Jumat, 11 November 2022

LIMA KALI SEHARI, KITA DIINGATKAN UNTUK APA?


 Kita semua yang pernah belajar fiqih tentang shalat pasti mengetahui bahwa i'tidal dan duduk di antara dua sujud, disebut sebagai dua rukun pendek. Keduanya harus dilakukan dalam tempo yang pendek atau sedang. Tidak boleh terlalu lama. Apabila dua rukun tersebut sengaja dilakukan terlalu lama, maka shalat kita batal!

Hikmahnya adalah kedua rukun tersebut ada sebagai sarana beristirahat sejenak bagi orang yang shalat. Kita diberi kesempatan untuk perpanjang bacaan Al-Qur'an ketika berdiri, begitu pula berlama-lama saat rukuk dan sujud sepanjang yang kita mau. Oleh karena itu, Allah menyiapkan rukun shalat yang  pendek yang terletak di antara rukun-rukun shalat yang panjang tersebut agar kita bisa beristirahat.

Alangkah hebatnya hikmah yang Allah simpan dalam shalat tersebut. Hidup ini bagai shalat, di mana kita tak bisa terus-menerus bergerak, melainkan harus ada waktu istirahat sejenak. Hidup butuh jeda. Inilah aturan pertama.

Namun perlu diingat, bahwa rukun shalat yang pendek adalah terlarang untuk dilakukan berlama-lama. Sama seperti istirahat dalam kehidupan. Cukuplah sejenak saja. Inilah aturan kedua.

Apabila kita termasuk orang-orang yang senang bermalas-malasan, nyaman sebagai generasi rebahan, enjoy untuk bersantai dalam jangka waktu panjang, bisa dibilang kita baru mengerjakan shalat dari luarnya saja. Namun nilai-nilai yang terkandung dalam shalat belum lagi kita amalkan.

Tak heran jika Al-Qur'an mengaitkan shalat dengan rasa malas. Karena di dalam gerakan shalat ada pelajaran yang besar untuk menjauhi malas. Ingat, yang harus kita penuhi adalah beristirahat, bukan bermalas-malas. Istirahat berbeda dengan malas. Perhatikanlah sifat orang-orang yang ingkar kepada Allah dalam surat At-taubah ayat 54 ini.

وَلَا يَأْتُونَ ٱلصَّلَوٰةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَىٰ

_"Dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas."_

Wahai orang-orang yang mendirikan shalat, jangan kelamaan istirahat dalam hidup. Bangunlah, bergeraklah. Lakukanlah usaha demi usaha agar kita meraih puncak cita-cita. Apakah duduk-duduk saja bisa mengantarkan kita ke puncak? Mungkin, tapi butuh waktu yang sangat lama dan resiko gagal yang sangat besar. Seperti dikatakan orang bijak,

_"Ada dua cara mencapai puncak pohon: Memanjat batangnya, atau duduk-duduk di atas benih sampai pohon itu tumbuh besar."_

Apapun profesi Anda, berlarilah sekencang-kencangnya setiap hari. Coba tengok bagaimana kehidupan alam liar di Afrika. Apabila fajar datang, rusa menyambut pagi sambil bertekad untuk berlari kencang. Karena jika ia tak melakukannya ia akan mati dimangsa.

Pada waktu yang sama, apabila fajar datang. Singa menyambut pagi sambil bertekad untuk berlari kencang. Karena jika ia tak melakukannya ia akan mati kelaparan. Tak peduli Anda adalah rusa atau singa, Anda tetap harus berlari sekencang-kencangnya hari ini!


TIADA TERLAMBAT UNTUK BELAJAR

 


“Barangsiapa menempuh jalan menuntut ilmu maka Alloh akan membuat mudah baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Saudaraku, di dalam Al Quran Alloh Swt. menjanjikan bahwa siapa saja di antara hamba-Nya yang menuntut ilmu secara ikhlas maka Alloh akan mengangkat derajatnya. Maasyaa Alloh. Oleh karena itu, janganlah kendur semangat dalam menuntut ilmu, pantang redup dalam belajar.

Karena hidup di dunia ini tiada bisa dijalani dengan selamat kecuali oleh orang yang mengerti ilmunya. Demikian juga akhirat, tidak bisa diraih dengan kemenangan kecuali oleh orang yang memahami ilmunya. Manusia bisa selamat dan bahagia di dunia dan akhirat adalah dengan ilmunya. Demikian yang Rosululloh Saw. wasiatkan kepada kita.

Oleh karena itu, meski sekolah itu ada tingkatannya, demikian juga dengan pendidikan tinggi pun ada stratanya, akantetapi itu bukan berarti kegiatan belajar kita dibatasi oleh waktu. Sungguh, tiada batasan usia untuk kita menuntut ilmu. Jangan pernah minder dalam belajar hanya karena usia kita sudah lebih tua daripada umumnya, karena yang sebenarnya rugi adalah orang yang tidak mau belajar.

Imam Asy Syafii ra. pernah mengatakan, “Orang yang tidak mau merasakan beratnya belajar walau sebentar, maka ia harus menahan pedihnya kebodohan.”

Sepanjang hayat dikandung badan, marilah senantiasa semangat menghadiri majlis ilmu. Karena Rosululloh Saw. bersabda, 

“Barangsiapa yang keluar rumah untuk menuntut ilmu, berarti dia berada di jalan Alloh hingga pulang.” (HR. Tirmidzi)

Semoga Alloh Swt. senantiasa memberi kita petunjuk sehingga kita semakin antusias dalam memperkaya diri dengan ilmu. Semakin banyak ilmu, niscaya kita akan semakin ringan menjalani hidup ini. Insyaa Alloh.


KITA SELAMAT, MEREKA JUGA IKUT SELAMAT


 Ibrahim An-Nakha'i adalah salah seorang sahabat yang hidup dimasa Thabi'in, antara tahun 670—710 M. Beliau seorang yang faqih, dari kota Kufah. Beliau juga termasuk murid dari Alqama ibnu Qays yang juga merupakan murid dari Ibnu Mas'ud ra., seorang sahabat Rasulullah. Pernah bertemu dengan keluarga dan sahabat nabi, termasuk diantaranya Anas bin Malik ra. dan Aisyah ra. binti Abu bakar.

Adapun Ibrahim An-Nakha'i sangatlah faqih dalam bidang teologi, ahli hukum dan senang mempelajari tentang ajaran—ajaran Islam (wikipedia dot org).

Diceritakan bahwasanya Imam Ibrahim An-Nakha’i ra. adalah seorang yang bermata juling, dan muridnya, Sulaiman ibn Mihron adalah seorang yang penglihatannya juga lemah.

Ibn Al-Jauizy dalam kitabnya Al-Munthadham meriwayatkan dari mereka berdua:

Suatu hari keduanya sedang melewati salah satu jalan di kota Kufah, Iraq, menuju ke Masjid Jami’. Tatkala mereka berdua sedang berjalan, Imam Ibrahim memanggil muridnya dan berkata: “Wahai Sulaiman, aku mengambil jalan ini, dan engkau ambillah jalan yang lain." 

"Sesungguhnya aku khawatir kalau kita berdua melewati orang-orang, mereka akan mengatakan: Orang juling kok menuntun orang yang lemah penglihatannya, sehingga mereka jatuh pada perbuatan dosa gara-gara meng-ghibahi (ngomongin) kita."

Maka muridnya menjawab: “Wahai Imam, biarkan saja mereka meng-ghibahi kita, toh mereka akan mendapat dosa dan sebaliknya kita akan mendapat pahala.”

Ibrahim An-Nakha’i langsung menjawab: "Subhanallah! Lebih baik kita selamat dan mereka juga selamat dari pada mereka mendapat dosa dan kita mendapat pahala."

Itulah sekelumit kisah dari Ibrahim An-Nakha'i yang bisa kita ambil hikmahnya. Hal ini sering kita temui dalam hidup keseharian. Tanpa disadari, kadangkala tindakan kita bisa "membuka" peluang bagi orang lain untuk ber-ghibah (membicarakan) kekurangan diri kita. 

Meskipun dosanya akan kembali buat orang lain, namun bagaimana sebaiknya kita tetap berhati-hati dalam tindakan dan menjauhi sikap egois agar orang lain juga ikut selamat, bersama-sama mendapatkan pahala.

Mungkin akan terasa berat, namun itulah sikap teladan sesungguhnya..…

Hikmah:

1. Jiwa yang sangat mulia, begitu bersih dan peduli pada orang lain. 

2. Jiwa yang tidak menghendaki keselamatan hanya untuk dirinya sendiri.

3. Berharap dirinya selamat dan orang lain juga ikut selamat bersamanya.


Semoga bermanfaat  

Kamis, 10 November 2022

KISAH BUDAK HITAM KEKASIH ALLAH Part 2

 


Setelah berjalan beberapa saat maka budak itu bertanya kepada saya, “Wahai tuanku!”

Saya jawab, “Labbaik.”

Dia berkata, “Jangan katakan kepada saya ‘labbaik’ karena seorang budak yang lebih pantas untuk mengatakan hal itu kepada tuannya.”

Saya katakan, “Apa keperluanmu wahai orang yang kucintai?”

Dia menjawab, “Saya orang yang fisiknya lemah, saya tidak mampu menjadi pelayan. Anda bisa mencari budak yang lain yang bisa melayani keperluan Anda. Bukankah telah ditunjukkan budak yang lebih kekar dibandingkan saya kepada Anda.”

Saya jawab, “Allah tidak akan melihatku menjadikanmu sebagai pelayan, tetapi saya akan membelikan rumah dan mencarikan istri untukmu dan justru saya sendiri yang akan menjadi pelayanmu.”

Dia pun menangis hingga saya pun bertanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?”

Dia menjawab, “Anda tidak akan melakukan semua ini kecuali Anda telah melihat sebagian hubunganku dengan Allah Ta’ala, kalau tidak maka kenapa Anda memilih saya dan bukan budak-budak yang lain ?!”

Saya jawab, “Engkau tidak perlu tahu hal ini.”

Dia pun berkata, “Saya meminta dengan nama Allah agar Anda memberitahukan kepada saya.”

Maka saya jawab, “Semua ini saya lakukan karena engkau orang yang terkabul doanya.”

Dia berkata kepada saya, “Sesungguhnya saya menilai –insya Allah– Anda adalah orang yang saleh. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memiliki hamba-hamba pilihan yang Dia tidak akan menyingkapkan keadaan mereka kecuali kepada hamba-hamba-Nya yang Dia cintai, dan tidak akan menampakkan mereka kecuali kepada hamba yang Dia ridhai.”

Kemudian dia berkata lagi, “Bisakah Anda menunggu saya sebentar, karena masih ada beberapa rakaat shalat yang belum saya selesaikan tadi malam?”

Saya jawab, “Rumah Fudhail bin Iyyadh sudah dekat.”

Dia menjawab, “Tidak, di sini lebih saya sukai, lagi pula urusan Allah Azza wa Jalla tidak boleh ditunda-tunda.” Maka dia pun masuk ke masjid melalui pintu halaman depan. Dia terus mengerjakan shalat hingga selesai apa yang dia inginkan. 

Setelah itu dia menoleh kepada saya seraya berkata, “Wahai Abu Abdirrahman, apakah Anda memiliki keperluan?”

Saya jawab, “Kenapa engkau bertanya demikian?”

Dia menjawab, “Karena saya ingin pergi jauh.”

Saya bertanya, “Ke mana?”

Dia menjawab, “Ke Akhirat.”

Maka saya katakan, “Jangan engkau lakukan, biarkanlah saya merasa senang dengan keberadaanmu!”

Dia menjawab, “Hanyalah kehidupan ini akan terasa indah, ketika hubungan antara saya dengan Allah Ta’ala tidak diketahui oleh seorang pun. Adapun Anda telah mengetahuinya, maka orang lain akan ikut mengetahuinya juga, sehingga saya merasa tidak butuh lagi dengan semua yang Anda tawarkan tadi.”

Kemudian dia tersungkur sujud seraya berdoa, “Ya Allah, cabutlah nyawaku agar aku segera bertemu dengan-Mu sekarang juga!”

Maka saya pun mendekatinya, ternyata dia sudah meninggal dunia.

Maka demi Allah, tidaklah saya mengingatnya kecuali saya merasakan kesedihan yang mendalam dan dunia ini tidak ada artinya lagi bagi saya.”

Itulah kisah tentang budak hitam yg ternyata doanya makbul dan tidak ingin ibadahnya kepada Allah diketahui oleh seorangpun juga.

(Al-Muntazham Fii Taarikhil Umam, karya Ibnul Jauzy rahimahullah, 8/223-225)

KISAH BUDAK HITAM KEKASIH ALLAH Part 1

 


Ibnul Mubarak (TABI'UT TABI'IN) -rahimahullah- menceritakan kisahnya: “Saya tiba di Mekkah ketika manusia ditimpa paceklik dan mereka sedang melaksanakan shalat istisqa’ di Masjid Al-Haram. 

Saya bergabung dengan manusia yang berada di dekat pintu Bani Syaibah. Tiba-tiba muncul seorang budak hitam yang membawa dua potong pakaian yang terbuat dari rami yang salah satunya dia jadikan sebagai sarung dan yang lainnya dia jadikan selendang di pundaknya.

Dia mencari tempat yang agak tersembunyi di samping saya. Maka saya mendengarnya berdoa, “Ya Allah, dosa-dosa yang banyak dan perbuatan-perbuatan yang buruk telah membuat wajah hamba-hamba-Mu menjadi suram, dan Engkau telah menahan hujan dari langit sebagai hukuman terhadap hamba-hamba-Mu. Maka aku memohon kepada-Mu Wahai Yang Pemaaf yang tidak segera menimpakan adzab, Wahai Yang hamba-hamba-Nya tidak mengenalnya kecuali kebaikan, berilah mereka hujan sekarang.”

Dia terus mengatakan: “Berilah mereka hujan sekarang.”

Hingga langit pun penuh dengan awan dan hujan pun datang dari semua tempat. Dia masih duduk di tempatnya sambil terus bertasbih, sementara saya pun tidak mampu menahan air mata. 

Ketika dia bangkit meninggalkan tempatnya maka saya mengikutinya hingga saya mengetahui di mana tempat tinggalnya.

Lalu saya pergi menemui Fudhail bin Iyyadh (TABI'UT TABI'IN) -rahimahullah-. Ketika melihat saya maka dia pun bertanya, “Kenapa saya melihat dirimu nampak sangat sedih?”

Saya jawab, “Orang lain telah mendahului kita menuju Allah, maka Dia pun mencukupinya, sedangkan kita tidak.”

Dia bertanya, “Apa maksudnya?”

Maka saya pun menceritakan kejadian yang baru saja saya saksikan.

Mendengar cerita saya, Fudhail bin Iyyadh pun terjatuh karena tidak mampu menahan rasa haru.

Lalu dia pun berkata: “Celaka engkau wahai Ibnul Mubarak, bawalah saya menemuinya!”

Saya jawab, “Waktu tidak cukup lagi, biarlah saya sendiri yang akan mencari berita tentangnya.”

Maka keesokan harinya setelah shalat Shubuh saya pun menuju tempat tinggal budak yang saya lihat kemarin. Ternyata di depan pintu rumahnya sudah ada orang tua yang duduk di atas sebuah alas yang digelar.

Ketika dia melihat saya maka dia pun langsung mengenali saya dan mengatakan:“Marhaban (selamat datang ) wahai Abu Abdirrahman, apa keperluan Anda?”

Saya jawab, “Saya membutuhkan seorang budak hitam.”

Dia menjawab, “Saya memiliki beberapa budak, silahkan pilih mana yang Anda inginkan dari mereka?”

Lalu dia pun berteriak memanggil budak-budaknya. Maka keluarlah seorang budak yang kekar.

Tuannya tadi berkata, “Ini budak yang bagus, saya ridha untuk Anda.”

Saya jawab, “Ini bukan yang saya butuhkan.”

Maka dia memperlihatkan budaknya satu persatu kepada saya hingga keluarlah budak yang saya lihat kemarin.

Ketika saya melihatnya maka saya pun tidak kuasa menahan air mata.

Tuannya bertanya kepada saya, “Diakah yang Anda inginkan?”

Saya jawab, “Ya.”

Tuannya berkata lagi, “Dia tidak mungkin dijual.”

Saya tanya, “Memangnya kenapa?”

Dia menjawab, “Saya mencari berkah dengan keberadaannya di rumah ini, di samping itu dia sama sekali tidak menjadi beban bagi saya.”

Saya tanyakan, “Lalu dari mana dia makan?”

Dia menjawab, “Dia mendapatkan setengah daniq (satu daniq=sepernam dirham –pent) atau kurang atau lebih dengan berjualan tali, itulah kebutuhan makan sehari-harinya.

Kalau dia sedang tidak berjualan, maka pada hari itu dia gulung talinya. Budak-budak yang lain mengabarkan kepadaku bahwa pada malam hari dia tidak tidur kecuali sedikit. Dia pun tidak suka berbaur dengan budak-budak yang lain karena sibuk dengan dirinya. Hatiku pun telah mencintainya.”

Maka saya katakan kepada tuannya tersebut, “Saya akan pergi ke tempat Sufyan Ats-Tsaury dan Fudhail bin Iyyadh tanpa terpenuhi kebutuhan saya.”

Maka dia menjawab, “Kedatangan Anda kepada saya merupakan perkara yang besar, kalau begitu ambillah sesuai keinginan Anda!”

Maka saya pun membelinya dan saya membawanya menuju ke rumah Fudhail bin Iyyadh.


Bersambung

MENCINTAI ALLAH

 


Nikmatnya ibadah, nikmatnya sholat, nikmatnya shaum, nikmatnya sedekah, nikmatnya ikhlas, hanya akan terasa bagi orang-orang yang sangat senang untuk dekat dengan Allah.

Demikian juga dengan kesabaran menghadapi episode kepahitan hidup, kesabaran menghadapi bertubi-tubinya cobaan, kesabaran menerima kenyataan yang tidak sesuai dengan keinginan, ini juga hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang senang cinta dengan Allah Swt. 

*Semakin cinta kepada Allah, maka semakin bisa menikmati apapun yang Allah sukai.*

Kita sudah sangat sering membaca, mendengar, menyimak, kisah-kisah orang yang begitu mencintai dunia hingga di dalam hatinya tidak ada lagi tempat untuk mengingat Allah, apalagi mencintai-Nya. 

Dalam Al Quran, Allah mengingatkan kita mengenai hal itu supaya kita tidak celaka akibat perbuatan kita sendiri yang lebih mencintai makhluk daripada Sang Khaliq.

Ada orang yang lebih mencintai karirnya sehingga berbagai cara dia lakukan meskipun itu adalah perbuatan yang tidak Allah ridhai.

Ada juga orang yang begitu mencintai pasangan hidupnya, seolah dialah segalanya, seolah tak bisa hidup tanpanya, ia lebih takut pada pasangannya, daripada kepada Allah Swt.

Orang yang beriman adalah orang yang rasa cintanya kepada Allah lebih besar daripada rasa cinta kepada makhluk-Nya. Sehingga kemudian Allah ridha dan cinta kepada mereka.

Allah karuniakan kepada mereka rasa tenang, rasa cinta yang menentramkan, pertolongan dan berbagai keberuntungan.


Rabu, 09 November 2022

Iman itu terkadang menggelisahkan.

 


Setidaknya menghajatkan ketenangan yang mengguyuri hati dengan terkuaknya keajaiban. Mungkin itu yang dirasakan Ibrahim ketika dia meminta kepada Rabbnya untuk ditunjukkan bagaimana yang mati dihidupkan. Maka saat Rabbnya bertanya, “Belum yakinkah engkau akan kuasaKu?”, dia menjawab sepenuh hati, “Aku yakin. Hanya saja agar hati ini menjadi tenteram.”

Tetapi keajaiban itu tak datang serta merta di hadapannya. Meski Allah bisa saja menunjukkan kuasaNya dalam satu kata “Kun!”, kita tahu, bukan itu yang terjadi. Ibrahim harus bersipayah untuk menangkap lalu mencincang empat ekor burung. Lalu disusurnya jajaran bukit-berbukit dengan lembah curam untuk meletakkan masing-masing cincangan. Baru dia bisa memanggilnya. Dan beburung itu mendatanginya segera.

Di sinilah rupanya keajaiban itu. Setelah kerja yang menguras tenaga.

Tetapi apakah selalu kerja-kerja kita yang akan ditaburi keajaiban?

Hajar dan bayinya telah ditinggalkan oleh Ibrahim di lembah itu. Sunyi kini menyergap kegersangan yang membakar. Yang ada hanya pasir dan cadas yang membara. Tak ada pepohon tempat bernaung. Tak terlihat air untuk menyambung hidup. Tak tampak insan untuk berbagi kesah. Keculai bayi itu. Isma’il. Dia kini mulai menangis begitu keras karena lapar dan kehausan.

Maka Hajar pun berlari, mencoba mengais jejak air untuk menjawab tangis putera semata wayangnya. Ada dua bukit di sana. Dan dari ujung ke ujung coba ditelisiknya dengan seksama. Tak ada. Sama sekali tak ada tanda. Tapi dia terus mencari. Berlari. Bolak-balik tujuh kali. 

Mungkin dia tahu, tak pernah ada air di situ. Mungkin dia hanya ingin menunjukkan kesungguhannya pada Allah. Sebagaimana telah ia yakinkan sang suami, “Jika ini perintah Allah, Dia takkan pernah menyia-nyiakan kami!”

Maka kejaiban itu memancar. Zam zam! Bukan. Bukan dari jalan yang dia susuri atau jejak-jejak yang dia torehkan di antara Shafa dan Marwa. Air itu muncul justru dari kaki Isma’il yang bayi. Yang menangis. Yang haus. Yang menjejak-jejak. Dan Hajar pun takjub. Begitulah keajaiban datang. Terkadang tak terletak dalam ikhtiar-ikhtiar kita.

Mari belajar pada Hajar bahwa makna kerja keras itu adalah menunjukkan kesungguhan kita kepada Allah.

Mari bekerja keras seperti Hajar dengan gigih, dengan yakin. Bahwa Dia tak pernah menyia-nyiakan iman dan amal kita. Lalu biarkan keajaiban itu datang dari jalan yang tak kita sangka atas kehendakNya yang Maha Kuasa.

Dan biarkan keajaiban itu menenangkan hati ini dari arah manapun Dia kehendaki.

Bekerja saja. Maka keajaiban akan menyapa dari arah tak terduga