Jumat, 07 Oktober 2022

RELA MENGAKUI KESALAHAN DAN SANGGUP MEMPERBAIKINYA (Bag-2)

 


Ia tidak kuat menahan kepedihan hati karena niat baiknya tidak diterima. Lalu dia pergi menghadap Rasulullah SAW.

Sungguh tajam firasat Rasulullah SAW, beliau mengetahui Abu Bakar datang membawa sesuatu yang berat di dalam hatinya. Setelah menerima keterangan dari Abu Bakar dan juga pengakuan atas kesalahan yang telah ia lakukan, ia menyatakan sangat menyesal atas kejadian itu, maka Rasulullah merasa sangat prihatin; beliau ingat kebaikan dua sahabat terkemuka itu, beliau berat kepada mereka berdua yang kini tersiksa batinnya.

Di antara yang diucapkan oleh Abu Bakar ialah :

يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّهُ كَانَ بَيْنِي وَبَيْنَ عُمَرَ شَيْءٌ، فَأَسْرَعْتُ إِلَيْهِ، ثُمَّ إِنِّي نَدِمْتُ عَلَى مَا كَانَ مِنِّي إِلَيْهِ، فَسَأَلْتُهُ أَنْ يَغْفِرَ لِي، فَأَبَى عَلَيَّ، فَتَبِعْتُهُ الْبَقِيعَ كُلَّهُ، حَتَّى تَحَرَّزَ بِدَارِهِ مِنِّي، وَأَقْبَلَتُ إِلَيْكَ

"Wahai Rasulullah, sesungguhnya antara aku dan Umar telah terjadi sesuatu (ada ucapanku yang membuat Umar marah). Akupun segera mendatanginya dan menyesali apa yang telah kuperbuat terhadapnya. Aku meminta maaf kepadanya, tapi ia menolak. Maka aku mengikutinya sampai keliling kampung Baqy, bahkan saat tiba di rumahnyapun ia menghindar dariku. Maka kini aku menghadap kepadamu." (HR. Bukhari - dari Abu Darda)

Lalu Rasulullah berdoa dan meyakinkan bahwa Allah pasti akan mengampuni mereka. Beliau mengucapkan doa itu sebanyak tiga kali.

Kemudian Umar pun menyesal atas perbuatannya karena ia menutup pintu waktu Abu Bakar datang minta maaf. Lalu Ia pergi ke rumah Abu Bakar, tetapi ternyata Abu Bakar tidak ada di rumahnya. Kemudian ia pergi ke rumah Rasulullah dan di sana mereka bertemu. Kedua sahabat itu bukannya menghitung-hitung jasa dan bukan pula saling membela diri bahwa dia yang paling benar sementara yang lain salah, tapi kebalikan dari itu.

Abu Bakar berkata :
يا رَسولَ اللَّهِ، واللَّهِ أنَا كُنْتُ أظْلَمَ
"Demi Allah wahai Rasulullah, akulah yang paling bersalah”. (HR. Bukhari)

Ungkapan tulus ini dia ucapkan karena dia tidak ingin Rasulullullah akan menyalah-nyalahkan Umar. ِAbu Bakar r.a tahu diri bahwa dirinyalah yang mengawali dan membuat persahabatan terganggu.

Dengan demikian suasana menjadi jernih kembali, mereka saling memaafkan dan kenikmatan persahabatan menghapus semua rasa kesumat dan kedengkian berkat ketakwaan mereka yang mendorong untuk kembali ke jalan yang diridhai Allah.

Kita mesti melupakan yang patut dilupakan, dan kita tidak boleh lupa akan sesuatu yang tidak boleh dilupakan, yaitu kebaikan orang terhadap kita, atau jasa-jasa baiknya pada masyarakat.

Tidak diragukan lagi bahwa para sahabat, semoga Allah meridhoi mereka, adalah manusia biasa, mereka bisa marah dan berselisih, sama seperti umumnya manusia, tetapi mereka segera kembali kepada Al Haq.

Sehubungan dengan kejadian itu Rasulullah Saw. menerangkan kebaikan Abu Bakar, yaitu:
إنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي إلَيْكُمْ فَقُلتُمْ: كَذَبْتَ، وقَالَ أبو بَكْرٍ: صَدَقَ، ووَاسَانِي بنَفْسِهِ ومَالِهِ، فَهلْ أنتُمْ تَارِكُوا لي صَاحِبِي؟ مَرَّتَيْنِ، فَما أُوذِيَ بَعْدَهَا
"Sesungguhnya Allah mengutusku kepada kalian sebagai rasul, lalu kalian waktu itu berkata ; 'engkau dusta', tetapi Abu Bakar berkata, 'engkau benar’. Dia membantuku dengan jiwa dan hartanya. Pantaskah kiranya kalian membiarkan sahabatku ? Beliau mengucapkannya dua kali. Setelah itu Abu Bakar tidak pernah disakiti." (HR. Bukhari)

Sikap para sahabat itu sesuai dengan firman Allah SWT :
إنَّ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوْاْ إِذَا مَسَّهُمْ طَٰئِفٌ مِّنَ ٱلشَّيْطَٰنِ تَذَكَّرُواْ فَإِذَا هُم مُّبْصِرُونَ
"Sesungguhnya. orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa waswas dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka seketika itu juga mereka melihat (kesalanan-kesalahannya)." (Al-A 'raf : 201)

RELA MENGAKUI KESALAHAN DAN SANGGUP MEMPERBAIKINYA

 


Lidah bisa melukai hati orang tanpa melukai badan. Luka hati meninggalkan bekas, tidak mudah hilang kecuali di kalangan muttaqin, yang selalu ingat akan kebaikan orang lain terhadap dirinya, dan tidak lupa berutang budi pada orang lain, bahkan dengan ikhlas ia melupakan segala jasa dan kebaikan yang pernah ia berikan kepada orang Iain.

Bila suami istri berakhlak seperti itu, maka rumah tangganya akan menjadi surga dunia. Sebaliknya, bila mereka rajin menghitung hitung jasa dan kebaikan dirinya kepada orang lain, maka rumah tangga atau persahabatannya akan kehilangan mawaddah wa rahmah, dan akan tumbuh dengan subur kebencian dan kedengkian, pada saat seperti itu pihak ketiga ikut meniup-niupkan api permusuhan.

Sayidina Umar adalah seorang sahabat yang dikatakan oleh Rasulullah bahwa setan segan untuk mengganggunya. Ia seorang yang kuat dan keras, tetapi ia tetap manusia. Sewaktu ia tersinggung oleh ucapan Abu Bakar, hatinya luka, ia pulang, dan Abu Bakar ditinggalkannya untuk menjaga agar luka hatinya tidak bertambah parah. 

Kesempatan itu tidak dijadikan oleh setan untuk diadudombakan. Abu Bakar menyesal, salah atau benar tindakan dan sikap dirinya tidak menjadi pertimbangan yang nyata.

Abu Bakar pergi ke rumah Umar untuk minta maaf, sebab ia merasa bersalah. Dia tidak membiarkan perasaan buruk itu menghantui dirinya sendiri, sebab hati nurani itu selalu jujur, ia mengakui kesalahan dan kekeliruannya sekalipun lidahnya memungkiri.

Yang penting bukan cinta tapi dicintai. Kecintaan yang tidak mendapatkan balasan akan beralih menjadi azab, menjadi siksaan batin, sebab yang menjadi kenikmatan itu adalah dicintai orang, dan yang mendorong untuk berkorban adalah kecintaan.

Abu Bakar merasa tersiksa batinnya tatkala ia ditolak oleh Umar. Umar tidak mau memberi maaf kepadanya.


Bersambung…….

Kamis, 06 Oktober 2022

Pemandangan-pemandangan Akhirat

 


Pada shalat Shubuh hari ini sang Imam membaca surah Al-A'raf ayat 44 sampai 51. 

Untuk ayat-ayatnya silahkan dibaca di mushaf masing-masing, dan renungj kandungannya dalam-dalam. 

Ayat-ayat di atas menceritakan beberapa gambaran yang diberitakan Allah tentang kondisi pada hari kiamat nanti. Ada penghuni jannah yang menyeru penduduk neraka; ada Ashhabul A'raf yang menyapa penghuni jannah dan mengucapkan selamat kepada mereka karena sudah berada di negeri penuh kenikmatan; dan terakhir ada permintaan penduduk neraka kepada penghuni jannah. 

Semua gambaran di atas wajib kita imani. Karena Allah yang menceritakannya dalam Al-Qur'an, sekalipun akal kita 'belum' bisa mencerna 'kaifiyah' (tata cara) dialog antar mereka. Tetapi kita mengimani bahwa kelak dialog antar mereka betul-betul terjadi. 

Pertama-tama ayat 44-45 menceritakan tentang seruan penghuni jannah kepada penduduk neraka; apakah janji Rabb mereka itu benar? Dan penduduk neraka menjawab, benar. Lalu ada malaikat yang menegaskan bahwa laknat Allah bagi orang-orang yang zhalim (para penduduk neraka).

Kemudian ayat 46-49 menceritakan bahwa Ashhabul  A'raf -yang menurut sebagian pendapat, mereka adalah orang seimbang antara kebajikan dan keburukannya. Semoga kita tidak masuk golongan ini-- berada di antara dua tempat; jannah dan neraka. Mereka bisa melihat jannah dan neraka. Ketika mengenal penghuni jannah mereka memberikan ucapan selamat dan ketika melihat penduduk neraka mereka berdoa agar tidak dikumpulkan bersama orang-orang yang zhalim.

Dan kisah Ashhabul A'raf ini memberikan faidah secara halus, yaitu bahwa ketika di akhirat pun kita tetap menghajatkan sikap harap dan rasa takut. Kedua sikap ini dimiliki oleh Ashhabul A'raf.

Sikap harap yang ditunjukkan oleh Ashhabul A'raf terlihat pada ayat, لم يدخلوها وهم يطمعون.  Mereka punya harapan besar untuk masuk jannah, sekalipun mereka belum bisa memasukinya. Mereka sangat berharap bisa masuk jannah karena penduduknya mendapatkan semua jenis kenikmatan yang tak terlukiskan.

Dan rasa takut Ashhabul A'raf ditunjukkan oleh ayat, ربنا لا تجعلنا مع القوم الظالمين.  Ini adalah pinta mereka kepada Allah agar tidak dikumpulkan bersama kaum yang zhalim, orang-orang kafir yang menjadi penghuni neraka. Mereka takut jika dikumpulkan bersama mereka karena besarnya siksa yang  dialami mereka. 

Dan yang terakhir adalah adegan yang paling membuat kita merinding ketakutan, yaitu tentang permintaan penduduk neraka kepada penghuni jannah. Mereka meminta dengan memelas belas kasihan,

  أن أفيضوا علينا من الماء أو مما رزقكم الله

"Tuangkanlah (sedikit) air kepada kami, atau rizki apa saja yang tepah dirizkikan Allah kepada kalian."

Subhanallah! Lihatlah betapa nestapanya penduduk neraka -wal 'iyadzu billah, wanas'alullahal 'afiyah-. Mereka meminta diberi minum. Karena minuman mereka di neraka adalah _hamim_, air panas yang mendidih yang kalau diminum akan memotong usus-usus mereka. 

Dan penduduk neraka juga minta diberi makanan. Karena makanan mereka di neraka adalah zaqqum, sebuah pohon yang mengakibatkan derita yang luar biasa bagi yang memakannya. 

Minuman dan makanan penduduk neraka ini memang bukan minuman dan makanan biasa. Ia adalah minuman dan makanan yang menyiksa, yang tidak menghilangkan rasa dahaga dan tidak melenyapkan rasa lapar. 

Maka, ketika membaca ayat ini, Abdullah bin Umar bin Khattab Radhiyallahu 'anhuma menangis ketika hendak berbuka dalam puasanya. Karena teringat bahwa pinta penghuni neraka adalah seteguk air minum dan secuil makanan. 

Maka, sesekali ketika kita berbuka, hadirkan permintaan penduduk neraka ini. Hayati dan renungilah, kemudian syukurilah nikmat iman yang Allah berikan, lalu beristiqamahlah. 

Permintaan penduduk neraka juga menunjukkan tentang kehinaan dunia. Sehingga, Allah masih memberikan 'seteguk-dua teguk' nikmat dunia kepada orang-orang kafir. Tetapi di akhirat kelak mereka tidak mendapatkan apa-apa. _Wallahu a'lam bish shawab_

DO'A TAK MANJUR GARA-GARA TELUR


 Ketika Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi berhasil menguasai ‘Iraq, tidaklah ia menugaskan seseorang untuk menjabat di sana dan mengatur rakyat ‘Iraq melainkan tidak berumur panjang. 

Orang-orang ‘Iraq yang tidak rela dengan kezhaliman yang merajalela mendoakan kebinasaan bagi siapa saja yang menjadi wakil Hajjaj di ‘Iraq. Hajjaj pun memutar otak liciknya. Hajjaj meminta seluruh penduduk ‘Iraq untuk memberinya masing-masing sebutir telur ayam dan meletakkannya di beranda masjid Jami’. Dikatakannya, ia sangat membutuhkannya. 

Penduduk ‘Iraq menganggapnya sebagai sesuatu yang sepele dan bukan merupakan kemungkaran. Mereka merasa tidak punya alasan untuk menolaknya. Maka berbondong-bondong mereka menuju masjid Jami’ dengan sebutir telur di tangan masing-masing. Tanpa menaruh curiga sedikit pun mereka meletakkan telur-telur itu begitu saja di beranda masjid.

Setelah semua orang meletakkan telur-telur yang mereka bawa, Hajjaj melancarkan siasat busuknya. Dikatakannya, ia berubah pikiran. Dia tidak butuh telur-telur ayam itu. Dia mempersilakan penduduk ‘Iraq untuk membawa pulang telur-telur itu. 

Beribu tanya berlompatan di hati penduduk ‘Iraq. Apa gerangan maunya si pendosa durjana itu. Dengan mulut terkunci atau sekedar bisik dan gumam, masing-masing pulang dengan membawa sebutir telur. Mereka pikir, jika yang diambilnya bukan telur miliknya, pastilah itu telur milik saudaranya yang pasti merelakannya barang miliknya tertukar.

Dari kejauhan, Hajjaj memandang kepulangan penduduk ‘Iraq dengan tersenyum puas. Pendosa itu tahu, rencananya berhasil tanpa cela. Dia lega. Kini ia bisa menjanjikan keselamatan bagi siapa saja yang menjadi wakilnya, tanpa takut doa dan kutukan penduduk ‘Iraq.

Sampai di rumah masing-masing, penduduk ‘Iraq belum menyadari bahwa Hajjaj telah berhasil menipu mereka. Mereka menjalani hari-hari seperti biasa. Dan seperti biasa pula mereka mendoakan kebinasaan wakil si pendosa durjana yang duduk di kursi tertinggi di ‘Iraq.

Hari berganti pekan, pekan berganti bulan, penduduk ‘Iraq menunggu kebinasaan penguasa baru itu. Namun, kabar kematian yang biasanya tak pernah mereka tunggu lama tak kunjung tiba. 

Mereka mulai mawas diri. Mereka menginstropeksi diri. Mereka pun menyadari bahwa mereka telah ditipu mentah-mentah oleh Hajjaj. Mereka kalah siasat. Telur yang mereka bawa pulang yang kemudian mereka rebus atau goreng beberapa waktu yang lalu, mereka pastikan bukan telur milik mereka. Telur syubhat telah menghalangi pengabulan doa-doa mereka. Tapi apalah daya, nasi telah menjadi bubur. Sesal kemudian tiada guna. Tinggal kesabaran menghadapi kezhaliman Hajjaj yang dapat mereka hadirkan.

Akidah tentang Makanan Halal

Mengomentari kisah di atas, Ibnul Haj (737 H.) berkata, “Karena hal inilah hari ini kezhaliman merata. Banyak doa dipanjatkan agar para pelakunya binasa, namun sedikit sekali yang dikabulkan jika bukan malah tak ada… sekiranya penduduk suatu negeri selamat dari keadaan itu lantas berdoa, niscaya doa mereka dikabulkan.”

Ahlussunnah menjadikan perkara makan yang halal ini sebagai salah satu akidahnya. Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Sesungguhnya ada hamba-hamba Allah yang karenanya Allah menghidupkan negeri dan memberi hidup untuk penghuninya. Mereka adalah para pengikut Sunnah. Barangsiapa yang memastikan apa pun yang memasuki rongga perutnya adalah makanan yang halal, dia termasuk hizbullah, golongan Allah ta’ala.”

Ibnu Rajab, mengomentari pernyataan Fudhail, berkata, “Yang demikian itu karena makan yang halal adalah perkara terpenting yang dijaga oleh Nabi saw dan para sahabat.”

Syaikh ash-Shabuni menyifati Ahlulhadits dan Sunnah, bahwa mereka adalah orang-orang yang bersikap ‘iffah dalam urusan makanan, minuman, pernikahan, dan pakaian.


Abu Hurayrah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Baik dan Allah tidaklah menerima amalan kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kaum mukminin sebagaimana perintah-Nya kepada para Rasul. ‘Wahai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ (Al Mu’minun: 51) 

Allah juga berfirman, 

‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.’ (Al-Baqarah: 172) 

Setelah itu Rasulullah menceritakan keadaan seseorang yang telah lama bepergian, rambutnya kusut penuh dengan debu. Dia menengadahkan kedua tangannya ke arah langit sembari berdoa, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku,’ padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya juga haram, serta ia dibesarkan dari yang haram. Lantas bagaimana mungkin doa yang ia panjatkan akan dikabulkan?’.”

Berkenaan dengan hadits ini Ibnu Rajab menulis, “Salah satu faktor terbesar tercapainya amal yang baik bagi seorang mukmin adalah kebaikan makanannya: hendaknya makanan halal. Dengan makanan halal itulah amalnya menjadi bersih… 

Hadits ini pun mengisyaratkan, amal tidak akan diterima dan tidak bersih melainkan dengan hanya makan makanan yang halal. Juga, makanan haram merusak amal dan menghalangi penerimaannya.” Wallahu al-Muwaffiq


Mesin Jahit Ummu Jamil (Kisah Nyata)


 Kisah ini terjadi di Suria yang diriwayatkan oleh pemilik konveksi.

Aku adalah seorang pemilik konveksi dan aku memiliki seorang tetangga yang ditinggal mati suaminya dan suaminya meninggalkan tiga orang anak yatim. Pada suatu ketika janda itu mendatangi tempat kerjaku dan berkata kepadaku,

"Wahai Fulan, aku memiliki sebuah mesin jahit yang tadinya digunakan oleh suamiku dan aku ingin menafkahi anak-anak yatimku. Apakah aku boleh membawa mesin itu untuk kau sewa dariku agar aku mendapatkan pemasukan yang dapat aku pergunakan untuk menghidupiku dan juga keluargaku?"

Maka akupun malu terhadapnya dan rasa malu tidaklah mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan. Kukatakan kepadanya, "Dengan segala hormat, ambillah mesinmu itu kemari."

Ketika ia membawa mesinnya, kudapati bahwa model mesin itu sudah sangat kuno dan tidak mungkin akan aku gunakan selamanya!

Akan tetapi aku tak ingin menyakiti hati janda itu, maka aku bertanya, "Berapa uang sewa yang kau inginkan untuk mesin ini?"

Dia menjawab, "3.000 Lira."

Dan kisah ini terjadi sekitar 20 tahun sebelum perang.

Maka aku mengambil mesin itu dan berkata, "Jazākillāhu khairan ya Ukhtiy." Dan kuberikan kepadanya 3.000 Lira. Mesin itu aku letakkan di pojokan tempat kerja karena kami tak mengkin menggunakannya sama sekali.

Kami melalui kondisi seperti ini hingga 10 tahun. Ummu Jamil datang setiap bulan untuk mengambil uang sewa mesin jahit dalam keadaan mesin jahitnya berada dipojokan konveksi tidak digunakan, yakni kami tidak pernah sekalipun memanfaatkannya.

Setelah berlalu 10 tahun, kami berpindah dari tempat konveksi yang kecil menuju tempat kerja baru yang lebih besar di pinggiran kota. Dan ketika memindahkan barang-barang, aku katakan kepada para karyawan, "Apakah mereka membawa serta mesin jahit Ummu Jamil bersama kita?"

Kepala konveksi mengatakan, "Ustadz, kenapa kita perlu memindahkan juga mesin jahitnya Ummu Jamil?"

Kukatakan padanya, "Apa urusanmu, pindahkan saja sudah!"

Hari dan tahun terus bergulir dan setelah 10 tahun di tempat yang baru, terjadilah perang. Demi Allah, semua kawasan tempat konveksiku berada hancur lebur kecuali tempat kerjaku.

Karena sebab perang ini, aku kehilangan hubungan dengan Ummu Jamil. Kami sudah banyak berupaya namun tidak mengetahui keberadaannya. Setiap kali kami menelfonnya, selalu tidak aktif.

Kepala konveksi meninggalkanku untuk mengungsi ke Eropa. Setelah dua bulan dari kepergiannya, dia menghubungiku via telfon dan berkata, "Aku bermimpi dan aku ingin anda mendengarkan mimpiku."

Aku berkata, "Mimpi apa?"

Dia berkata, "Aku melihat dalam mimpi, ada seseorang yang menyeru, 'Katakanlah kepada Fulan, karena sebab keberkahan mesin jahit Ummu Jamil, kami jaga tempat konveksimu.'"

Kulitku merinding dan air mataku bercucuran. Kukatakan, "Alhamdulillah."

Demi Allah, tidak ada yang hilang dari konveksiku walaupun hanya sebuah jarum. Meskipun kawasan tempat konveksiku berdiri rata dengan tanah.

Dari kisah ini kita belajar bahwa, sungguh  jika Allah mencintai seorang hamba, akan Allah arahkan ia untuk membantu kebutuhan orang lain. Kepedulian kita terhadap orang miskin, lemah, kakek/nenek jompo, atau janda yg memiliki anak-anak yatim akan Allah balas dengan yang lebih baik, baik di dunia atau di akhirat. Atau dapat menjadi sebab Allah karuniakan kita kebahagiaan, penjagaan terhadap istri, anak-anak, dan cucu-cucu kita.

Berbuat baiklah semampu kita karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yg berbuat kebajikan.

Rabu, 05 Oktober 2022

Sebab Terjadinya Penyakit ‘Ain


 Ain terjadi karena adanya hasad (iri; dengki) terhadap nikmat yang ada pada orang lain. Orang yang memiliki hasad terhadap orang lain, lalu memandang orang tersebut dengan pandangan penuh rasa hasad, ini bisa menyebabkan penyakit ‘ain. Al Lajnah Ad Daimah menjelaskan:

وقد أمر الله نبيَّه محمَّداً صلى الله عليه وسلم بالاستعاذة من الحاسد ، فقال تعالى : ومن شر حاسد إذا حسد ، فكل عائن حاسد وليس كل حاسد عائنا

“Allah Ta’ala memerintahkan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam untuk meminta perlindungan dari orang yang hasad. Dalam Al Qur’an: ” … dan dari keburukan orang yang hasad” (QS. Al Falaq: 5). Maka setiap orang yang menyebabkan penyakit ain mereka adalah orang yang hasad, namun tidak semua orang yang hasad itu menimbulkan ‘ain” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 1/271).

Pandangan kagum juga bisa menyebabkan ‘ain. Dalam hadits dari Abu Umamah bin Sahl, ia berkata:

اغتسل أَبِي سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ بِالْخَرَّارِ، فَنَزَعَ جُبَّةً كَانَتْ عَلَيْهِ وَعَامِرُ بْنُ رَبِيعَةَ يَنْظُرُ، قَالَ: وَكَانَ سَهْلٌ رَجُلاً أَبْيَضَ، حَسَنَ الْجِلْدِ، قَالَ: فَقَالَ عَامِرُ بْنُ رَبيعَةَ: مَا رَأَيْتُ كَالْيَوْمِ وَلا جِلْدَ عَذْرَاءَ، فَوُعِكَ سَهْلٌ مَكَانَهُ، فَاشْتَدَّ وَعْكُهُ، فَأُتِي رَسُولُ الله – صلى الله عليه وسلم – فَأُخْبِرَ أَنَّ سَهْلاً وُعِكَ وَأَنَّهُ غَيرُ رَائِحٍ مَعَكَ يَا رسول الله، فَاَتَاهُ رَسُولُ الله – صلى الله عليه وسلم – فَأَخْبَرَهُ سَهْل بالَّذِي كَانَ مِنْ شَأنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ، فَقَالَ رَسُولُ الله – صلى الله عليه وسلم -: “عَلاَمَ يَقْتُلُ أًحَدُكمْ أَخَاهُ؟ أَلا بَرَّكْتَ؟، إِنَّ الْعَيْنَ حَقٌّ، تَوَضَّأْ لَهُ”. فَتَوَضَأَ لَهُ عَامِرُ بْنُ رَبِيعَةَ، فَرَاحَ سَهْل مَعَ رَسُولِ الله – صلى الله عليه وسلم – لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ

“Suatu saat ayahku, Sahl bin Hunaif, mandi di Al Kharrar. Ia membuka jubah yang ia pakai, dan ‘Amir bin Rabi’ah ketika itu melihatnya. Dan Sahl adalah seorang yang putih kulitnya serta indah. Maka ‘Amir bin Rabi’ah pun berkata: “Aku tidak pernah melihat kulit indah seperti yang kulihat pada hari ini, bahkan mengalahkan kulit wanita gadis”. Maka Sahl pun sakit seketika di tempat itu dan sakitnya semakin bertambah parah. Hal ini pun dikabarkan kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, “Sahl sedang sakit dan ia tidak bisa berangkat bersamamu, wahai Rasulullah”. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun menjenguk Sahl, lalu Sahl bercerita kepada Rasulullah tentang apa yang dilakukan ‘Amir bin Rabi’ah. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Mengapa seseorang menyakiti saudaranya? Mengapa engkau tidak mendoakan keberkahan? Sesungguhnya penyakit ‘ain itu benar adanya, maka berwudhulah untuknya!”. ‘Amir bin Rabi’ah lalu berwudhu untuk disiramkan air bekas wudhunya ke Sahl. Maka Sahl pun sembuh dan berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam” (HR. Malik dalam Al-Muwatha’ [2/938] dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah [6/149]).

Dalam hadits ini ‘Amir bin Rabi’ah memandang Sahl bin Hunaif dengan penuh kekaguman, sehingga menyebabkan Sahl terkena ‘ain.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:

وإذا كان العائن يخشى ضرر عينه وإصابتها للمعين، فليدفع شرها بقوله: اللهم بارك عليه

“Orang yang memandang dengan pandangan kagum khawatir bisa menyebabkan ain pada benda yang ia lihat, maka cegahlah keburukan tersebut dengan mengucapkan: Allahumma baarik ‘alaih” (Ath Thibbun Nabawi, 118).

Ain Bisa Terjadi pada Benda Mati

Para ulama mengatakan bahwa benda mati juga bisa terkena ‘ain. Benda mati yang terkena ‘ain bisa mengakibatkan rusak atau hancur secara tiba-tiba. Wa’iyyadzu billah. Dalam hadits, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa:

اللهم إني أسألك العفو والعافية في ديني ودنياي وأهلي ومالي

“Ya Allah, aku meminta ampunan dan keselamatan pada agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku” (HR. Abu Daud no.5074, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ إِنْ تَرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنْكَ مَالًا وَوَلَدًا

“Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “masyaAllah, laa quwwata illaa billah”. Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan” (QS. Al Kahfi: 39).

Para ulama menjadikan ayat ini dalil bahwa harta bisa terkena ain dan boleh diruqyah ketika terkena ‘ain. Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan:

قال بعض السلف: من أعجبه شيء من حاله، أو ماله، أو ولده فليقل: ما شاء لا قوة إلا بالله ـ وهذا مأخوذ من هذه الآية الكريمة

“Sebagian salaf mengatakan: orang yang kagum pada keadaannya atau hartanya atau pada anaknya, hendaknya ucapkan maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah. Ini diambil dari ayat yang mulia ini” (Tafsir Ibnu Katsir).

DOSA JARIYAH

 


 Jika ada amal jariyah maka pastilah ada pula yang namanya dosa jariyah. Sangat rugi, setelah mati kita terus membawa dosa jariyah, dosa yang senantiasa mengalir sampai hari kiamat

Semisal;

- Share video porno, itu tersebar setelah kamatiannya dan ia belum bertaubat. -wallahul musta'an-

- Share foto membuka aurat di media sosial dan tersebar serta dilihat oleh kaum lelaki dan publik secara umum -na'udzubillah-

 - Pernah mengajarkan keburukan dan memberi contoh yang menyimpang, ia belum bertaubat dan belum memperbaiki dan meluruskan ajaran yang telah tersebar. -innalillaahi wa innailaihi roji'un -

 -Dan dosa-dosa yang lain, yang menyebar dan berdampak kepada seluruh ummat 

 Perhatikanlah hadits berikut, Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda;

« ﻣَﻦْ ﺳَﻦَّ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡِ ﺳُﻨَّﺔً ﺣَﺴَﻨَﺔً، ﻓَﻠَﻪُ ﺃَﺟْﺮُﻫَﺎ، ﻭَﺃَﺟْﺮُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻬَﺎ ﺑَﻌْﺪَﻩُ، ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻘُﺺَ ﻣِﻦْ ﺃُﺟُﻮﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻲْﺀٌ، ﻭَﻣَﻦْ ﺳَﻦَّ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡِ ﺳُﻨَّﺔً ﺳَﻴِّﺌَﺔً، ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭِﺯْﺭُﻫَﺎ ﻭَﻭِﺯْﺭُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِﻩِ، ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻘُﺺَ ﻣِﻦْ ﺃَﻭْﺯَﺍﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻲْﺀٌ 

_“Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang hasanah (baik) dalam Islam maka baginya pahala dari perbuatannya itu dan pahala dari orang yang melakukannya sesudahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun._ _*Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang buruk, maka baginya dosanya dan DOSA ORANG YANG MELAKUKAN SESUDAHNYA, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.”*_ (HR. Muslim: 1017)

Demikian juga ancaman Allah -azza wajalla- yang keras;

ﻟِﻴَﺤْﻤِﻠُﻮﺍ ﺃَﻭْﺯَﺍﺭَﻫُﻢْ ﻛَﺎﻣِﻠَﺔً ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﻭَﻣِﻦْ ﺃَﻭْﺯَﺍﺭِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﻀِﻠُّﻮﻧَﻬُﻢْ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﺃَﻟَﺎ ﺳَﺎﺀَ ﻣَﺎ ﻳَﺰِﺭُﻭﻥَ

_“Mereka akan memikul dosa-dosanya dengan penuh pada Hari Kiamat, dan *MEMIKUL DOSA-DOSA ORANG YANG MEREKA SESATKAN*, yang tidak mengetahui sedikit pun (bahwa mereka disesatkan)._ (QS. an-Nahl: 25)

 Mujahid -rahimahullah- menafsirkan ayat ini, beliau berkata:

_“Mereka menanggung dosa mereka sendiri dan dosa orang lain yang mengikuti mereka. Mereka sama sekali tidak diberi keringanan azab karena dosa orang yang mengikutinya._ Tafsir Ibnu Katsir, 4/566

Sadarlah! Kehidupan kita di dunia ini pasti akan memberikan DAMPAK setelah kita mati dan meninggalkan jejak-jejak..

_*Entah itu jejak kebaikan atau jejak keburukan !!*_

Dampak inilah yang dimaksud dalam ayat-Nya:

_“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati, dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan, dan bekas-bekas (dampak) yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).”_ (QS. Yasin: 12)

 Cara bertaubat dari dosa jariyah, yaitu;

 1. Dengan cara bersungguh-sungguh bertaubat

 2. Jika sudah menyebarkan kejelekan, maka berusaha menghilangkannya dan mencarinya untuk segara dihapus.

 3. Jika sudah mengajarkan, maka berusaha memperbaiki dan menyebarkan klarifikasi (koreksi) dari kesalahan yang telah ia sebar.

 4. Jika sudah bertaubat, maka sudah tidak ada dosa lagi -InsyaaAllah-.

Sebagaimana dalam hadits:

ﺍﻟﺘﺎﺋﺐ ﻣﻦ ﺍﻟﺬﻧﺐ ﻛﻤﻦ ﻻﺫﻧﺐ ﻟﻪ

_“Orang yang telah bertaubat dari dosa-dosanya (dengan sungguh-sungguh) adalah seperti orang yang tidak punya dosa“._

(HR. Ibnu Majah: 4250, dihasankan oleh Syeikh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah)

Jika sudah berusaha mencari, tapi yang kita sebarkan tidak ditemukan, semoga ini dimaafkan karena sudah di luar kemampuan hamba dan bertakwa semampu kita:

Allah berfirman,

ﻻَ ﻳُﻜَﻠِّﻒُ ﺍﻟﻠّﻪُ ﻧَﻔْﺴًﺎ ﺇِﻻَّ ﻭُﺳْﻌَﻬَﺎ

_“Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya.”_ (Al-Baqarah ayat 286)

Wallaahua'lam...