Tahun 1985 sebagai ABG saya menatap layar tv malam-malam. Bersama bapak menonton final Liga Champion yang mempertemukan dua raksasa bola daratan Eropa; Juventus dari Italia, melawan Liverpool dari Inggris. Dua tim ini sedang gacor-gacornya di liga masing-masing dan di pentas Eropa. Saya menonton karena kepincut dengan permainan The Reds dan kelincahan striker mereka asal Wales, Ian Rush.
Tontonan itu tidak lagi menghibur, tetapi malapetaka. Kita semua tahu, Stadion Heysel, Belgia, menjadi saksi kerusuhan besar antar suporter. Hooligan dari Inggris diduga jadi pemicu konflik. Ratusan luka, 39 meninggal. Itu jumlah besar kala itu.
Setelah itu semua klub Inggris dibanned dari kancah pertarungan internasional. Liga Inggris pun terkucilkan. Tidak ada lagi gemuruh para hooligan di stadion-stadion Eropa.
Namun, setelah tragedi Heysel penyelenggara sepak bola di Eropa berbenah. Bukan saja memperketat penonton, tetapi juga menata stadion dan sistem keamanan. Liga Inggris sejak tragedi Hillsborough di tahun 1989, dimana puluhan penonton terluka dan tewas karena tergencet sesama penonton ke pagar pembatas, maka semua stadion menghilangkan pagar pembatas antara tribun dengan lapangan.
Mengapa Eropa berbenah setelah insiden Heysel? Pertama, soal kemanusiaan. Tragedi itu bagaimana pun memilukan dan memukul banyak penggemar sepak bola. Banyak berita menyentuh dari keluarga korban dan sesama suporter tentang kawan mereka yang mati.
Kedua, soal uang! Sepak bola hari ini adalah mesin industri yang alirkan uang bukan hanya untuk pemain, tetapi pemilik klub dan semua organisasi sepakbola di dunia, termasuk UEFA dan juga FIFA. Menurut catatan situs statista[dot]com organisasi bola Eropa UEFA revenue yang mereka dapatkan dari musim 2020/21 mencapai 5.7 million euros alias 88 triliun rupiah lebih! (UEFA revenue 2004-2021 | Statista). Jadi, kalau ada liga yang macet atau bermasalah, dampaknya juga pada kocek mereka.
Karena itu, mereka berusaha seprofesional mungkin jalankan kompetisi. Cegah kerusuhan dan cegah sepak bola ‘gajah’. Namun, tetap saja tidak bisa menghentikan praktik korupsi di sana. Tahun 2019, Presiden UEFA juga mantan bintang Prancis dan Juventus, Michael Platini ditangkap dan diadili di Swiss bersama mantan Presiden FIFA Sepp Blatter. Keduanya terlibat skandal suap, korupsi, dan pencucian uang.
Para pengelola kompetisi juga sering dituding mata duitan oleh klub dan para pemain. Sebabnya, mereka terus buat berbagai kompetisi dan peraturan baru yang menguntungkan para penyelenggara, tetapi menjadi beban untuk klub dan terutama para pemain.
Kiper timnas Belgia, Thibout Courtois terang-terangan menyebut UEFA mata duitan karena menggelar UEFA Nations League sampai perebutan peringkat ketiga. Padahal UEFA sudah punya hajatan liga Champions juga Piala Eropa. Siapapun paham setiap pertandingan adalah mesin uang untuk para pejabat UEFA. Benar, pemain juga dapat uang, tetapi mereka seperti budak yang bertarung di arena gladiator yang bertarung secara maraton. Tidak heran para pemain top dunia rawan cedera dan ujungnya dibuang dari klub dan timnas.
Sepak bola juga kanal emosi dan ikatan identitas yang rapuh yang kita kenal dengan nama supporter. Para pendukung klub bisa terikat begitu kuat bahkan mengalahkan nasionalisme mereka dan bisa begitu rasis. Walaupun para pemain bola bisa berada dalam satu timnas, tetapi kalau sudah berada di klub masing-masing, maka para supporter bakal terbelah. Bahkan bisa begitu sengit bermusuhan. Di Inggris, rivalitas Liverpool dan Manchester United begitu sengit walaupun para pemain nasional kedua tim bisa main bareng di three lions.
Para pendukung klub bola ini bisa begitu rasis pada pemain lawan dan pendukungnya. Kalau di antara pembaca pernah menyaksikan para pendukung klub bola A atau B yang sering disebut musuh bebuyutan, ada saja chant-chant yang sering dinyanyikan berisi sumpah serapah untuk klub rival mereka. Ini berlaku bukan saja di dalam negeri, di luar negeri juga sama saja.
Apalagi sepakbola diakui atau tidak jadi kanal emosi yang dianggap menghibur warga pendukung. Pantas bila klub kesayangan mereka kalah, emosi itu meluap dan bisa bertransformasi jadi ledakan amarah. Sudah tidak terhitung kerusuhan di dalam ataupun di luar stadion karena tim mereka keok.
Maka olahraga ya mestinya olahraga saja, jangan menjadi satu identitas yang meluapkan energi negatif seperti permusuhan, ashabiyyah/fanatisme klub, rasis, dan diskriminatif apalagi anarkisme. Dalam agama hukumnya haram dan bisa memecah belah kerukunan. Herannya, tidak ada ulama di tanah air yang berkomentar soal ini secara terbuka. Bahwa fanatisme klub bola itu berbahaya, jauh lebih bahaya dari radikalisme. Mereka yang sering disebut kaum ‘Islam radikal’ belum pernah membunuh orang lain yang berbeda ormas, merusak fasilitas umum, dsb. Namun, mengapa belum ada ulama yang secara terbuka serukan haramnya fanatisme klub bola dan membuat dharar pada lingkungan dan masyarakat?
Bicara tragedi Kanjuruhan, Malang, yang tewaskan lebih dari 120 warga, juga menunjukkan kecerobohan negara. Bukannya melindungi warga, aparat keamanan malah membuat warga panik dengan tembakan gas air mata ke tribun penonton. Orang dewasa, anak-anak, lelaki, perempuan, ibu-ibu berhamburan mencari jalan keluar. Sesak nafas, jatuh, terinjak, dan tergencet.
FIFA sudah membuah panduan bagi pihak keamanan stadion dengan ‘mengharamkan’ senjata api dan gas air mata. FIFA belajar dari tragedi 1964 di Peru. Ketika aparat menembakkan gas air mata ke arah penonton menyebabkan tiga ratus lebih warga tewas. Herannya, kepolisian dari Polda Jawa Timur dengan mantap menyatakan bahwa penggunaan gas air sesuai protap. Penonton bertanya, protap yang mana? Apakah disamakan protap hadapi perusuh dengan penonton di tribun, karena gas air mata justru ditembakkan aparat ke arah tribun? Padahal, tahun 2019, ketika Arema bertemu Persebaya ada kesepakatan aparat keamanan tidak akan gunakan gas air mata.
Apakah kepolisian lupa kalau penonton itu beragam usia; ada anak-anak, ibu-ibu, wanita, tidak semua lelaki dewasa? Apakah aparat juga lupa tidak mudah bagi ratusan apalagi ribuan penonton berebut ke pintu keluar di jalur yang sempit? Apalagi di stadion Kanjuruhan ternyata sebagian pintu masih tertutup? Faktanya korban tewas bukan karena serangan para perusuh, tetapi karena kepanikan yang disebabkan tembakan gas air mata.
Jadi, persoalan sepak bola, khususnya di tanah air itu mbuled. Saya duga kuat tidak ada yang mau bertanggung jawab, mundur dari jabatan, apalagi diseret ke pengadilan. Apalagi aparat kepolisian kelihatan akan bersikukuh mereka sudah jalankan prosedur pengamanan dengan benar. Sulit di negeri ini mencari pejabat dan perwira yang gentle mau bertanggung jawab sementara ratusan warga sudah meregang nyawa. Jangankan 120-an nyawa penonton, kasus 894 nyawa petugas KPPS saja pemerintah tidak mau mengusutnya.
PSSI? Ah, apalagi. Sudah capek penggemar sepak bola melihat sepak terjang para pengurus PSSI. Sudah banyak kritik tajam dan keras bahkan sarkas pada PSSI, tetapi mereka bergeming. Tragedi Kanjuruhan tidak bakal terjadi kalau supervisi dilakukan ketat oleh PSSI, soal penjualan tiket lebihi kapasitas penonton, briefing dengan aparat keamanan soal larangan penggunaan gas air mata dan kekerasan pada penonton, dan PSSI berani menunda atau bahkan membatalkan pertandingan bila itu semua tidak dipatuhi. Tapi, ya sudahlah.
Makanya, sulitlah tragedi Kanjuruhan ini ada titik terang, apalagi ada yang diseret ke pengadilan. Paling gampang menyalahkan supporter. Dan itu sudah dilakukan oleh mereka hanya beberapa jam setelah kerusuhan terjadi.
Di sisi lain, olahraga itu harusnya sekadar olahraga untuk kesehatan dan melatih ketrampilan kaum muslimin. Selain itu, dalam kehidupan Islam, agenda-agenda seperti ini tidak memberikan manfaat kecuali hiburan dan uang untuk para pengusaha dan pengelola olahraga yang mata duitan kapitalistik. Dalam kehidupan Islam, umat akan diarahkan untuk aktivitas produktif; mengembangkan ilmu pengetahuan, tsaqafah, dakwah, dan jihad di jalan Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar