Lidah bisa melukai hati orang tanpa melukai badan. Luka hati meninggalkan bekas, tidak mudah hilang kecuali di kalangan muttaqin, yang selalu ingat akan kebaikan orang lain terhadap dirinya, dan tidak lupa berutang budi pada orang lain, bahkan dengan ikhlas ia melupakan segala jasa dan kebaikan yang pernah ia berikan kepada orang Iain.
Bila suami istri berakhlak seperti itu, maka rumah tangganya akan menjadi surga dunia. Sebaliknya, bila mereka rajin menghitung hitung jasa dan kebaikan dirinya kepada orang lain, maka rumah tangga atau persahabatannya akan kehilangan mawaddah wa rahmah, dan akan tumbuh dengan subur kebencian dan kedengkian, pada saat seperti itu pihak ketiga ikut meniup-niupkan api permusuhan.
Sayidina Umar adalah seorang sahabat yang dikatakan oleh Rasulullah bahwa setan segan untuk mengganggunya. Ia seorang yang kuat dan keras, tetapi ia tetap manusia. Sewaktu ia tersinggung oleh ucapan Abu Bakar, hatinya luka, ia pulang, dan Abu Bakar ditinggalkannya untuk menjaga agar luka hatinya tidak bertambah parah.
Kesempatan itu tidak dijadikan oleh setan untuk diadudombakan. Abu Bakar menyesal, salah atau benar tindakan dan sikap dirinya tidak menjadi pertimbangan yang nyata.
Abu Bakar pergi ke rumah Umar untuk minta maaf, sebab ia merasa bersalah. Dia tidak membiarkan perasaan buruk itu menghantui dirinya sendiri, sebab hati nurani itu selalu jujur, ia mengakui kesalahan dan kekeliruannya sekalipun lidahnya memungkiri.
Yang penting bukan cinta tapi dicintai. Kecintaan yang tidak mendapatkan balasan akan beralih menjadi azab, menjadi siksaan batin, sebab yang menjadi kenikmatan itu adalah dicintai orang, dan yang mendorong untuk berkorban adalah kecintaan.
Abu Bakar merasa tersiksa batinnya tatkala ia ditolak oleh Umar. Umar tidak mau memberi maaf kepadanya.
Bersambung…….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar