Minggu, 23 Oktober 2022

Batasan wanita muslimah dengan wanita muslimah lainnya.


 Dalam sebuah hadis yang Shahih, Rasulullah Saw bersabda, "Tidak diperbolehkan bagi orang laki-laki melihat aurat laki-laki dan wanita melihat aurat wanita. Dan, tidak boleh seorang laki-laki dengan orang laki-laki lain dalam satu selimut dan wanita dengan wanita lain dalam satu selimut." (HR Muslim).

Imam Nawawi menjelaskan larangan dalam hadis tersebut bersifat mutlak. Sabda Rasulullah SAW mengenai "wanita bergabung dengan wanita lain dalam satu selimut" adalah larangan tidur bersama dalam satu selimut tanpa memberinya pembatas dan menimbulkan adanya sentuhan tubuh meski mereka sesama wanita.

Ibnu Qudamah dalam Al Mughni juga menguatkan pendapat tentang batasan aurat wanita di hadapan wanita muslimah adalah dari pusar hingga lutut. "Aurat seorang wanita yang wajib ditutupi di depan kaum wanita lainnya, sama dengan aurat lelaki di depan kaum lelaki lainnya, yaitu daerah antara pusar hingga  lutut,"

Jadi batas aurat wanita di hadapan wanita lain cukup antara pusar hingga lutut. Baik wanita itu ibu, saudari perempuan atau wanita asing (muslimah), kecuali dalam kondisi terpaksa saja. Atau keperluan yang sangat seperti pengobatan dan semisalnya. Dalam keadaan lain atau saat hanya berbincang2 dan berkumpul hendaknya mereka menutup aurat dengan biak sama seperti di hadapan orang yang bukan mahramnya.

Syekh Nasiruddin Al Albani juga berpendapat dalam kehati-hatiannya dalam masalah aurat wanita di hadapan wanita muslimah, ia menerangkan bahwa batasannya adalah apa-apa yang biasa diberi perhiasan pada tubuhnya. Yakni kepala, telinga, leher, bagian atas dada yang biasa  diberi kalung, hasta dengan sedikit lengan atas yang biasa diberi hiasan lengan, telapak kaki, dan bagian bawah betis yang biasa diberi gelang kaki. Dan menurut ku pendapat ini lebih menjaga diri kita dari mawas yang memang sudah terbiasa menutup aurat dan masih memiliki rasa malu. 

Jumhur fuqaha selain mazhab hanbali bersepakat bahwasanya batasan aurat muslimah didepan wanita non muslimah seperti batasan didepan laki-laki asing yang bukan mahramnya.

Hal itu di jelaskan berdasarkan dalil:

ولا يبدين زينتهن  الا ما ظهر منَّا  الا لبعولتهن… آو نسا ئِن

Dan mereka (para wanita) tidak diperbolehkan menampakkan perhiasan mereka kecuali yang nampak darinya, kecuali didepan suami-suami mereka… atau wanita-wanita mereka. (Qs. An-Nur:31) 

Imam Ath-Thabari dalam tafsirnya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan wanita-wanita mereka adalah wanita-wanita muslimah bukanlah wanita non muslimah. Ibnu Katsir juga berpendapat sama mengenai penafsiran yang di maksudkan dengan wanita-wanita itu adalah wanita muslimah adapun di depan wanita non muslimah tidak di perbolehkan. Hal itu ia jelskan karena ditakutkan mereka wanita non muslim akan menceritakan aurat wanita muslimah kepada suaminya dan wanita non muslim lainnya. 

Namun ada beberapa ulama syafi’iyah yang memang membolehkan seorang wanita non muslimah untuk melihat aurat wanita muslimah ketika mereka bermitra dalam sebuah pekerjaan, karena pada dasarnya mereka satu jenis.

Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni menerangkan bahwa dahulu para istri nabi sering didatangi wanita-wanita yahudi dan wanita-wanita non muslimah lainnya, dan mereka tidak berhijab didepan wanita-wanita tersebut. Kalau memang di takutkan munculnya syubhat maka lebih baik untuk wanita muslimah menutup auratnya di depan wanita non muslim.

#Batasan aurat wanita di dalam shalat

Para ulama telah bersepakat bahwa hukum menutup aurat ketika shalat adalah wajib, berdasarkan dalil:

خذوا زي نتكُ عند ك مسجد

pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid. (QS Al-A’raf :31)

Menurut Ibnu ‘Abas yang dimaksud dengan zinah dalam ayat tersebut adalah pakaian shalat. 

Juga dalam hadits nabi Muhammad Saw:

"Allah tidak menerima shalatnya seorang perempuan yang sudah haidh (baligh) kecuali dengan khimar (penutup kepala)." (HR Abu Daud dan Tirmidzi)

Imam  Asy-Syilbi  dalam Hasyiyahnya menjelaskan syarat pakaian shalat bagi seorang wanita, yaitu tidak tipis dan transparan sehingga memperlihatkan aurat dibalik pakaian tersebut. 

Lalu bagaimana hukum mengenai mukenah?Sebetulnya mukenah itu hanya adat saja di Indonesia. Adapun ketika memakai pakaiannya lalu melaksanakan sholat itu tidak apa2. Dengan syarat bahwa baju yang ia kenakan mampu mencukupi syarat tertutupnya aurat dengan baik yaitu seluruh badan kecuali telapak tangan dan wajahnya. Adapun mukenah itu bernilai positif untuk lebih menyempurnakan auratnya yang kurang tertutup ketika hendak melaksanakan sholat (gamisnya kurang panjang karena di takutkan kakinya akan tersingkap, lengannya juga di takutkan tersingkap ketika posisi takbir, dan lainnya). Namun di sisi lain justru banyak yang salah mengartikan tentang makna mukenah itu sendiri akhirnya banyak yang ketika selesai melaksanakan sholat aurat mereka masih terumbar di depan ajnabi. Mereka memaknai arti menutup aurat hanya sebatas ketika shalat saja.

Adapun untuk laki-laki, mazhab Maliki memandang bahwa menutup aurat dalam shalat hukumnya sunah, menurutnya kata zinah dalam ayat diatas juga berartikan pakaian. 

Selain itu terdapat hadits yang menceritakan bahwa rasulullah dan para sahabat shalat, sedangkan mereka hanya mengenakan kain yang diikatkan dileher mereka, dan mereka melarang para wanita untuk bangkit dari sujud sampai para sahabat menyempurnakan duduk mereka, hal ini untuk menghindari terlihatnya aurat para sahabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar