengan kesungguhan dan penjelasan yang jelas dan tegas disertai keikhlasan yang berangkat dari semangat tauhid, pertemuan-pertemuan itu insyaallah akan mampu mengubah sikap orang dari yang semula antipati menjadi simpati; dari menentang menjadi pendukung. Yakin.

Nafkah Bukanlah Kejar Setoran

 


“Pokoknya, ayah harus uang belanja dua ratus ribu rupiah ya!”

Sebagian istri ada yang memandang nafkah suami ibarat setoran. Mesti dikirim tiap hari, dan jumlahnya sudah ditentukan. Mungkin para istri seperti ini sudah mengkalkulasi biaya kebutuhan harian atau bulanan sehingga punya target minimal uang belanja. Saya tidak mengada-ada. Faktanya memang ada sejumlah perempuan yang menerapkan pola seperti ini pada suaminya.

Nafkah memang kewajiban para suami. Allah Swt .dan Rasulullah saw. telah menetapkan kewajiban ini pada kaum lelaki, bukan pada kaum perempuan. Firman-Nya:

وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. (TQS Al-Baqarah [2]: 233)

Nabi saw. mengingatkan para suami agar jangan sekali-kali mengabaikan nafkah keluarga. Sabdanya:

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ

Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang wajib ia beri makan (nafkah). (HR Abu Daud)

Nafkah juga mesti diberikan secara makruf oleh suami.

قلت: يا رسول الله! ما حقُّ زوجة أحدِنا عليه؟ قال: أن تُطعِمَها إِذا طَعِمْت، وتَكْسُوَها إِذا اكتسيت، ولا تضربَ الوجه، ولا تُقَبِّحَ، ولا تهجرَ إِلا في البيت

“Wahai Rasulullah, apa saja hak istri yang wajib kami tunaikan?” Beliau bersabda, “Engkau beri ia makan jika engkau makan, engkau beri ia pakaian jika engkau berpakaian, dan jangan engkau memukul wajahnya, jangan mencelanya, dan jangan memboikotnya kecuali di rumah.” (HR Abu Daud)

Memberi nafkah adalah salah satu kewajiban yang pokok dalam pernikahan. Bahkan para pemuda yang diseru untuk menikah oleh Nabi adalah mereka yang punya kemampuan menikah, di antaranya adalah memiliki nafkah.

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ

“Wahai para pemuda, siapa di antara kalian telah mampu menikah, hendaklah ia menikah.”(HR Bukhari)

Makna al-ba’ah oleh para ulama dijelaskan dalam dua hal; pertama, makna secara bahasa yaitu jimak (bersetubuh).  Kedua, makna ba’ah itu adalah beban (al-mu’nah dan jamaknya mu’an) pernikahan.

Imam Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim juz IX/173 ketika menjelaskan makna ba’ah, beliau mengutip pendapat Qadhi Iyadh, menurut bahasa yang fasih, makna ba’ah adalah bentukan dari kata al-maba’ah yaitu rumah atau tempat, di antaranya maba’ah unta yaitu tempat tinggal (kandang) unta. Kemudian mengapa akad nikah disebut ba’ah? karena siapa yang menikahi seorang wanita maka ia akan menempatkannya di rumah.

Tetapi, para istri juga harus paham kalau kewajiban nafkah pada suami itu ditetapkan oleh Allah Swt. Yakni, Allah menetapkan batasan nafkah sesuai kemampuan suami, bukan berdasarkan kesepakatan suami apalagi permintaan istri. Tentu saja, suami harus paham kalau ia wajib bekerja keras sebagai pencari nafkah.

Lalu, bicara soal nafkah tentu terkait dengan ketetapan rezeki dari Allah Swt. Tidak ada yang bisa memastikan berapa besar rezeki yang bisa didapat seorang hamba setiap saat. Allah Swt. berfirman:

 وَاللّٰهُ يَقْبِضُ وَيَبْصُۣطُۖ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ

Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan. (TQS Al-Baqarah [2]: 245)

Di sinilah keadilan syariat Islam terwujud, ketika Allah mewajibkan nafkah pada para suami, namun Islam juga memberikan batas kewajiban itu sesuai kadar rezeki yang diberikan Allah. Firman-Nya:

لِيُنفِقۡ ذُو سَعَةٖ مِّن سَعَتِهِۦۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيۡهِ رِزۡقُهُۥ فَلۡيُنفِقۡ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَاۚ سَيَجۡعَلُ ٱللَّهُ بَعۡدَ عُسۡرٖ يُسۡرٗا

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.

Ketika Allah memberikan rezeki yang lapang pada seorang suami, maka ia diwajibkan memberikan nafkah selapang-lapangnya pada keluarga. Saatnya ajak istri makan steak, jalan-jalan, atau beli skincare untuk perawatan tubuh. Tetapi ketika Allah sedang menyempitkan rezeki suami, maka sebatas itulah nafkah yang wajib diberikan pada keluarga. Allah tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya.

Karenanya, para istri wajib paham kalau nafkah memang kewajiban, tetapi bukan setoran yang ada batas minimal perhari atau perbulan. Suami yang paham agama akan bekerja sebaik-baiknya mencari nafkah, dan memberikan nafkah yang terbaik untuk istri dan anak-anak.

Saat suami diberi ujian kesempitan rezeki, ya istri harus terima. Bersabar dan tetap bersyukur adalah sikap terbaik, sambil mendekatkan diri pada Allah agar hati tidak kufur nikmat dan mudah-mudahan diberi rezeki dari jalan yang tak diduga-duga. Tahu-tahu ada berkat tahlilan dengan lauk ayam geprek pakai sambel goreng kentang. Itu juga rezeki dari Allah.

Suami dan istri harus tetap kompak dan romantis karena Allah, bukan karena uang. Tak ada artinya hidup miskin kalau Allah gak rida. Yang enak adalah rezeki berlimpah dan Allah rida, bukan begitu? Jadi dekaplah suami, beri support, jangan banyak menuntut karena istri bukanlah pengacara, tetapi sahabat setia. Jadilah perempuan yang pandai bersyukur karena itu salah satu kekayaan keluarga yang berharga.

Amal Rahasia Zainul Abidin yang Baru Diketahui Ketika Beliau Wafat

 


Beliau adalah Ali Zainul Abidin bin Husain, cucu Ali bin Abi Thalib yang terkenal dengan nama 'Ali As Sajjad' (Ali yang suka bersujud). Beliau adalah ulama luarbiasa yang digambarkan oleh Az Zuhri yang sezaman dengannya, "aku tidak pernah melihat seorang lelaki Quraisy yang lebih baik darinya di zamannya."

Namun ada satu hal yang sangat menarik dari beliau untuk kita baca kali ini. Zainul Abidin ternyata memiliki amalan rahasia yang baru diketahui oleh orang-orang ketika beliau wafat. Apa amal rahasia itu?

Ali Zainul Abidin memiliki kebiasaan memanggul karung tepung untuk ia bagikan pada keluarga janda dan fakir di sekitarnya. Beliau memilih untuk melakukannya sendiri, tanpa bantuan asisten maupun murid-muridnya. Tak seorang pun tahu, bahkan mereka yang diberi karungan tepung pun sama sekali tak mengira bahwa yang memberinya adalah Zainul Abidin. Sebab beliau melakukannya diam-diam dan tak menyingkap wajahnya.

Di hari ketika Zainul Abidin rahimahullah wafat, seisi Madinah berduka. Orang-orang berdatangan untuk bertakziah, sementara keluarganya memandikan jenazah. Namun di saat mereka memandikannya, terlihat sebuah bekas hitam memanjang di punggung Zainul Abidin.

Orang-orang tahu tanda bekas berwarna hitam memanjang itu tidak akan ada kecuali jika seseorang memanggul beban yang berat. Tak sekali dua kali, tapi berkali-kali. Dan itulah yang kemudian mereka simpulkan: Zainul Abidin sering memanggul sesuatu yang berat di punggungnya, tapi apa?

Tak lama setelah itu, tanda tanya itupun terjawab dengan sendirinya. Keluarga janda, yatim dan para fakir di sekitar Madinah menyadari bahwa orang tak dikenal yang membawakan mereka karung tepung kini tak lagi mengantar. Bukan hanya satu dua keluarga, bahkan yang merasa kehilangan bantuan itu adalah ratusan rumah tangga.

Saat itu mereka tahu dan terharu, bahwa yang melakukan amal hebat itu adalah seorang tokoh besar yang memilih mengamalkannya secara rahasia. Zainul Abidin rahimahullah, yang Imam Malik berkata tentangnya, "ia digelari dengan Zainul Abidin (perhiasan bagi para hamba) karena ibadahnya yang begitu banyak."