Manusia, sebagaimana makhluk yang lain, adalah sosok yang tidak bisa mengelak dari ketentuan-ketentuan Sang Penciptanya, yaitu Allah SWT. Dia hidup dalam waktu tertentu, ada kelahiran, pertumbuhan dan kematian, yang tidak bisa ditolaknya. Dia juga lahir dan hidup di dunia ini dengan membawa potensi-potensi tertentu, yang tidak pernah dimintanya dan tidak bisa dihilangkannya.
Sementara itu dia juga menjadi makhluk yang paling berkuasa di dunia ini juga tanpa keterlibatan sedikit pun di dalam pengadaan akal di dalam dirinya. Banyak fenomena yang bisa diindra manusia, bahwa sekuat apa pun pemanfaatan akal manusia, dia tetap tidak bisa mengelak dari yang namanya kodrat.
Kiranya, termasuk bagian dari kodrat tersebut jika manusia membutuhkan lingkungan-lingkungan tertentu untuk proses lahir dan kembang dia. Pada awal kemunculannya di dunia, manusia membutuhkan lingkungan yang minimal terdiri dari satu laki-laki dan satu perempuan.
Kiranya, termasuk bagian dari kodrat tersebut jika manusia membutuhkan lingkungan-lingkungan tertentu untuk proses lahir dan kembang dia. Pada awal kemunculannya di dunia, manusia membutuhkan lingkungan yang minimal terdiri dari satu laki-laki dan satu perempuan.
Kebutuhan pada lingkungan awal kehidupan ini yang kemudian dilembagakan dalam institusi keluarga (domestic institution). Kemudian manusia tidak bisa mencukupkan diri pada keluarganya saja untuk proses tumbuh dan kembangnya. Keterbatasan-keterbatasan personal dan kolektif kecilnya (keluarga) mendorong dia untuk senantiasa hidup secara alamiah dalam lingkungan masyarakat yang lebih kompleks (sektor publik). Inilah realitas kehidupan manusia. Dia senantiasa hidup di lingkungan khususnya (domestik) dan lingkungan umum (publik).
Sementara di sisi lain, kelebihan potensi manusia yang berupa akal, harusnya mampu untuk memandu manusia agar dia bisa menjalankan segala peran yang diberikan oleh Penciptanya, baik sebagai hamba Allah, sebagai anggota keluarga maupun sebagai anggota masyarakat.
Sementara di sisi lain, kelebihan potensi manusia yang berupa akal, harusnya mampu untuk memandu manusia agar dia bisa menjalankan segala peran yang diberikan oleh Penciptanya, baik sebagai hamba Allah, sebagai anggota keluarga maupun sebagai anggota masyarakat.
Kesadaran bahwa dirinya adalah makhluk akan menghantarkan kepada pilihan untuk semata-mata menggantungkan penghambaannya kepada Allah di dalam memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Tidak ada dalam kamusnya mencari alternatif untuk hal-hal yang Allah dan Rasul-Nya telah memberi ketetapan.
Tentunya kombinasi dari dorongan fitrahnya, berupa naluri beragama, dengan pemanfaatan akalnya secara proporsional itulah yang menjadikan dirinya tunduk kepada pengaturan Dzat Yang Maha Mengetahui, yaitu Allah SWT. Ini adalah pilihan yang paling rasional.
Dengan melakukan penggalian yang mendalam, kita dapati bahwa setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, punya tanggung jawab terhadap diri, keluarga dan masyarakat. Kehidupan mereka dalam masyarakat dipandu oleh asas Aqidah Islam (tauhid), bukan sekular.
Dengan melakukan penggalian yang mendalam, kita dapati bahwa setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, punya tanggung jawab terhadap diri, keluarga dan masyarakat. Kehidupan mereka dalam masyarakat dipandu oleh asas Aqidah Islam (tauhid), bukan sekular.
Asas ini membawa konsekuensi kepada keterikatannya kepada hanya Hukum Allah, yang digali dari Al Quran dan hadits-hadits Rosul. Standar kehidupan dan perbuatannya adalah halal haram, bukan semata-mata kepentingan/kemaslahatan. Hukum ini memang telah datang dalam bentuk komprehensif dan sempurna, sebagaimana diisyaratkan dalam QS 16:89 dan QS 3:5. Memang kadang-kadang penentuan status hukum ini bisa langsung dari Al Quran dan Hadits karena memang sudah jelas (muhkamat), namun kadang-kadang juga membutuhkan ijtihad.
Sementara ukuran kesuksesan dalam kehidupan adalah semata-mata keridlaan Allah SWT, bukan didapatnya sebanyak-banyak kenikmatan materi.
Seperti apa peran dan tugasnya untuk merealisasikan tanggung jawabnya tersebut, tentunya tidak selalu membutuhkan peran yang sama. Bisa jadi suatu aktifitas memang harus dilakukan oleh semua pihak, tetapi bisa jadi juga terjadi pembagian peran, tugas dan aktifitas. Di sinilah kita perlu memahami manajemen Allah di dalam mewujudkan keharmonisan peran dan tugas sesuai dengan bekal-bekal yang sudah diberikan oleh Allah kepada manusia, yang kadang-kadang sama dan kadang-kadang berbeda. Tidak terjadi diskriminasi di dalam pembedaan peran-peran ini.
Dalam posisinya sebagai manusia, Islam sudah menyamakan sedemikian rupa antara laki-laki dan wanita, yaitu sebagai hamba Allah. Allah telah memberikan potensi yang sama baik kepada laki-laki dan wanita, yaitu berupa akal dan kebutuhan hidup, supaya sebagai manusia keduanya bisa mengarungi kehidupan, sesuai dengan visi dan misi keberadaannya di dunia ini.
Seperti apa peran dan tugasnya untuk merealisasikan tanggung jawabnya tersebut, tentunya tidak selalu membutuhkan peran yang sama. Bisa jadi suatu aktifitas memang harus dilakukan oleh semua pihak, tetapi bisa jadi juga terjadi pembagian peran, tugas dan aktifitas. Di sinilah kita perlu memahami manajemen Allah di dalam mewujudkan keharmonisan peran dan tugas sesuai dengan bekal-bekal yang sudah diberikan oleh Allah kepada manusia, yang kadang-kadang sama dan kadang-kadang berbeda. Tidak terjadi diskriminasi di dalam pembedaan peran-peran ini.
Dalam posisinya sebagai manusia, Islam sudah menyamakan sedemikian rupa antara laki-laki dan wanita, yaitu sebagai hamba Allah. Allah telah memberikan potensi yang sama baik kepada laki-laki dan wanita, yaitu berupa akal dan kebutuhan hidup, supaya sebagai manusia keduanya bisa mengarungi kehidupan, sesuai dengan visi dan misi keberadaannya di dunia ini.
Dalam hal ini derajat manusia hanya diukur dengan standar taqwa, yaitu sejauh mana ketundukan manusia pada ketentuan-ketentuan Allah. (QS 49:13). Sementara dalam posisinya sebagai laki-laki dan perempuan, Allah telah menetapkan bahwa keduanya memang merupakan jenis kelamin yang berbeda, dengan tentunya seperangkat perbedaan (distinction) dalam hal potensi yang diberikan Allah kepada masing-masing jenis kelamin ini.
Dalam hal ini, justru merupakan keadilan ketika Allah menetapkan adanya pembedaan (discrimination) dalam hal perlakuan hukum kepada laki-laki dan wanita. Dalam kehidupan mereka diberikan peran, fungsi dan posisi masing-masing , yang berbeda antara laki-laki dengan wanita, sesuai dengan potensinya.
Oleh karena itu kita bisa melihat dalam ketetapan Allah, kadang-kadang Allah menetapkan beban yang sama antara laki-laki dan wanita, ketika Allah melihat keduanya sama-sama sebagai manusia.
Oleh karena itu kita bisa melihat dalam ketetapan Allah, kadang-kadang Allah menetapkan beban yang sama antara laki-laki dan wanita, ketika Allah melihat keduanya sama-sama sebagai manusia.
Sementara di tempat lain kita bisa menyaksikan ketetapan Allah yang berbeda dalam pembebanan hukum kepada laki-laki dan wanita, ketika Allah melihat mereka sebagai laki-laki dan wanita. Dalam hal ini persamaan atau perbedaan ini sama sekali tidak menunjukkan (tidak ada keterkaitannya) dengan ada atau tidak adanya kesetaraan jender.
Ketika Seseorang berperan sebagai Pemimpin, maka dalam perspektif Islam, dengan posisi ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia lebih tinggi dari rakyat yang dipimpinnya. Demikian juga sebaliknya bahwa bawahan tidak disebut lebih rendah dari pemimpinnya karena posisinya.
Tetapi kedua-duanya (pemimpin ataupun bawahan) sama-sama punya peluang untuk mencapai derajat tinggi atau rendah, tergantung pada jenis aturan yang dipakai oleh masing-masing pihak ketika menduduki peran tersebut.
Feminisme sebagai sebuah kendaraan untuk mengentaskan permasalahan wanita yang menggurita perlu kita kritisi. Mengingat ide ini tidak berangkat dari menyadari realitas manusia sebagai makhluk (ciptaan) dari Sang Kholiq.
Feminisme sebagai sebuah kendaraan untuk mengentaskan permasalahan wanita yang menggurita perlu kita kritisi. Mengingat ide ini tidak berangkat dari menyadari realitas manusia sebagai makhluk (ciptaan) dari Sang Kholiq.
Mereka semata-mata menggantungkan pada otak-atik akal yang sangat terbatas, sehingga justru berujung pada ketidakpuasan yang terus menerus. Dengan kerangka seperti ini, kita menjadi bisa memahami mengapa perjuangan ide ini justru berujung pada menggugat peran-peran, tugas dan tanggung jawab yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, kemudian mereka merekayasa peran yang dianggapnya adil.
Padahal keadilan dalam pertimbangan akal manusia sangatlah nisbi dan tidak tuntas. Alih-alih menyelesaikan permasalahan perempuan, yang terjadi justru memperpanjang daftar masalah kehidupan.
Jika kita telusuri dari konsep-konsep/istilah-istilah yang dimunculkan oleh Feminisme, kita sebenarnya bisa memahami bahwa dia akan membawa gerakan perempuan ke arah yang sama, yaitu masyarakat egaliter, masyarakat tanpa ketimpangan gender (genderless society) masyarakat yang didominasi oleh kebebasan individu.
Jika kita telusuri dari konsep-konsep/istilah-istilah yang dimunculkan oleh Feminisme, kita sebenarnya bisa memahami bahwa dia akan membawa gerakan perempuan ke arah yang sama, yaitu masyarakat egaliter, masyarakat tanpa ketimpangan gender (genderless society) masyarakat yang didominasi oleh kebebasan individu.
Konsep yang detil dan jelas tentang masyarakat egaliter versi feminisme itu sendiri sampai sekarang belum ada. Kalau kita hadirkan dalam benak, gambaran masyarakat egaliter adalah masyarakat yang peran laki-laki dan perempuannya sama dalam segala hal.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah struktur masyarakat seperti apakah yang hendak diwujudkan serta bagaimana pembagian dan pengaturan peran antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan masyarakat egaliter ini. Kita akan mencoba menganalisisnya dengan beberapa prinsip yang menjadi semangat Ide ini.
Mengingat ide feminisme ini berasal dari masyarakat kapitalis-Barat, tidak sulit untuk menebak secara cepat bahwa ide ini dipengaruhi bahkan didominasi oleh pandangan yang tidak memasukkan wewenang Tuhan (Pencipta) dalam pengaturan kehidupan manusia.
Mengingat ide feminisme ini berasal dari masyarakat kapitalis-Barat, tidak sulit untuk menebak secara cepat bahwa ide ini dipengaruhi bahkan didominasi oleh pandangan yang tidak memasukkan wewenang Tuhan (Pencipta) dalam pengaturan kehidupan manusia.
Lebih-lebih jika diteliti secara cermat keseluruhan idenya, baik global maupun perinciannya, semakin jelaslah warna sekularistiknya. Kaidah-kaidah berpikiranya menghasilkan perspektif berkarakter individualistik dan parsial. Feminisme memandang perempuan sebagai individu yang keberadaannya terlepas dari harmonisasi kehidupan manusia.
Jika laki-laki bebas memilih peran yang akan dilakukannyaa dalam kancah kehidupan, maka perempuan pun memiliki kebebasan yang serupa. Pandangan yang individualis ini menyebabkan para feminis sulit, bahkan gagal, memahami spesifikasi peran-peran manusia yang telah ditentukan oleh Al Kholiq sesuai dengan potensi dan kelebihannya masing-masing.
Padahal Allah telah menciptakan manusia terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan yang masing-masing memiliki kekhasan (kekhususan) sebagai laki-laki atau perempuan. Pada masing-masing ada perbedaan secara fisiologis maupun psikologis yang saling melengkapi, karena keduanya mendapat tanggung jawab untuk berperan sebagai pemimpin dan pengelola alam semesta beserta isinya.
Sementara pola pikir materialistiknya telah menjadikan materi sebagai tolak ukur segala sesuatu, sebagai standar dalam menilai semua persoalan.
Sementara pola pikir materialistiknya telah menjadikan materi sebagai tolak ukur segala sesuatu, sebagai standar dalam menilai semua persoalan.
Bahkan ketika para feminis menggarisbawahi keadilan sebagai keegaliteran, kesetaraan peran domestik dan publik pun, lagi-lagi mereka memperhitungkan keadilan dalam dataran perhitungan materi. Keadilan menurut mereka harus tampak kasat mata bagaikan setaranya beban-beban dalam neraca timbang.
Keadilan menurut mereka adalah perlakuan yang sama dalam segala hal (hak dan kewajiban yang sama antara laki-laki dan perempuan). Jadilah berbagai bentuk keadilan, kesetaraan dan kesetimbangan bias oleh pola berpikir kebendaan.
Kegagalan memaknai keadilan ini akhirnya akan cenderung membawa wanita kepada sikap-sikap hipokrit (sikap yang tidak adil dalam ukuran yang mereka buat sendiri), manakala mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa laki-laki dan perempuan adalah jenis yang berbeda. Perjuangan untuk mendapatkan keadilan pun akhirnya berujung kepada ketidakadilan.
Mereka lupa atau tidak tahu bahwa keadilan sejati harusnya mengacu pada standar yang dibuat oleh Dzat Yang Maha Tahu tentang karakter dua jenis kelamin ini.
Mereka tidak mempertimbangkan bahwa makna keadilan sejati sesungguhnya telah didefinisikan oleh Al Kholiq, pencipta laki-laki dan perempuan itu, yaitu telah tercatat dalam kaidah-kaidah syara, bukan pada hitungan-hitungan materi atau akal manusia.
Jika masing-masing pihak bebas memilih aktifitas dan perannya sendiri-sendiri (karena asas kebebasan individu), tentunya paradigma materialismenya akan menuntun masing-masing untuk hanya memilih dan memprioritaskan peran-peran yang produktif (menghasilkan materi/uang), yaitu peran publik.
Jika masing-masing pihak bebas memilih aktifitas dan perannya sendiri-sendiri (karena asas kebebasan individu), tentunya paradigma materialismenya akan menuntun masing-masing untuk hanya memilih dan memprioritaskan peran-peran yang produktif (menghasilkan materi/uang), yaitu peran publik.
Sementara peran domestik yang tidak dianggap produktif akan merupakan bagian yang terlempar.
Di sinilah sebenarnya Feminisme merupakan pihak yang bertanggung jawab atas guncangnya struktur keluarga. Padahal kita tahu bahwa lembaga keluarga adalah tonggak dan asas yang pokok bagi sebuah masyarakat.
Keguncangan keluarga ini tentunya akan menyebabkan eksistensi dan kualifikasi kehidupan manusia akan terancam.
Sementara jika kedudukan dan peran laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan juga dalam masyarakat tergantung pada kebutuhan dan kesepakatan antara keduanya (sebagaimana pendapat Myra Diarsi dan Nursyahbani Katjasungkana), pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana kemampuan laki-laki dan perempuan ini di dalam pembuatan kesepakatan-kesepakatan yang menjamin kemaslahatan seluruh manusia di dunia (rahmatan lil aalamin).
Sementara jika kedudukan dan peran laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan juga dalam masyarakat tergantung pada kebutuhan dan kesepakatan antara keduanya (sebagaimana pendapat Myra Diarsi dan Nursyahbani Katjasungkana), pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana kemampuan laki-laki dan perempuan ini di dalam pembuatan kesepakatan-kesepakatan yang menjamin kemaslahatan seluruh manusia di dunia (rahmatan lil aalamin).
Kita bisa menyaksikan bahwa kesepakatan-kesepakatan yang dibuat manusia selalu merupakan hasil proses tawar menawar, di mana dalam proses tersebut pihak yang kuatlaah yang mampu mendominasi kesepakatan.
Hal ini menyebabkan bahwa dalam kesepakatan yang dibuat manusia selalu menuntut korban. Masalahnya saya kira hanya pada pertanyaan siapa atau apa yang akan dikorbankan? Di sinilah sebenarnya cara berpikir ini menyimpan bahaya dari sisi bahwa proses itu tidak akan berakhir.
Kehidupan manusia akan digambarkan sebagai homo homini lupus. Kehidupan dunia hanya menjadi ladang uji-coba (trial and error) yang pola-pola kehidupannya lebih banyak didasarkan pada proses-proses naluriah.
Hal ini justru menjatuhkan karakter, kemampuan dan kemanusiaan manusia itu sendiri. Karena manusia adalah makhluk yang paling mulia.
Hal ini justru menjatuhkan karakter, kemampuan dan kemanusiaan manusia itu sendiri. Karena manusia adalah makhluk yang paling mulia.
Oleh Allah manusia dimuliakan dari makhluk lainnya dengan diberikannya potensi akal pada manusia. Realitas kehidupan masyarakat sebenarnya merupakan produk dari pemikiran-pemikiran manusia, yang kemudian pemikiran inilah yang memandu jenis perasaan-perasaan, dan peraturan-peraturan yang diterapkan manusia.
Realitas kehidupan bukan semata-mata Qodlo, apalagi kemauan dari alam atau kehidupan itu sendiri. Masalah kehidupan itu akan rusak atau rahmat sangat tergantung pada jenis pemikiran, perasaan dan peraturan yang dipilih manusia.
Di sinilah manusia itu harus mendasari segala sesuatunya dalam kehidupan ini dengan pemikiran yang cemerlang.
Di sinilah sebenarnya manusia itu mampu menjadi pelaku sejarah, pelaku perubahan sosial, bukan semata-mata pihak yang tunduk dan otomatis menjadi bagian dari masyarakat yang ada.
Tentunya ketidakjelasan konsep egaliter ini akan berlangsung terus, dan akan membawa kita kepada kebingungan dan ketidakpastian.
Tentunya ketidakjelasan konsep egaliter ini akan berlangsung terus, dan akan membawa kita kepada kebingungan dan ketidakpastian.
Yang dihasilkan adalah masyarakat tanpa tolak ukur yang jelas dan pasti, Dalam masyarakat seperti ini yang terjadi justru kehidupan yang menggambarkan kekakuan, ketimpangan dan akhirnya keguncangan dan kerusakan struktur masyarakat, sementara masyarakat egaliter yang ingin diraihnya hanya menjadi bayangan semu terus menerus.
Permasalahan tidak akan terselesaikan secara tuntas, manakala kita melihatnya secara parsial sebagai masalah yang berdiri sendiri.
Permasalahan tidak akan terselesaikan secara tuntas, manakala kita melihatnya secara parsial sebagai masalah yang berdiri sendiri.
Ketertindasan kaum perempuan, keterbelakangan mereka, perlakuan-perlakuan tidak adil kepada mereka, sebenarnya bukanlah semata-mata masalah perempuan, karena kondisi yang sama juga dialami oleh manusia dari jenis kelamin yang berbeda, yaitu laki-laki.
Realitasnya masalah itu merupakan produk saja dari hasil pilihan manusia, berupa menetapkan pola pengaturan kehidupan tertentu yang tidak menghadirkan kemampuan dan kewenangan Al Kholiq, yaitu pola kehidupan yang sekular.
Selama manusia terbuai oleh janji-janji manis sekularisme, dengan seluruh pemikiran yang lahir darinya (liberalisme, demokrasi, HAM, termasuk feminisme), maka hal tersebut menjadi jaminan bagi berlangsungnya keterpurukan dan kehinaan yang dialami umat sampai kapan pun. Sekularisme selalu memakan korban. Dan tidak mesti perempuan.
Suatu ketika jika feminisme berhasil mengusung idenya sampai pada tujuan, mungkin akan lahir gerakan yang mengkounternya berupa maskulinisme. Begitu seterusnya.
Oleh karena itu kita perlu melihat setiap masalah (tidak hanya masalah perempuan) sebagai masalah kemanusiaan, masalah kehidupan yang perlu mendapat penyelesaian, berupa hukum / peraturan.
Oleh karena itu kita perlu melihat setiap masalah (tidak hanya masalah perempuan) sebagai masalah kemanusiaan, masalah kehidupan yang perlu mendapat penyelesaian, berupa hukum / peraturan.
Fakta rusaknya kehidupan yang dirasakan oleh manusia, tidaklah disebabkan oleh Islam, tetapi lebih karena jauhnya manusia dari sistem Islam, sebuah sistem yang tegak di atas landasan yang shahih, yakni pengakuan atas keberadaan hak mutlak Allah sebagai Pencipta Yang Mahatahu dan Mahaadil atas pengaturan kehidupan manusia di bumi milik-Nya ini. Mari kita renungkan firman Allah dalam QS Al-Maidah : 50
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin.
Tentunya harus ada perombakan besar-besaran pada tatanan kehidupan ini, manakala kita menginginkan terselesaikannya masalah secara tuntas.
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin.
Tentunya harus ada perombakan besar-besaran pada tatanan kehidupan ini, manakala kita menginginkan terselesaikannya masalah secara tuntas.
Dan hal ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Yang pasti akan banyak batu yang menghalangi upaya untuk penyelesaian masalah ini, terutama dari pihak yang selalu bisa bermain pada setiap masalah yang muncul dalam kehidupan. Karenanya, kerja ini membutuhkan keterlibatan seluruh komponen umat, baik yang muslim maupun muslimahnya.