Selasa, 06 September 2022

Hukum Buket uang

 


Uang yang berlaku sekarang, yakni uang kertas (fiat money, al-nuqûd al-waraqiyyah), seperti rupiah Indonesia, dolar AS, riyal Saudi, yen Jepang, dsb, disamakan hukumnya dengan barang ribawi berupa emas (dinar) dan perak (dirham). Hal ini dikarenakan uang kertas mempunyai fungsi-fungsi yang sama dengan dinar dan dirham pada masa Nabi saw., yakni fungsi al-naqdiyyah, yaitu menjadi alat tukar (uang), dan fungsi al-tsamaniyyah, yaitu menjadi harga untuk menilai berbagai barang dan upah untuk menilai berbagai barang dan upah untuk menilai berbagai jasa. (Abdul Qadîm Zallûm, Al-Amwâl fî Daulah Al-Khilâfah, hlm. 160-161)



Maka dari itu, ketika satu mata uang dipertukarkan dengan mata uang lainnya, wajib mengikuti hukum syariat mengenai hukum pertukaran uang (sharaf), baik pertukaran mata uang yang sejenis (misal rupiah dengan rupiah) maupun pertukaran uang yang beda jenis (misal rupiah dengan dolar AS). Hukum syarak untuk pertukaran mata uang sejenis adalah wajib memenuhi dua syarat;

pertama, harus sama nilainya (at-tamâtsul), atau dengan kata lain tidak boleh ada tambahan (at-tafâdhul). Kedua, harus terjadi secara kontan (tidak boleh terjadi penundaan), yakni terjadi serah terima di majelis akad (al-taqâbudh fî majelis al-‘aqad). Adapun untuk pertukaran mata uang yang beda jenis, wajib memenuhi satu syarat saja, yaitu terjadi secara kontan. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 255-256). 

Adapun hukum buket uang, jika uangnya berasal dari pembuat buket uang, hukumnya jelas haram, karena terjadi riba. Sebab fakta yang terjadi adalah aktivitas pertukaran uang (sharaf) antar uang yang sejenis (rupiah dengan rupiah) namun disertai tambahan (at-tafâdhul). Jadi pertukaran antara uang sejenis yang seharusnya wajib berlangsung dengan uang yang senilai (at-tamâtsul), tetapi faktanya menjadi tidak senilai karena adanya tambahan. 

 Misalnya, buket uang dengan uang asli Rp100 ribuan sebanyak 10 lembar (senilai Rp1 juta), dijual dengan harga Rp1.200.000,- oleh penjual buket uang. Ketika terjadi akad jual beli buket uang, maka pembeli yang seharusnya menyerahkan Rp1 juta, ternyata menyerahkan Rp 1.200.000. Jadi di sini ada kelebihan Rp200.000, yang boleh jadi diklaim sebagai jasa pembuatan buket ataupun harga dari benda-benda yang menjadi rangkaian bunga. 

Ini tetap tidak boleh secara syariat Islam. Dalil haramnya tambahan dalam pertukaran mata uang sejenis adalah hadis Nabi saw., di antaranya hadis dari Abu Sa'id al-Khudri ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda,

 لاَ تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلاَ تَبِيعُوا الْوَرِقَ 
بِالْوَرِقِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلاَ تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ.

 “Janganlah kalian berjual beli emas dengan emas kecuali sama beratnya, dan janganlah kalian lebihkan yang satu atas yang lainnya. Janganlah kalian berjual beli perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan jangan kalian lebihkan yang satu atas yang lainnya, dan janganlah kalian berjual beli sesuatu (emas/perak) yang tidak hadir (tidak ada di majelis akad) dengan yang hadir (ada di majelis akad).” (HR Bukhari, no. 2031) 

 Dari hadis tersebut, jelas bahwa ketika terjadi pertukaran uang yang sejenis, yaitu emas ditukarkan dengan emas, atau perak ditukarkan dengan perak, wajib dilakukan secara semisal (at-tamâtsul), yaitu sama beratnya (untuk emas atau perak), atau sama nilainya (untuk uang kertas), dan tidak boleh ada tambahan (at-tafâdhul). 

Jika terjadi tambahan (at-tafâdhul), maka jelas tambahan itu adalah riba, yaitu ribâ fadhl. Solusinya, agar buket uang itu halal secara syariat, ada beberapa alternatif, di antaranya,
 
Pertama, buket uangnya diisi dengan uang yang berasal dari pembeli, bukan dari penjual. Jadi pembeli hanya membayar jasa penjual yang bekerja merangkai uang dari pembeli ke dalam rangkaian buket uang. 

 Kedua, buket uang yang dijualbelikan adalah buket uang kosongan (ini tersedia di sebagian online shop). Jadi buket uang yang dibeli tidak ada uangnya, yang ada hanyalah wadah atau tempat untuk uangnya. Jadi uangnya nanti akan ditambahkan sendiri oleh pembeli buket uang itu ketika akan dihadiahkan kepada pihak lain. Ketiga, buket uang yang dijualbelikan adalah buket uang yang berisi uang mainan (ini tersedia di sebagian online shop)

Senin, 05 September 2022

Seperti Apa Perempuan (Istri) Terbaik menurut Rasulullah ﷺ?

 

Muslimah mana pun pastinya ingin menjadi perempuan atau istri terbaik yang dibanggakan Rasulullah saw.. Ada banyak sekali hadis yang menjelaskan tentang hal ini, walaupun konteksnya kepada istri. Ini artinya, jika kita sudah menikah, maka kita bisa langsung mempraktikkannya.

Sedangkan jika belum menikah, kita bisa mempersiapkan diri dengan mempelajari dan memahaminya. Nanti ketika tiba waktunya menikah, kita bisa mempraktikannya. Insyaallah.

Dari Abu Hurairah ra, dia berkata,

قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ

Pernah ditanyakan kepada Rasulullah saw., “Siapakah perempuan yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, menaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci.” (HR An-Nasai dan Ahmad)

Jika kita perhatikan hadis ini, tampak jelas ada tiga hal penting yang harus dimiliki oleh seorang perempuan atau istri, yaitu yang menyenangkan ketika suami melihatnya, taat kepada suami, dan menjaga diri dan harta suaminya. Mari kita detaili satu persatu.

1. Menyenangkan jika dipandang suami.

Sudah seharusnya seorang istri menjadi penyejuk pandangan mata suaminya. Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Umar bin Khaththab bahwa istri yang salihah adalah yang membuat suami bahagia ketika memandangnya.

“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri salihah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan menaatinya, dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya.” (HR Abu Dawud)

Inilah karakter istri yang baik, yang paling menyenangkan jika dilihat, yang menjadi penyejuk mata suaminya, yaitu seorang istri yang selalu berusaha memperbagus dan mempercantik dirinya ketika berada di hadapan suaminya atau setiap kali bersama dengan suaminya.

Islam tidak hanya memerintahkan istri untuk menghiasi dirinya dengan akhlak yang baik. Akan tetapi, Islam pun memerintahkan kepada istri untuk merawat dirinya dan berpenampilan baik di hadapan suaminya, dan ini merupakan bagian dari hak suami yang harus ditunaikan istrinya. Oleh karenanya, berhias dan merawat diri untuk suami termasuk ibadah dan merupakan salah satu jalan untuk mewujudkan kasih sayang.

Dari Jabir bin Abdillah ra., Nabi mengingatkan, “Apabila kalian pulang dari bepergian di malam hari, maka janganlah engkau menemui istrimu hingga dia sempat mencukur bulu kemaluannya dan menyisir rambutnya yang kusut.” (HR Bukhari)

An-Nawawi mengatakan, dalam hadis ini terdapat dalil bahwa istri tidak boleh membuat suaminya lari darinya, atau melihat sesuatu yang tidak nyaman pada istrinya sehingga menyebabkan permusuhan di antara keduanya. Hadis ini juga dalil bahwa selama suami ada di rumah, perempuan harus selalu berpenampilan baik dan tidak meninggalkan berhias, kecuali jika suaminya tidak ada (Syarh Shahih Muslim).

Seorang istri salihah yang mencintai suaminya akan berusaha merawat dirinya untuk menyejukkan pandangan mata suami sehingga tidak memandang perempuan lain yang bukan haknya. Ia berhias ketika di rumah. Pada saat berada di samping suaminya, ia memakai parfum yang menghangatkan penciuman suaminya dan ia tidak memakainya ketika keluar rumah.

Berhias bagi seorang istri untuk suaminya bernilai ibadah. Seorang istri bisa berhias untuk suaminya kapan saja sejauh tidak menyebabkan kewajibannya terlalaikan.

Lebih dari itu, wajahnya memancarkan aura keteduhan karena senantiasa dibasuh air wudu, dan semakin indah dengan senyum dan kata-kata yang menenangkan saat bertemu suami. Ada pancaran keikhlasan dan rasa syukur di wajahnya.

Wajah yang selalu tersenyum dan memancarkan keteduhan serta kata-kata yang baik inilah yang menyenangkan suami. Jadi, untuk menjadi perempuan terbaik, selalu berikan senyum terindah untuk suami, kata-kata yang menyejukkan, dan berhiaslah secantik mungkin untuknya.

2. Menaati jika diperintah.

Taat kepada suami merupakan salah satu kewajiban kita sebagai istri. Dengannya kita bisa merebut hati suami dan akan mendapatkan ganjaran dari Allah berupa surga-Nya yang indah.

Banyak hadis yang memerintahkan kita untuk taat kepada suami. Bahkan, dalam salah satu hadis sangat ditegaskan bahwa ketika seorang istri taat kepada suami akan dibukakan pintu surga dan kita bisa masuk dari pintu mana pun ke dalam surga. Masyaallah, tidakkah kita semua menginginkannya?

Dalam hadis lain dijelaskan bahwa salah satu ciri istri salihah adalah yang taat jika diperintahkan oleh suaminya. Rasulullah bersabda, ”Bagi seorang mukmin laki-laki, sesudah takwa kepada Allah Swt., maka tidak ada sesuatu yang paling berguna bagi dirinya selain istri yang salihah. Yaitu, taat bila diperintah, melegakan bila dilihat, rida bila diberi yang sedikit, dan menjaga kehormatan diri dan suaminya ketika suaminya pergi.” (HR Ibnu Majah)

Rasulullah bersabda, ”Ada tiga macam keberuntungan (bagi seorang lelaki), yaitu mempunyai istri yang salihah, kalau kamu lihat melegakan dan kalau kamu tinggal pergi ia amanah serta menjaga kehormatan dirinya dan hartamu, dan jika diperintah, maka ia menaatimu.” (HR Hakim)

Lebih dari itu, Allah Swt. berfirman,

فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ

“Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).” (QS An-Nisa’ ayat 34)

Al-Qur’an menggunakan istilah ash-shalihat, yang bisa dimaknai dengan istri-istri salihah. Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, kata “qaanitaat” memiliki makna “muthi’at li azwaajihinna” yang berarti taat kepada suami. Sedangkan Tafsir Fathul Qadir menambahkan, yaitu yang taat kepada Allah, menjalankan hak-hak Allah, dan hak-hak suami. Sementara Al-Biqa’i dalam Nadzmud Duror memperjelas, yaitu ikhlas dalam ketaatan kepada suami.

Dari penjelasan beberapa tafsir tersebut dapat kita pahami bahwa kata qaanitaat adalah seorang istri yang taat kepada Allah dan suaminya dengan sebenar-benarnya taat, patuh dengan kepatuhan yang sempurna dengan hati yang ikhlas.

Hanya saja, bagaimanapun hormat, patuh, dan cinta kita kepada suami, tentu saja tidak boleh melebihi cinta dan ketaatan kita kepada Allah dan Rasul-Nya karena ini konsekuensi dari keimanan.

Dalam hadis dari Anas bin Malik ra., Nabi saw. bersabda, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga aku (Rasulullah) menjadi yang paling dicintainya daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.” (HR Bukhari)

Oleh karena itu, ketaatan kepada suami tidak bersifat mutlak sehingga tidak boleh taat kepadanya dalam hal kemaksiatan. Sabda Rasulullah saw.,

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq.”

“Tidak ada kewajiban taat jika diperintahkan untuk durhaka kepada Allah. Kewajiban taat hanya ada dalam kebajikan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam hadis yang lain, dijelaskan adanya larangan bagi suami untuk mencegah istrinya mendatangi masjid atau majelis-majelis ilmu, tentu saja jika ia telah tunaikan seluruh kewajibannya.

Dari Abdullah in Umar, Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian (para suami) melarang para perempuan bagiannya (istri-istrinya) ke masjid kalau mereka meminta izin kepadamu.” (HR Muslim)

3. Menjaga dirinya dan harta suaminya.

Ciri ketiga perempuan terbaik menurut Rasulullah saw. adalah ia menjaga kehormatan dirinya dan menjaga harta suaminya terutama ketika suaminya sedang pergi. Ia senantiasa menjaga pesan suami dan tidak melanggar hal-hal yang dibencinya.

Saat suami tidak bersamanya, seorang istri wajib menjaga kehormatan diri dari segala yang buruk. Menjaga kehormatan diri sebagai muslimah dan sebagai seorang istri artinya juga menjaga tata pergaulan dalam Islam.

Ia tidak boleh berduaan (khalwat) dengan laki-laki lain yang bukan mahramnya. Ia tidak boleh ikhtilath (bercampur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya) dan ia pun senantiasa menutup auratnya.

Ia menjaga kehormatan diri dengan menjaga cara berjalannya di depan laki-laki agar tidak menggoda mereka. Ia tidak memakai parfum yang dapat tercium laki-laki lain dan membangkitkan keinginan tidak terpuji mereka. Ia menjaga suaranya, tidak mendayu-dayu terhadap laki-laki lain yang bukan mahramnya. Ia juga tidak berhias berlebihan saat keluar rumah atau bercanda berlebihan dengan kawan atau rekan kerja laki-laki, demikian halnya ia tidak keluar rumah untuk tujuan yang tidak terlalu penting, apalagi pada malam hari.

Selain menjaga kehormatan dirinya, saat tinggal berjauhan dengan suami, maka istri juga wajib menjaga amanah suami berupa harta yang dititipkan kepadanya. Seorang istri hendaknya membelanjakan harta suami dengan cara yang makruf, dan tidak berlebihan atau di luar kebutuhan kecuali dengan seizin suaminya.

Amanah bagi istri ini, jika dilaksanakan dengan baik akan semakin menebalkan rasa cinta suaminya dan memberikan kebahagiaan hati yang tak terkatakan. Sebaliknya, suaminya pun memenuhi hak istrinya secara sempurna.

Bagi seorang suami, ia akan merasa tenteram ketika harus meninggalkan istrinya. Tenteram dan aman pada istri yang tidak mungkin berlaku nista di belakangnya. Tenteram dan aman pada harta yang benar-benar dijaga dan tidak dikeluarkan kecuali seizinnya. Tenteram dan aman karena jerih payahnya selama ini terjaga oleh istri yang paham syariat Islam.

Menjaga harta suami berarti ia tidak menggunakan harta suaminya kecuali dengan izinnya atau dengan kesepakatan mereka berdua. Jika suami sangat pelit, ia tetap tidak diperbolehkan mengambil harta suaminya tanpa izin kecuali untuk kebutuhan pokok dirinya dan anak-anaknya secukupnya. Sebatas kewajaran tanpa memberikan kemudaratan kepada harta suaminya.

Wahai muslimah, jika kita semua mampu untuk memenuhi ketiga hal ini, yakni menyenangkan suami saat melihat kita, selalu berusaha untuk menaatinya, dan menjaga kehormatan diri dan harta suami, insyaallah kita akan menjadi perempuan atau istri terbaik sebagaimana yang diinginkan oleh Rasulullah saw.. Wallahualam bishshawab.

PAHALA ISTRI TAAT PADA SUAMI DALAM ISLAM

 


1. Perintah Allah kepada istri untuk taat kepada suami

الرِّجَالُ قَوّٰمُونَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَبِمَآ أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوٰلِهِمْ   ۚ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ   ۚ وَالّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ   ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا   ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

Artinya: 

"Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar." (QS An-Nisa: 34)

Seperti diketahui, suami adalah pemimpin dalam rumah tangga. Allah memberi keutamaan bagi laki-laki yang lebih besar daripada perempuan karena dialah yang berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya. Oleh karena itu, suami memiliki hak atas istrinya yang harus selalu ditaati dan ditunaikan oleh istri dengan baik. Istri yang taat kepada suaminya juga akan mendapat ganjaran yang besar dari Allah.

2. Hadis tentang istri salihah

Sebagai seorang istri, kamu juga perlu terus memperbaiki diri dan senantiasa berbuat baik agar dapat menjadi seorang istri yang salihah. Selain dapat menyenangkan suami, istri yang salihah juga menjadi perhiasan paling indah di dunia. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ،

“Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salihah.” (HR Muslim)

3. Wanita yang paling baik adalah yang taat pada suaminya

Untuk memiliki rumah tangga yang harmonis, setiap pasangan suami istri harus mengetahui apa saja hak dan kewajiban masing-masing. Salah satunya soal kewajiban untuk taat kepada suami. Rasulullah bersabda bahwa sebaik-baiknya perempuan ialah yang menyenangkan dan taat pada suaminya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah bersabda:

قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ

“Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Siapakah wanita yang paling baik?’ Jawab beliau, ‘Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, menaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci’.” (HR An-Nasai dan Ahmad)

4. Wajibnya istri taat pada suami dalam kebaikan

Setelah seorang perempuan menikah, maka kewajiban taat kepada suami menjadi hak tertinggi yang harus dipenuhi, setelah kewajiban taatnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Hal tersebut tertuang dalam hadis Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ َلأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا 

“Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang wanita sujud kepada suaminya.” (HR At-Tirmidzi)

Sujud merupakan bentuk ketundukan sehingga hadis tersebut mengandung makna bahwa suami mendapatkan hak terbesar atas ketaatan istri kepadanya. Seorang istri harus taat kepada suaminya dalam hal kebaikan. Misalnya, ketika diajak untuk berhubungan intim, diperintahkan untuk salat, puasa, mengenakan busana muslimah, dan menghadiri majelis ilmu. 

5. Pahala istri yang taat kepada suami dalam Islam

Menjadi seorang istri yang salihah termasuk perjalanan seumur hidup yang perlu ditempuh, namun semua itu akan berbuah manis pada akhirnya. Selain mendapatkan pahala, istri yang taat kepada suami juga bisa menjadi penyebabnya dapat masuk surga, lho. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ

“Jika seorang wanita selalu menjaga salat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, ‘Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka’.” (HR Ahmad dan Ibnu Hibban)

Itulah ulasan lengkap tentang pahala istri yang taat kepada suami dalam Islam. Meski kita diwajibkan untuk taat pada suami, namun ini hanya berlaku pada hal-hal yang baik dalam agama, ya. Jika suami memerintahkan istri untuk tidak berhijab, meninggalkan salat lima waktu, atau berhubungan intim saat haid, maka perintah dalam maksiat semacam itu tidak boleh ditaati. Kita harus tetap mengutamakan kewajiban kepada Allah dan Rasul-Nya, sebelum taat kepada suami. 


Sabtu, 03 September 2022

STRATEGI PENDIDIKAN ANAK USIA REMAJA

 


Basis pendidikan Islam yang tidak boleh diabaikan adalah basis usia, sejumlah nash baik dalam Al-Qur'an maupun Sunah sudah menjelaskan perkara ini dengan gamblang dan jelas dan ini sejalan dengan tujuan pendidikan Islam yang hendak dicapai dan visi generasi dalam Islam yang melahirkan sosok pribadi Islam yang tangguh, generasi saleh, generasi pemimpin, dan generasi khairu ummah. Karena dalam pendidikan Islam harus senantiasa integral antara tujuan-tujuan pendidikan yang dicapai dengan konsep yang dimiliki dan juga metode yang diberlakukan. Semua harus berasal dari jenis yang sama yaitu dari Islam.

Perkara mendidik berdasarkan usia Allah Swt. berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum salat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)-mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya. (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (TQS An-Nur: 58)

Ayat ini menjelaskan bagaimana aturan interaksi anak usia prabalig dengan orang tua dalam kehidupan khas, kehidupan rumah yang harus meminta izin terlebih dahulu di waktu-waktu aurat. Orang tua mempunyai kewajiban mendidik anak dalam perkara ini, ayah bunda memberikan pelajaran kepada anak tiga waktu aurat.

Namun ketika anak sudah balig izin itu tidak hanya tiga waktu aurat tapi semua waktu dan kesempatan anak yang sudah baligh harus dapat izin ayah bundanya terlebih dahulu untuk memasuki kamar atau kehidupan khusus lainnya. Allah berfirman :
Dan apabila anak-anakmu telah dewasa maka hendaklah mereka meminta izin jua sebagaimana meminta izinnya orang-orang telah terdahulu tadi. Bukankah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya untuk kamu; dan Allah adalah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana." (TQS An-Nur: 59)

Dalam hadis juga menjelaskan bahwa perkara pendidikan itu harus berbasis usia prabalig dan anak yang sudah balig. Rasulullah saw. Bersabda:

رفع القلم ، عن ثلاثة ، النائم حتى يستيقظ ، والصبي حتى يبلغ ، والمجنون حتى يفيق

“Pena di angkat dari tiga golongan; orang tidur hingga bangun, anak-anak hingga balig, dan orang gila hingga sadar” (al-Bayhaqi dalam Ma’rifatus Sunan)

Dapat dipahami bahwa anak usia prabalig tidak dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatannya hingga dia balig. Dari sini penting memahami usia anak dalam penerapan hukum-hukum Allah agar tidak salah dalam mendidik. Dalam kesempatan lain Rasulullah saw. juga mengajarkan parenting berbasis usia kepada kita dalam perkara salat dan pemisahan tempat tidur langsung menyebutkan usia anak, beliau bersabda:

"Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan salat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka." (Disahihkan oleh Al-Albany dalam Irwa'u Ghalil, no. 247)

Demikianlah Allah dan Rasul-Nya mengarahkan kita dalam mendidik, harus memerhatikan usia saat prabalig dan saat balig. Memperhatikan usia anak dalam mendidik dengan berdasarkan dalil-dalil syarak agar orang tua memahami hukum-hukum apa saja yang terkait dengan usia tersebut yang harus dilakukan oleh orang tua. Kemudian bagaimana perlakuan orang tua terhadap anak saat usia pra balig dan saat usia balig.

Secara umum tahapan usia prabaligh dapat dibagi dua tahap yaitu tahapan prabalig tahap satu, usia dini, usia thufulah (pra mumayyiz) usia 0—7 tahun, usia prabaligh tahap kedua usia sekolah tingkat dasar yaitu usia mumayyiz (7—10 th). Tahapan ini berdasarkan hadist Rasulullah saw., yang langsung menyebutkan usia pendidikan anak tentang salat.

“Perintahkanlah anak-anakmu melaksanakan salat di usia 7 tahun dan pukullah mereka jika meninggalkan salat di usia 10 tahun.” (HR Imam Ahmad)

Batas ambang anak tidak lagi ditolerir meninggalkan ibadah shalat adalah 10 tahun, artinya anak jika sudah mencapai usia 10 tahun harus memiliki keseriusan dalam agama dalam ketaatan meskipun belum balig, jika anak tidak salat di usia itu maka pukullah jika diperlukan. Jika kita memahami tentang pendidikan berbasis usia ini kaitannya dengan parenting adalah sebagai berikut : 1. Memahami tumbuh kembang anak setiap jenjang usia 2. Menentukan tahapan-tahapan pendidikan 3. Menentukan jenjang sekolah 4. Hukum-hukum syarak yang terkait dengan anak sesuai jenjang usia 5. Penentuan kurikulum dan bahan ajar sesua usia 6. Penentuan takdib bagi kesalahan anak 7. Meraih tujuan pendidikan (Takwinusysyakhshiyyah) di setiap jenjang usia 8. Mengantarkan anak prabalig menuju mukallaf Adapaun strategi dalam Islam untuk mendidik anak usia prabalig sebagai berikut: 1. Orang tua fokus kepada tujuan perndidikan yaitu terbentuknya kepribadian Islam yang cerdas akalnya dan saleh jiwanya 2. Menerapkan kurikulum berbasis akidah Islam, menderaskan tsaqafah Islam sebagai pembentuk langsung kepribadian Islam. 3. Menerapkan metode talaqqiyan fikriyyan dalam proses pembelajaran, mendorong anak menjadi pemikir, dan mengamalkan ilmu 4. Menggunakan uslub (tataran teknis) yang dapat merealisasikan tujuan-tujuan pendidikan dan menguatkan metode pembelajaran 5. Menyediakan sarana dan prasarana yang tepat Strategi di atas dapat dilakukan orang tua di rumah dalam program-program yang terarah sehingga pandidikan anak berjalan dengan baik dan terukur. Dengan membawa strategi ini pula orang tua menemani ananda hingga memasuki usia balig. Namun, strategi di atas akan lebih optimal dan terbangun sinerginya apabila ada sistem politik yang mendukung dalam menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam di seluruh sekolah oleh negara. Wallaahualam.

Perlindungan Sosial Hanya Mewujud Sempurna dalam Sistem Islam

 


Gejolak harga-harga kebutuhan pokok akibat kenaikan harga pangan dan BBM global masih dihadapi secara santuy oleh Pemerintah Indonesia. Sikap optimis ini didasarkan pada keyakinan bahwa situasi ekonomi negara kita sedang baik-baik saja.

Pemerintah diwakili Wapres beranggapan bahwa Indonesia masih berada pada jalur yang tepat. Buktinya, di tengah situasi sulit saat ini, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia diklaim cukup baik, yakni lebih dari 5%. Laju inflasi pun disebut-sebut terendah dibanding negara-negara lain. Sementara ekspor perdagangan dikatakan dalam kondisi surplus.

Pemerintah juga beranggapan situasi sulit ini masih bisa diatasi dengan banyak opsi. Termasuk dengan memperbesar dana bantuan sosial (bansos), menggelar operasi pasar, merekayasa subsidi, dan sebagainya. Opsi-opsi ini tampaknya masih menjadi jurus andalan, bahkan menjadi kebanggaan, seakan-akan fungsi kepemimpinan sedang dijalankan.

Jauh Panggang dari Api Namun, situasi di lapangan tidak seindah yang dibayangkan. Sejak sebelum pandemi, kehidupan rakyat sebetulnya sudah dalam kondisi centang perenang. Terbukti daya beli menurun, sejalan dengan pengangguran dan angka kemiskinan yang terus meningkat. Itu pun diukur dengan standar garis kemiskinan yang sangat minimal. Adapun perbaikan ekonomi yang dijanjikan oleh mulut manis penguasa, hasilnya juga tidak kunjung tiba. Kalaupun ada, mereka hanya bermain dengan angka-angka yang justru terkesan mengamuflase keadaan sebenarnya. Berlanjutnya gejolak harga di level internasional, baik akibat perang maupun ketidakpastian produksi akibat isu perubahan iklim, nyatanya telah berdampak buruk bagi perekonomian negara pengutang seperti Indonesia. IMF bahkan memperingatkan, situasi ini akan membuat negara-negara pemilik utang termasuk Indonesia terancam gagal bayar. Pasalnya, negara-negara besar pun akan terpacu untuk meningkatkan suku bunga demi mengamankan kondisi ekonomi dalam negerinya. Dengan demikian, posisi dolar akan terus menguat, dan pada saat yang sama akan mengoreksi besaran utang negara-negara lemah. Tidak heran, utang plus bunga negara kita angkanya makin fantastis saja. Beberapa pejabat pemerintah pun akhirnya kerap mengeluh soal beban APBN yang makin berat hingga berbagai kebijakan berbasis subsidi dan bantuan sosial pun terus dipersoalkan. Contohnya, kebijakan yang hari ini sedang banyak dibincangkan. Dengan dalih mengurangi tekanan terhadap masyarakat di tengah kenaikan harga dan kemiskinan yang makin menguat dan menyebar, pemerintah mengambil kebijakan mengalihkan dana subsidi BBM sebesar Rp24,17 T untuk bantuan sosial. Artinya, alih-alih meringankan beban rakyat dengan menambah subsidi dan bantuan sosial, yang dilakukan justru hanya mengulur meledaknya bom waktu, dengan cara menyelesaikan masalah dengan masalah hingga persoalan pun makin parah. Bayangkan saja, pencabutan subsidi BBM jelas akan membawa efek domino, terutama akibat menguatnya tingkat inflasi yang biasa mengiringi kenaikan harga bahan bakar minyak. Sementara, penambahan dana bansos tidak menjamin akan bisa menutupi semua dampak yang dirasakan oleh masyarakat banyak. Terlebih, sasaran penerima bansos jumlahnya sangat terbatas. Sementara selama ini proyek bantuan sosial selalu diiringi banyak masalah, seperti pembagian yang tidak tepat sasaran, serta fakta bahwa proyek ini senantiasa menjadi lahan basah bagi para pelaku tindak korupsi.

Solusi Tambal Sulam

Selama ini negara atau para penguasa memang cenderung fokus menyolusi problem cabang. Padahal yang dilakukan alih-alih menyelesaikan persoalan, melainkan hanya memperburuk keadaan, bahkan kian menjerumuskan negara dan rakyat pada kondisi yang lebih mengerikan.

Konsep perlindungan sosial, baik yang berbentuk bantuan sosial seperti in-cash transfer (bantuan langsung tunai) dan pelayanan (in-kind transfer), maupun jaminan sosial berbasis asuransi seperti BPJS kesehatan, BPJS tenaga kerja, dan tabungan pensiun misalnya, seakan jadi solusi andalan. Padahal, sejatinya hanya merupakan solusi tambal sulam untuk menutup ketidakmampuan negara mewujudkan kesejahteraan rakyat, orang per orang.

Terlebih pada perlindungan sosial yang berupa jaminan sosial berbasis asuransi sosial. Tampak jelas, konsep ini justru menunjukkan sikap lepas tangan pemerintah dalam kewajiban menjamin hak dasar masyarakat. Rakyat justru didorong, bahkan dipaksa, untuk secara swasembada mendanai kebutuhan yang semestinya secara penuh dipenuhi oleh negara.

Namun, inilah konsekuensi hidup dalam sistem sekuler kapitalisme neoliberal. Dalam sistem ini, negara memang hanya berperan sebagai regulator, bukan sebagai pengurus dan pengayom rakyatnya. Dengan demikian, tidak ada kewajiban moral bagi negara atau penguasa untuk memastikan setiap warga negara terpenuhi kesejahteraannya.

Bahkan, dalam sistem ini, negara dipandang sebagai sebuah perusahaan sehingga nilai efisiensi begitu diperhatikan. Tidak heran jika hubungan yang terbangun antara penguasa dengan rakyatnya tidak ubahnya seperti hubungan penjual dengan pembeli sehingga seluruh kebijakannya selalu menghitung untung rugi.

Bahkan aroma bisnis benar-benar tercium di mana-mana. Kebijakan pangan, pendidikan, kesehatan, transportasi, keamanan, hukum, semuanya bicara soal keuntungan. Tidak heran jika kursi kekuasaan menjadi ajang perjudian para pemilik modal yang berambisi menambah pundi-pundi kekayaan. Sekaligus menjadi pintu masuk bagi para pemodal lokal maupun asing untuk menguasai kekayaan milik rakyat melalui rekayasa undang-undang.

Mirisnya, semua kondisi ini dikukuhkan oleh penerapan sistem kapitalisme secara global. Keterikatan negeri-negeri kaum muslimin pada aturan internasional menyangkut perdagangan dan moneter menjadikan penguasa tidak punya kemandirian. Mereka bertindak sebagai budak yang hilang kedaulatan. Tunduk mengabdi pada kepentingan negara-negara besar.

Jadilah rakyat di negeri yang luar biasa kaya raya ini hidup sedemikian sengsara. Mereka harus membeli semua hal yang sejatinya merupakan hak milik mereka dengan harga yang sangat mahal. Sementara kebanyakan dari mereka daya belinya sangat rendah akibat didera oleh kemiskinan struktural.

Teriakan mereka di jalan-jalan bergema penuh dengan rasa putus asa tanpa ada yang mau mendengarkan. Mata, telinga, dan hati penguasa sekuler seakan tertutup oleh penyakit wahn yang meliputi akal dan jiwa mereka.

Harapan Hanya pada Islam

Sebagai ideologi, Islam menetapkan bahwa kesejahteraan setiap individu rakyat, secara orang per orang, wajib dipenuhi oleh negara atau para penguasanya, karena negara atau kepemimpinan berperan sebagai pengurus dan penjaga. Kelalaian dalam memenuhinya dipandang sebagai sebuah kezaliman yang tak akan bebas dari pertanggungjawaban di dunia dan akhirat.

Penerapan syariat kafah dalam seluruh aspek kehidupan justru menjadi kunci kebangkitan umat Islam selama berabad-abad. Negara Islam tampil sebagai negara yang mandiri dan berdaulat di berbagai bidang kehidupan. Bidang pertahanan (militer), energi, pangan, hukum dan sebaginya selalu terdepan. Negara Islam bahkan mampu merebut kepemimpinan dalam konstelasi politik internasional, dan menggunakannya untuk menebar rahmat ke seluruh alam.

Penerapan sistem ekonomi Islam oleh negara Islam benar-benar memungkinkan negara punya modal untuk menyejahterakan rakyat dan mewujudkan keadilan hidup bagi mereka secara orang per orang.

Karena sistem ekonomi Islam mengatur soal mekanisme kepemilikan, pengelolaan, dan pengembangan kepemilikan, mengatur soal sistem moneter yang antikrisis karena berbasis pada emas dan perak, serta antiriba yang hari ini justru menjadi biang kerusakan. Salah satu contohnya, sistem ekonomi Islam menetapkan seluruh sumber daya alam yang jumlahnya melimpah ruah adalah milik seluruh rakyat yang wajib dikelola oleh negara untuk dikembalikan manfaatnya kepada rakyat. Haram bagi negara menyerahkan kepemilikannya kepada individu, apalagi kepada asing. Belum lagi sumber-sumber keuangan negara di dalam Islam tak hanya berasal dari hasil pengelolaan sumber daya alam Ada juga sumber-sumber syar'i lainnya seperti dari ganimah, fay'i, kharaj, jizyah, rikaz, dan sebagainya yang jumlahnya juga melimpah ruah. Juga kepemilikan negara dan zakat yang pengeluarannya diatur oleh syarak. Tidak heran jika problem kemiskinan dalam sejarah peradaban Islam tak pernah ditemukan sebagai sebuah fenomena. Melainkan sebagai sebuah kasus yang penyebabnya bukan karena kebijakan struktural, melainkan karena kelalaian penerapan hukum oleh sebagian kecil penguasa atau karena faktor bencana alam. Dalam sistem Islam, negara benar-benar hadir sebagai pengayom rakyatnya. Bagaikan seorang ayah, negara atau penguasa mengurus dan menjaga seluruh rakyatnya dengan penuh kasih sayang, tanpa berhitung jasa, apalagi keuntungan. Segala bentuk pelanggaran atau kezaliman yang muncul dari kerakusan manusia, tercegah dengan sendirinya melalui penerapan sistem sanksi Islam. Alhasil, perlindungan sosial yang hari ini menjadi mimpi semua orang benar-benar mampu diwujudkan oleh sistem Islam. Karena kesejahteraan memang merupakan dampak penerapan hukum-hukum Islam, bukan proyek artifisial yang bersifat tambal sulam. Catatan sejarah tentang kesejahteraan hidup di bawah naungan Islam ini benar-benar terserak dalam catatan yang ditulis dengan tinta emas sejarah yang tidak mungkin dihapuskan. Apa yang terjadi pada masa Rasulullah saw., juga penggalan-penggalan kisah kehebatan pengurusan dan penjagaan rakyat pada masa Umar bin Khaththab, Umar bin Abdul Aziz, dan khalifah-khalifah setelahnya, cukup menjadi bukti jaminan kebaikan dari penerapan sistem Islam. Sementara sejarah kehidupan setelah hegemoni sekularisme kapitalisme global justru dipenuhi kisah tragis kesengsaraan, akibat penjajahan dan kerakusan negara-negara besar. Oleh karena itu, sudah saatnya umat kembali kepada sistem Islam, agar problem-problem kesejahteraan sosial, bahkan krisis multidimensi lainnya bisa segera diselesaikan secara tuntas dari akar hingga ke cabang. Insyaallah, tidak hanya umat Islam yang akan beroleh kebaikan, tetapi umat segera keseluruhan, bahkan semua makhluk semesta alam. Allah Swt. berfirman, وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ "Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (QS al-A'raf: 96).

MENAPAKI JALAN GENERASI AL-GHURABA

 


Ini bukan generasi para Nabi, bukan pula generasi yang berjihad di medan perang di tanah Palestina ataupun tanah Suriah, tetapi mereka mampu membuat  para Nabi dan  syuhada ber-gibthah (berangan-angan) di hari kiamat, karena kedekatan mereka dengan Allah dan kedudukan mulia di sisi Allah, bahkan Allah membuatkan mereka mimbar-mimbar dari cahaya kelak di yaumul qiyamah.

Rasulullah saw. bersabda,

“Sesunggunya Allah mempunyai hamba-hamba yang bukan para Nabi dan syuhada. Para Nabi dan syuhada pun ber-ghibthah pada mereka di hari kiamat karena kedekatan mereka dengan Allah dan kedudukan mereka di sisi Allah. Kemudian seorang Arab Badui (yang ada di tempat nabi berbicara) duduk berlutut,seraya berkata, “Wahai Rasulullah, jelaskanlah sifat mereka dan uraikanlah keadaan mereka pada kami!” Rasulullah bersabda, “Mereka adalah sekelompok manusia yang beraneka ragam,yang terasing dari kabilahnya. Mereka berteman di jalan Allah, saling mencintai karena Allah. Allah akan membuat mimbar mimbar dari cahaya bagi mereka di hari kiamat. Orang-orang merasa takut, tetapi mereka tidak takut. Mereka adalah kekasih Allah yang tidak memiliki rasa takut (pada selain Allah) dan mereka tidak bersedih.”

Merekalah Al-ghuraba, yaitu merekalah yang berada pada suatu kondisi keterasingan fase kedua, setelah fase keterasingan zaman Rasulullah saw. dan para sahabat di awal perkara dakwah. Keterasingan yang mirip dengan fase pertama, mungkin saat inilah zamannya.

بَدَأَ الإِسلامُ غريبًا، وسَيَعُودُ غريبًا كما بدَأَ ، فطُوبَى للغرباءِ

“Islam muncul dalam keadaan asing, dan akan kembali asing seperti saat  kemunculannya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing.” (HR Muslim)

Inilah zaman yang ideologi Islam dianggap asing, padahal mengaku berakidah Islam. Inilah zaman yang membuat para pendakwahnya menjadi diasingkan dari negerinya, ada yang diminta keluar dari negerinya bahkan dicabut kewarga negaraanya. Inilah zaman yang generasi Al-ghuraba  dikucilkan dari habitatnya, tidak diberi ruang lagi untuk mendakwahkan agamanya, hingga panji-panji tauhid pun disingkirkan dari peredaran kehidupan negerinya. 

Tapi, berbahagialah generasi Al-ghuraba yang senantiasa mengokohkan kakinya menapaki jejak dakwah Rasulullah saw. Tidak urung para sahabat pun berkeinginan kalau Al-ghuraba itu adalah mereka, ternyata tidak, Al-ghuraba adalah zaman setelah sahabat,

“Akan datang suatu kaum pada hari kiamat kelak.Cahaya mereka bagaikan cahaya matahari. Abû Bakar berkata, “Apakah mereka itu kami wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda, “Bukan, dan khusus untuk kalian ada kebaikan yang banyak. Mereka adalah orang-orang fakir dan orang-orang yang berhijrah yang berkumpul dari seluruh pelosok bumi.” Kemudian beliau bersabda,“Kebahagian bagi orang-orang yang terasing, kebahagiaan bagi orang-orang yang terasing.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah orang-orang yang terasing itu?” Beliau saw. bersabda, “Mereka adalah orang-orang shalih di antara kebanyakan manusia yang buruk. Di mana orang yang menentang mereka lebih banyak daripada yang menaatinya.” (al-Haitsami berkata hadis ini dalam al-Kabir mempunyai banyak sanad, para perawinya sahih).

Apakah yang membuat para Al-ghuraba itu bahagia? Karena mereka diberi Allah kenikmatan dalam mengemban risalah dakwah dimana tidak dirasakan oleh orang-orang munafik dan orang-orang yang mencari aman. Al-ghuraba adalah orang-orang terpilih dalam memperjuangkan Islam kafah walau banyak orang yang menentangnya. Al-ghuraba merasakan kebahagiaan itu melebihi limpahan harta dan dunia dan segala isinya. Rida Allah cukup baginya untuk bahagia walau dalam pembubaran kelompoknya, walau dalam pemutusan jalan rezekinya, walau pengusiran dari negerinya, diminta dicopot kewarganegaraannya karena gara-gara mereka berjuang menegakkan hukum-hukum Allah.

Tidak sedikit pun Al-ghuraba ini lari dari perjuangan walau hampir tak bisa bergerak, apalagi menerima tawaran-tawaran kelompok lain untuk mendukung kekuasaannya, hil yang mustahal. Mereka tetap istiqamah, walau saling berajahan tetap memegang erat fikrah dan thariqah dakwahnya di manapun mereka berada, mereka saling mencintai karena Allah dalam satu visi dan misi yang sama, saling menguatkan dan mendoakan walau satu sama lain belum pernah bertemu. Karenanya mereka sulit untuk digoyahkan, tidak tumbang dengan angin badai dan tidak tertidur denagn angin sepoi-sepoi.

Pengemban dakwah hari ini mencoba menapaki jalan generasi Al-ghuraba, yang senantiasa melakukan perbaikan di tengah kehidupan yang rusak, banyak sekali yang menentangnya sedangkan yang mengikutinya sedikit. Generasi Alghuraba ini terus melangkah dan semakin menguatkan kaki-kakinya di jalan dakwah sehingga mereka mendapatkan mimbar cahaya buatan sang pemilik istana surga. Wallahualam.

Jumat, 02 September 2022

AMALAN SYUKUR

 


Marilah  kita isi dengan pujian-pujian ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai rasa syukur kita atas karunia yang begitu besar yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita. Terutama karunia besar yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada seorang manusia, yaitu karunia iman dan Islam.

Barangsiapa dikasih karunia iman dan Islam, maka seketika itu juga dia telah menjadi orang yang semulia-mulianya manusia. Iman dan Islam adalah tanda bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala cinta kepada seorang hamba. Iman dan Islam adalah tanda bahwa seorang hamba akan menjadi raja-raja di syurga Allah

Apabila ada iman dan Islam dalam hati sesesorang, maka apapun yang terjadi menjadi baik bagi dia. Kalau kaya baik, dengan kaya dia akan tambah amalannya. Kalau miskin baik, karena miskin akan menjadikan sedikit urusannya di dunia dan di akhirat. Kalau sehat baik, dengan sehat dia tambah kuat untuk berbuat kebaikan. Kalau sakit pun baik, karena dengan sakit akan berguguran dosa-dosanya.

Jadi, apapun baik. Hidupnya menjadikan dia baik, karena bertambah pahalanya. Mati pun menjadikan dia baik pula, karena akan menghadap kepada Tuhannya. Bahkan Para Ulama’ mengatakan, kalaupun di dunia ini kita mendapat kesusahan-kesusahan dan kesulitan-kesulitan kita perlu mensyukurinya, karena kesusahan-kesusahan dan kesulitan-kesulitan yang ada di dunia ini akan mempunyai hikmah yang besar.

Dengan kesusahan-kesusahan dan kesulitan-kesulitan itu kita menjadi kurang betah di dunia ini. Kita akan bertambah rindu kepada negeri akhirat. Amalan kita pun akan bertambah baik. Dengan kesusahan-kesusahan dan kesulitan-kesulitan, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuni dosa-dosa kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berkuasa mendatangkan berjuta-juta kesusahan, kok Dia mendatangkan hanya kesusahan itu, maka itu merupakan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita. Ibaratnya kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan seribu kesusahan, kok cuman hanya menurunkan seribu kesusahan, padahal Allah kuasa mendatangkan trilyun-trilyun kesusahan, maka kita pun perlu mensyukuri hal itu.

Maka, orang beriman itu isinya bersyukur saja. Kalau dikasih susah bersyukur dan kalau dikasih gembira pun bersyukur. Apapun keadaannya, bersyukur saja. Itulah orang yang paham, yaitu orang yang punya pemahaman kalau dunia ini diatur oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ditentukan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kesusahan-kesusahan kepada orang beriman bukan untuk menghancurkannya. Akan tetapi, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kesusahan-kesusahan kepada
orang beriman supaya dia tambah banyak pahalanya, tambah kemuliaannya, dan tambah bersih dosa-dosanya.

Kalau orang itu paham, maka dia akan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kegembiraaan. Dia juga akan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kesulitan.
Kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menuruti hajat-hajat kita, bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak kuasa menuruti hajat-hajat kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berkuasa memberikan hajat-hajat kita berjuta-juta kali lipat, bermilyar-milyar, dan bertrilyun-trilyun kali lipat. Akan tetapi, Allah Subhanahu wa Ta’ala menunaikan hajat-hajat kita sedikit demi sedikit itu untuk apa? Jawabnya, karena ada hikmah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Hajat kita yang sebenarnya adalah hajat kita di akhirat nanti. Supaya di sana kita mendapatkan bagian yang sebanyak-banyaknya. Maka, kita duduk dalam keadaan bersyukur, berdiri dalam keadaan syukur. Setiap napas kita, kita isi dengan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kalau kita menjadi orang yang bersyukur, maka kebaikan-kebaikan akan datang dari segala arah. Apa saja yang kita syukuri, nanti di akhirat tiba-tiba akan menjadi kebaikan-kebaikan. Begitu pula sebaliknya, apa saja yang kita keluhkan, nanti di akhirat akan menjadi keburukan-keburukan.

Kita syukuri nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Nikmat iman dan Islam kita syukuri dengan sebenar-benarnya. Nikmat berupa punya teman-teman yang mengamalkan agama itu juga kita syukuri. Karena berkah orang yang mengamalkan agama itu bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk tetangga-tetangganya, bahkan seluruh umat.

Kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebab di kampung kita sudah banyak orang ‘alim dan hafizh al-Qur’an. Nikmat ini perlu kita syukuri, Sebagian ulama’ mengatakan, “Kalau kampung kamu tidak ada yang hafizh al-Qur’an, maka orang-orang kampung itu mendapat dosa semuanya. Dosa gratis tanpa terasa.” Akan tetapi, kalau di kampung kita banyak orang yang hafizh al-Qur’an, banyak ahli ilmu, maka berkahnya akan kembali kepada kita di dunia dan juga di akhirat. Maka, kita syukuri keadaan itu semua.

Kalau keadaan-keadaan ini kita syukuri, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menambah lagi kebaikan dan menambah lagi kebaikan. Untuk itu, semua kebaikan perlu kita syukuri. Entah itu kebaikan dunia ataupun kebaikan agama Kalau kebaikan-kebaikan dunia ini kita syukuri, maka
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberkahi kehidupan dunia ini. Kalau kebaikan-kebaikan agama ini kita syukuri, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menambah keberkahan agama.

Apa saja kita syukuri? Contohnya, ketika kita ke masjid. Ketika kita ke masjid yang kita pikirkan bukan hanya ke masjid, tetapi bagaimana ke masjid dengan syukur. Shalat dengan syukur. Ruku’ dengan syukur. Sujud dengan syukur. Sekali sujud apabila diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala itu
lebih mahal daripada dunia dengan segala isinya. Baca Qur’an dengan syukur. Berjumpa dengan orang Islam dengan syukur. Berjabat tangan dengan orang Islam dengan syukur, karena setiap berjabat tangan dengan orang Islam akan menggugurkan dosa-dosa dan akan maqbul do’a-do’anya.

Kita bisa bernapas dengan satu napas harus bersyukur, karena napasnya orang yang beriman itu mahal. Satu napas yang digunakan untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hasilnya akan kita lihat selama-lamanya, berjuta-juta tahun yang akan datang Maka semua napas kita ini, kita syukuri. Kedipan mata kita ini, kita syukuri. Dengungan telinga kita, kita syukuri. Aliran darah kita, kita syukuri. Kalau semua itu kita syukuri, maka akan menjadi amal kebaikan yang akan kita lihat hasilnya selama-lamanya.