Minggu, 13 Mei 2018

Black Comedy



Saya tidak asing dengan hiburan, apalagi stand-up comedy, sebelum ramai di Indonesia, sering pula saya mendengar comedian luar negeri, terutama Amerika

Di dalam Islam, bercanda boleh selama tidak berdusta, bahkan dalam acara diselipkan candaan hingga peserta kajian tidak bosan dan suasana jadi hidup

Tertawa bukan dilarang, asal tidak terlalu banyak hingga jadi mematikan hati, dalam urusan yang satu ini, kawan saya bilang, itu membahagiakan orang

Hanya kita harus tahu, di Amerika yang diklaim asalnya, stand-up comedy memang menjadi media kritik sosial, selain ditujukan untuk menghilangkan ketegangan

Para comedian itu lalu menjadikan joke (gurauan) mereka jadi semisal edukasi sosial, tentang isu-isu yang mereka anggap salah, lalu menawarkan seharusnya

Kita tahu, kebanyakan orang Amerika tak percaya Tuhan, atau tak percaya agama, maka sebagian besar komedian pun begitu, jiwa seni mereka menolak dibatasi agama

Tak jarang mereka jadikan agama sebagai bahan olok-olokan lalu ditertawakan bersama-sama, tentu Kristen dan gerejawan adalah menu utama mereka

Mereka menganggap, agama adalah sumber masalah, yang menyebabkan manusia jadi tidak maju, pembodohan terhadap manusia dengan doktrin-doktrinnya

Sebab bagi kebanyakan komedian, adalah absurd untuk percaya pada agama, bahkan bodoh. Mereka banyak mendewa-dewakan sains dan kemanusiaan

Mereka dikenal dengan "Black Comedian", bukan karena kulit mereka hitam, tapi materinya dianggap "hitam", yaitu bicarakan yang tabu dan menghina agama

Karena itu saya tak heran, kebanyakan stand-up comedian di Indonesia memiliki paham yang sama, kiblatnya sama, hanya tak sebebas orang Amerika dalam mengekspresikan

Saran saya, ketimbang mengikuti dan mendengar lawakan mereka yang samasekali tak peduli pada agama, bahkan jadikan itu sebagai lawakan, tinggalkan saja

Masih banyak hiburan yang bermanfaat, misalnya kajian UstadzAbdulSomad bisa lucu tapi sarat ilmu dan manfaat, nge-fans ulama, malah buat selamat..

Jumat, 11 Mei 2018

KEMENANGAN YANG MEMBAHAGIAKAN




“Cara terbaik mengalahkan orang lain, adalah dengan mengalahkan keramahannya”

Hampir tak percaya rasanya, kalimat mutiara ini keluar dari seorang yang dulunya sangat kasar, preman pasar, beberapa kali menang dalam duel di pasar Ukaz. Islam telah merubahnya. Namanya Umar bin Khattab ra. Dialah pemilik peribahasa ini.

Sangat benarlah kesimpulan beliau dalam mengenal agama Islam ini. Dulunya, tentu Umar ra adalah orang yang senang mengalahkan orang lain. Duel, adalah ladang pembuktian. Kebahagiaan sang petarung, pastinya saat melihat lawannya jatuh bersimbah darah, sambil tangannya melambai-lambai tanda menyerah.

Saat itu, dalam hati sang petarung, akan bersorak “yeaaaay aku menang, aku menaaaaang.... yeeeaaah” sambil terbayang butiran-butiran kertas warna warni menghias turun dari langit, disambut dengan lighting yang indah dan menawan, tos kanan kiri para pengikut dan pengagum.

Saya pun begitu. Walaupun bukan dalam duel fisik, saya suka duel kata-kata. Berdebat dan adu mulut. Dulu sebelum mengenal ilmu Magnet Rezeki, rasanya bahagia sekali melihat orang lain “terkapar” menyerah dengan kalimat-kalimat argumentasi dan logika yang saya paparkan.

Di sisi saya, bersorak senang saat menang. Ya, saya sudah berhasil mengalahkannya, I am the winner. Kemenangan itu rasanya manis di awalnya, tapi seiring waktu, kemenangan itu akan hambar dan hilang menguap. Berganti dengan kepiluan dan rasa hampa.

Memang, orang yang saya kalahkan biasanya mundur teratur. Saya lihat punggungnya makin lama makin hilang dalam pandangan. Wajahnya meratap. Meringis. Kalah.

Itu yang ada dalam imajinasi saya. Tapi yang saya tidak tahu, sebagian dari yang saya kalahkan akan bicara dalam hatinya “sing waras ngalah...”

Ya, bagaimana tidak, sebagian yang saya kalahkan status sosial, harta dan pendidikan-nya lebih dari saya. Saya sih bahagia karena berhasil mengalahkan mereka, tapi yang tidak saya tahu, ternyata mereka lebih hebat dari saya. Lebih hebat dari sisi mengendalikan hati. Dari sudut pandang mereka, ternyata saya kalah. Itu yang dulu saya tidak tahu.

Menang yang ternyata kalah. Sudah kalah dalam emosi, kalah dari sisi waktu belajar.

Banyak juga yang saya kalahkan, tidak terima. Mereka dendam. Mereka mau kembali mengalahkan saya. Lalu, mereka mengatur langkah, menyusun strategi. Ada yang bicarakan saya di belakang, menggosip saya. Ada juga yang menghancurkan reputasi saya dan membuat orang lain tidak suka dengan saya.

Yang saya rasakan setelah itu, barang dagangan saya kurang laku. Kawan semakin menjauh. Investor memutuskan kontrak. Ada sebagian yang saya rasakan menatap wajah saya dengan mencibir. Sebagian menghalangi proyek-proyek saya. Sebagian mengadukan saya ke pihak berwajib. Gosip untuk saya bertebaran di mana-mana.

Oh oh oh... kenapa kemenangan-kemenangan saya di masa lalu berbuah kekalahan di banyak lini. Saya mengaku sudah banyak kalah... satu-satunya kemenangan yang saya rasakan saat itu, adalah saya berkaca diri. Beruntung, Allah masih berkenan menumbuhkan rasa kemauan saya untuk belajar.

Mulailah perlahan-lahan, berbagai cermin ilmu didatangkan untuk saya. Salah satunya ya peribahasa Umar bin Khattab itu.

“Cara terbaik mengalahkan orang lain, adalah dengan mengalahkan keramahannya”

Pantaslah saya kalah banyak. Karena saya mengalahkan mereka dengan materi. Dengan kesombongan saya. Dengan harga diri saya. Dengan prestasi saya. Padahal kemenangan bukan didapatkan dari itu semua. Benarlah kata-kata Umar, kemenangan itu dari keramahan.

Sejak saya mendapatkan kalimat ini, maka saya tanamkan dalam-dalam di hati saya dan mencoba menerapkannya. Sekarang saya coba, saat orang lain ada di hadapan saya, saya mau mengalahkannya.

Ya, saya adalah petarung.
Saya adalah pemenang.
Dia harus kalah.

Namun berbeda dengan dulu. Kemenangan yang harus saya dapatkan adalah “harus lebih ramah” dari orang lain.
Saya pernah kalah. Suatu saat saya naik taxi online. Sang pengemudi menegur saya dengan amat teramat ramahnya. “Selamat pagi pak Abdullah, senang sekali bisa bertemu bapak hari ini, saya Ahmad, akan menemani bapak ke lokasi bapak”

Wuah, baru sekali ini saya merasakan ada driver taxi online yang seramah ini. Sepanjang perjalanan, dia menyebut nama saya dengan lengkap berulang-ulang. 

- pak  Abdullah kerja di mana?
- pak  Abdullah anaknya berapa?
- wah pak  Abdullah masih keliatan muda
- pak  Abdullah pasti beruntung sekali ya...
- pak  Abdullah mudah-mudahan sukses terus yaa

Aduh, saya sampai meletakkan hape saya. Fokus menjawab pertanyaan-pertanyaan membahagiakan dari dia. Saat saya ingin membalas, saya kehilangan peluru. Saya tidak ingat namanya dia...

Dengan malu dan perasaan kalah, saya bertanya, “bapak namanya siapa?” Oh ya pak  Abdullah, nama saya ...... Ahmada. 

Kenapa koq titik-titik... ya karena saya sekarang tidak ingat namanya dia. Bentuk kekalahan saya yang lain. Saya hanya ingat nama marganya. Sebenarnya juga, dia sudah sebutkan namanya di awal pertemuan, tapi saya tidak peduli.

Aaah... saya mengaku kalah. Tapi saya tidak terima. Saya harus tetap menang. Yaaa... saya akhirnya memutuskan untuk belajar, belajar memuliakan dan membahagiakan orang lain. Agar titik kekalahan saya, jadi awal kemenangan saya di waktu lain.

Pak Ahmad saya hormati sebagai guru saya. Saya doakan dia dalam hati saya. Terbukti saya menulis ini sebagai pujian dan penghormatan baginya.

Hari ini, pelajaran tentang keramahan terupload lagi dari memory saya. Dalam perjalanan menuju ke Amerika, saya gunakan Japan Airlines. Pramugarinya ramah sekali. Istri saya bilang “mereka ramah banget ya bi”. Saya mengamini. Dalam pengalaman saya naik pesawat baru kali ini saya rasakan pelayanan berbeda.

Memang saya baru pertama naik JAL. Itupun bolak-balik minta agar makanan saya dipastikan halal, dgn kode MOML, yaitu tanda Moslem Meal.

“Nanti saat di Narita, bapak ke transit desk ya” ujar pengurus JAL di Soekarno Hatta. “Biar diurus di sana. Kalau di sini, saya sudah request” jelasnya melayani permintaan saya. “Baik pak, terimakasih banyak” 

Turun dari pesawat, nama saya tertulis di pintu. Seorang petugas memanggil-manggil. Biasanya yang seperti ini, adalah ritual penjemputan. Tapi saya penasaran, “ada apa?”  Tanya saya. “Oh ya, ini bapak diminta ke transit desk untuk mengurus meal bapak” ujar seorang petugas dengan berbahasa Inggris. Oh, ternyata mereka peduli sekali, batin saya.

Setelah mengantri, saya dilayani dengan sangat teramat ramahnya oleh seorang petugas transit desk. Wah saya tidak terima. Saya tidak mau dia lebih ramah dari saya. Diujung pelayanan, akhirnya saya tahu cara terbaik mengalahkan keramahannya.

“Thank you very very much, miss Onoki” ujar saya berterimakasih sambil menyebut namanya. “Oh... your welcome sir”

Yesss... saya akhirnya berhasil mengalahkan keramahannya. Dia tidak menyebut nama saya, tapi saya berhasil memuliakan nama dia.

Tentu, kali ini saya merasakan kemenangan yang sebenarnya. Kemenangan yang berujung kebahagiaan dalam hati saya dan hati orang yang saya kalahkan. Kemenangan yang aneh. Tapi juga kemenangan sejati.

Aaah, keren sekali peribahasa ini. Terimakasih ya Umar ra telah menitipkan kalimat ini untuk saya. Sekarang saya sudah tidak sabar ingin bertemu orang dari belahan bumi manapun, dan siap-siap... saya akan mengalahkan keramahan mereka.

Tentu, saya juga mau “mengalahkan” Anda. Para pembaca tulisan ini. Saya akan kalahkan Anda dengan doa. 

Teriring doa... smg Allah memuliakan, membahagiakan, menjayakan, memberkahi kehidupan Anda dunia dan akhirat.... al-fatihah... aamiin...

PERAN DOMESTIK DAN PUBLIK MUSLIMAH



Manusia, sebagaimana makhluk yang lain, adalah sosok yang tidak bisa mengelak dari ketentuan-ketentuan Sang Penciptanya, yaitu Allah SWT. Dia hidup dalam waktu tertentu, ada kelahiran, pertumbuhan dan kematian, yang tidak bisa ditolaknya. Dia juga lahir dan hidup di dunia ini dengan membawa potensi-potensi tertentu, yang tidak pernah dimintanya dan tidak bisa dihilangkannya. 

Sementara itu dia juga menjadi makhluk yang paling berkuasa di dunia ini juga tanpa keterlibatan sedikit pun di dalam pengadaan akal di dalam dirinya. Banyak fenomena yang bisa diindra manusia, bahwa sekuat apa pun pemanfaatan akal manusia, dia tetap tidak bisa mengelak dari yang namanya kodrat.

Kiranya, termasuk bagian dari kodrat tersebut jika manusia membutuhkan lingkungan-lingkungan tertentu untuk proses lahir dan kembang dia. Pada awal kemunculannya di dunia, manusia membutuhkan lingkungan yang minimal terdiri dari satu laki-laki dan satu perempuan. 

Kebutuhan pada lingkungan awal kehidupan ini yang kemudian dilembagakan dalam institusi keluarga (domestic institution). Kemudian manusia tidak bisa mencukupkan diri pada keluarganya saja untuk proses tumbuh dan kembangnya. Keterbatasan-keterbatasan personal dan kolektif kecilnya (keluarga) mendorong dia untuk senantiasa hidup secara alamiah dalam lingkungan masyarakat yang lebih kompleks (sektor publik). Inilah realitas kehidupan manusia. Dia senantiasa hidup di lingkungan khususnya (domestik) dan lingkungan umum (publik).

Sementara di sisi lain, kelebihan potensi manusia yang berupa akal, harusnya mampu untuk memandu manusia agar dia bisa menjalankan segala peran yang diberikan oleh Penciptanya, baik sebagai hamba Allah, sebagai anggota keluarga maupun sebagai anggota masyarakat. 

Kesadaran bahwa dirinya adalah makhluk akan menghantarkan kepada pilihan untuk semata-mata menggantungkan penghambaannya kepada Allah di dalam memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Tidak ada dalam kamusnya mencari alternatif untuk hal-hal yang Allah dan Rasul-Nya telah memberi ketetapan. 

Tentunya kombinasi dari dorongan fitrahnya, berupa naluri beragama, dengan  pemanfaatan akalnya secara proporsional itulah yang menjadikan dirinya tunduk kepada pengaturan Dzat Yang Maha Mengetahui, yaitu Allah SWT. Ini adalah pilihan yang paling rasional.

Dengan melakukan penggalian yang mendalam, kita dapati bahwa setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, punya tanggung jawab terhadap diri, keluarga dan masyarakat. Kehidupan mereka dalam masyarakat dipandu oleh asas Aqidah Islam (tauhid), bukan sekular. 

Asas ini membawa konsekuensi kepada keterikatannya kepada hanya Hukum Allah, yang digali dari Al Quran dan hadits-hadits Rosul. Standar kehidupan dan perbuatannya adalah halal haram, bukan semata-mata kepentingan/kemaslahatan. Hukum ini memang telah datang dalam bentuk komprehensif dan sempurna, sebagaimana diisyaratkan dalam QS 16:89 dan QS 3:5. Memang kadang-kadang penentuan status hukum ini bisa langsung dari Al Quran dan Hadits karena memang sudah jelas (muhkamat), namun kadang-kadang juga membutuhkan ijtihad. 

Sementara ukuran kesuksesan dalam kehidupan adalah semata-mata keridlaan Allah SWT, bukan didapatnya sebanyak-banyak kenikmatan materi.

Seperti apa peran dan tugasnya untuk merealisasikan tanggung jawabnya tersebut, tentunya tidak selalu membutuhkan peran yang sama. Bisa jadi suatu aktifitas memang harus dilakukan oleh semua pihak, tetapi bisa jadi juga terjadi pembagian peran, tugas dan aktifitas. Di sinilah kita perlu memahami manajemen Allah di dalam mewujudkan keharmonisan peran dan tugas sesuai dengan bekal-bekal yang sudah diberikan oleh Allah kepada manusia, yang kadang-kadang sama dan kadang-kadang berbeda. Tidak terjadi diskriminasi di dalam pembedaan peran-peran ini.

Dalam posisinya sebagai manusia, Islam sudah menyamakan sedemikian rupa antara laki-laki dan wanita, yaitu sebagai hamba Allah. Allah telah memberikan potensi yang sama baik kepada laki-laki dan wanita, yaitu berupa akal dan kebutuhan hidup, supaya sebagai manusia keduanya bisa mengarungi kehidupan, sesuai dengan visi dan misi keberadaannya di dunia ini. 

Dalam hal ini derajat manusia hanya diukur dengan standar taqwa, yaitu sejauh mana ketundukan manusia pada ketentuan-ketentuan Allah. (QS 49:13). Sementara dalam posisinya sebagai laki-laki dan perempuan, Allah telah menetapkan bahwa keduanya memang merupakan jenis kelamin yang berbeda, dengan tentunya seperangkat perbedaan (distinction) dalam hal potensi yang diberikan Allah kepada masing-masing jenis kelamin ini. 

Dalam hal ini, justru merupakan keadilan ketika Allah menetapkan adanya pembedaan (discrimination) dalam hal perlakuan hukum kepada laki-laki dan wanita. Dalam kehidupan mereka diberikan peran, fungsi dan posisi masing-masing , yang berbeda antara laki-laki dengan wanita,  sesuai dengan potensinya.

Oleh karena itu kita bisa melihat dalam ketetapan Allah, kadang-kadang Allah menetapkan beban yang sama antara laki-laki dan wanita, ketika Allah melihat keduanya sama-sama sebagai manusia. 

Sementara di tempat lain kita bisa menyaksikan ketetapan Allah yang berbeda dalam pembebanan hukum kepada laki-laki dan wanita, ketika Allah melihat mereka sebagai laki-laki dan wanita. Dalam hal ini persamaan atau perbedaan ini sama sekali tidak menunjukkan (tidak ada keterkaitannya) dengan ada atau tidak adanya kesetaraan jender. 

Ketika Seseorang berperan sebagai Pemimpin, maka dalam perspektif Islam, dengan posisi ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia lebih tinggi dari rakyat yang dipimpinnya. Demikian juga sebaliknya bahwa bawahan tidak disebut lebih rendah dari pemimpinnya karena posisinya. 

Tetapi kedua-duanya (pemimpin ataupun bawahan) sama-sama punya peluang untuk mencapai derajat tinggi atau rendah, tergantung pada jenis aturan yang dipakai oleh masing-masing pihak ketika menduduki peran tersebut.

Feminisme sebagai sebuah kendaraan untuk mengentaskan permasalahan wanita yang menggurita perlu kita kritisi. Mengingat ide ini tidak berangkat dari menyadari realitas manusia sebagai makhluk (ciptaan) dari Sang Kholiq. 

Mereka semata-mata menggantungkan pada otak-atik akal yang sangat terbatas, sehingga justru berujung pada ketidakpuasan yang terus menerus. Dengan kerangka seperti ini, kita menjadi bisa memahami mengapa perjuangan ide ini justru berujung pada menggugat peran-peran, tugas dan tanggung jawab yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, kemudian mereka merekayasa peran yang dianggapnya adil. 

Padahal keadilan dalam pertimbangan akal manusia sangatlah nisbi dan tidak tuntas. Alih-alih menyelesaikan permasalahan perempuan, yang terjadi justru memperpanjang daftar masalah kehidupan.

Jika kita telusuri dari konsep-konsep/istilah-istilah yang dimunculkan oleh Feminisme, kita sebenarnya bisa memahami bahwa dia akan membawa gerakan perempuan ke arah yang sama, yaitu masyarakat egaliter, masyarakat tanpa ketimpangan gender (genderless society) masyarakat yang didominasi oleh kebebasan individu. 

Konsep yang detil dan jelas tentang masyarakat egaliter versi feminisme itu sendiri sampai sekarang belum ada. Kalau kita hadirkan dalam benak, gambaran masyarakat egaliter adalah masyarakat yang peran laki-laki dan perempuannya sama dalam segala hal. 

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah struktur masyarakat seperti apakah yang hendak diwujudkan serta bagaimana pembagian dan pengaturan peran antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan masyarakat egaliter ini. Kita akan mencoba menganalisisnya dengan beberapa prinsip yang menjadi semangat Ide ini.

Mengingat ide feminisme ini berasal dari masyarakat kapitalis-Barat, tidak sulit untuk menebak secara cepat bahwa ide ini dipengaruhi bahkan didominasi oleh pandangan yang tidak memasukkan wewenang Tuhan (Pencipta) dalam pengaturan kehidupan manusia. 

Lebih-lebih jika diteliti secara cermat keseluruhan idenya, baik global maupun perinciannya, semakin jelaslah warna sekularistiknya. Kaidah-kaidah berpikiranya menghasilkan perspektif berkarakter individualistik dan parsial. Feminisme memandang perempuan sebagai individu yang keberadaannya terlepas dari harmonisasi kehidupan manusia. 

Jika laki-laki bebas memilih peran yang akan dilakukannyaa dalam kancah kehidupan, maka perempuan pun memiliki kebebasan yang serupa. Pandangan yang individualis ini menyebabkan para feminis sulit, bahkan gagal, memahami spesifikasi peran-peran manusia yang telah ditentukan oleh Al Kholiq sesuai dengan potensi dan kelebihannya masing-masing. 

Padahal Allah telah menciptakan manusia terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan yang masing-masing memiliki kekhasan (kekhususan) sebagai laki-laki atau perempuan. Pada masing-masing ada perbedaan secara fisiologis maupun psikologis yang saling melengkapi, karena keduanya mendapat tanggung jawab untuk berperan sebagai pemimpin dan pengelola alam semesta beserta isinya.     
                   
Sementara pola pikir materialistiknya telah menjadikan materi sebagai tolak ukur segala sesuatu, sebagai standar dalam menilai semua persoalan. 

Bahkan ketika para feminis menggarisbawahi keadilan  sebagai keegaliteran, kesetaraan peran domestik dan publik pun, lagi-lagi mereka memperhitungkan keadilan dalam dataran perhitungan materi. Keadilan menurut mereka harus tampak kasat mata bagaikan setaranya beban-beban dalam neraca timbang. 

Keadilan menurut mereka adalah perlakuan yang sama dalam segala hal (hak dan kewajiban yang sama antara laki-laki dan perempuan). Jadilah berbagai bentuk keadilan, kesetaraan dan kesetimbangan bias oleh pola berpikir kebendaan. 

Kegagalan memaknai keadilan ini akhirnya akan cenderung membawa wanita kepada sikap-sikap hipokrit (sikap yang tidak adil dalam ukuran yang mereka buat sendiri), manakala mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa laki-laki dan perempuan adalah jenis yang berbeda. Perjuangan untuk mendapatkan keadilan pun akhirnya berujung kepada ketidakadilan. 

Mereka lupa atau tidak tahu bahwa keadilan sejati harusnya mengacu pada standar yang dibuat oleh Dzat Yang Maha Tahu tentang karakter dua jenis kelamin ini. 

Mereka tidak mempertimbangkan bahwa makna keadilan sejati sesungguhnya telah didefinisikan oleh Al Kholiq, pencipta laki-laki dan perempuan itu, yaitu telah tercatat dalam kaidah-kaidah syara, bukan pada hitungan-hitungan materi atau akal manusia.

Jika masing-masing pihak bebas memilih aktifitas dan perannya sendiri-sendiri (karena asas kebebasan individu), tentunya paradigma materialismenya akan menuntun masing-masing untuk hanya memilih dan memprioritaskan peran-peran yang produktif (menghasilkan materi/uang), yaitu peran publik. 

Sementara peran domestik yang tidak  dianggap produktif akan merupakan bagian yang terlempar. 

Di sinilah sebenarnya Feminisme merupakan pihak yang bertanggung jawab atas guncangnya struktur keluarga. Padahal kita tahu bahwa lembaga keluarga adalah tonggak dan asas yang pokok bagi sebuah masyarakat. 

Keguncangan keluarga ini tentunya akan menyebabkan eksistensi dan kualifikasi kehidupan manusia akan terancam.

Sementara jika kedudukan dan peran laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan juga dalam masyarakat tergantung pada kebutuhan dan kesepakatan antara keduanya (sebagaimana pendapat Myra Diarsi dan Nursyahbani Katjasungkana), pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana kemampuan laki-laki dan perempuan ini di dalam pembuatan kesepakatan-kesepakatan yang menjamin kemaslahatan seluruh manusia di dunia (rahmatan lil aalamin). 

Kita  bisa menyaksikan bahwa kesepakatan-kesepakatan yang dibuat manusia selalu merupakan hasil proses tawar menawar, di mana dalam proses tersebut pihak yang kuatlaah yang mampu mendominasi kesepakatan. 

Hal ini menyebabkan bahwa dalam kesepakatan yang dibuat manusia selalu menuntut  korban. Masalahnya saya kira hanya pada pertanyaan siapa atau apa yang akan dikorbankan? Di sinilah sebenarnya cara berpikir ini menyimpan bahaya dari sisi bahwa proses itu tidak akan berakhir. 

Kehidupan manusia akan digambarkan sebagai homo homini lupus. Kehidupan dunia hanya menjadi ladang uji-coba (trial and error) yang pola-pola kehidupannya lebih banyak didasarkan pada proses-proses naluriah.

Hal ini justru menjatuhkan karakter, kemampuan dan kemanusiaan manusia itu sendiri. Karena manusia adalah makhluk yang paling mulia. 

Oleh Allah manusia dimuliakan dari makhluk lainnya dengan diberikannya potensi akal pada manusia. Realitas kehidupan masyarakat  sebenarnya merupakan produk dari pemikiran-pemikiran manusia, yang kemudian pemikiran inilah yang  memandu jenis perasaan-perasaan, dan peraturan-peraturan yang diterapkan manusia. 

Realitas kehidupan bukan semata-mata Qodlo, apalagi  kemauan dari alam atau kehidupan itu sendiri. Masalah kehidupan itu akan rusak atau rahmat sangat tergantung pada jenis pemikiran, perasaan dan peraturan yang dipilih manusia. 

Di sinilah manusia itu harus mendasari segala sesuatunya dalam kehidupan ini dengan pemikiran yang cemerlang. 
Di sinilah sebenarnya manusia itu mampu menjadi pelaku sejarah, pelaku perubahan sosial, bukan semata-mata pihak yang tunduk dan otomatis menjadi bagian dari masyarakat yang ada.

Tentunya ketidakjelasan konsep egaliter ini akan berlangsung terus, dan akan membawa kita kepada kebingungan dan ketidakpastian. 

Yang dihasilkan adalah masyarakat tanpa tolak ukur yang jelas dan pasti, Dalam masyarakat seperti ini yang terjadi justru kehidupan yang menggambarkan kekakuan, ketimpangan dan akhirnya keguncangan dan kerusakan struktur masyarakat, sementara masyarakat egaliter yang ingin diraihnya hanya menjadi bayangan semu terus menerus. 

Permasalahan tidak akan terselesaikan secara tuntas, manakala kita melihatnya secara parsial sebagai masalah yang berdiri sendiri. 

Ketertindasan kaum perempuan, keterbelakangan mereka, perlakuan-perlakuan tidak adil kepada mereka, sebenarnya bukanlah semata-mata masalah perempuan, karena kondisi yang sama juga dialami oleh manusia dari jenis kelamin yang berbeda, yaitu laki-laki. 

Realitasnya masalah itu merupakan produk saja dari hasil pilihan manusia, berupa menetapkan pola pengaturan kehidupan tertentu yang tidak menghadirkan kemampuan dan kewenangan Al Kholiq, yaitu pola kehidupan yang sekular. 

Selama manusia terbuai oleh janji-janji manis sekularisme, dengan seluruh pemikiran yang lahir darinya (liberalisme, demokrasi, HAM, termasuk feminisme), maka hal tersebut menjadi jaminan bagi berlangsungnya keterpurukan dan kehinaan yang dialami umat sampai kapan pun. Sekularisme selalu memakan korban. Dan tidak mesti perempuan. 

Suatu ketika jika feminisme berhasil mengusung idenya sampai pada tujuan, mungkin akan lahir gerakan yang mengkounternya berupa maskulinisme. Begitu seterusnya.

Oleh karena itu kita perlu melihat setiap masalah (tidak hanya masalah perempuan) sebagai masalah kemanusiaan, masalah kehidupan yang perlu mendapat penyelesaian, berupa hukum / peraturan. 

Fakta rusaknya kehidupan yang dirasakan oleh manusia, tidaklah disebabkan oleh Islam, tetapi lebih karena jauhnya manusia dari sistem Islam, sebuah sistem yang tegak di atas landasan yang shahih, yakni pengakuan atas keberadaan hak mutlak Allah sebagai Pencipta Yang Mahatahu dan Mahaadil atas pengaturan kehidupan manusia di bumi milik-Nya ini. Mari kita renungkan firman Allah dalam QS Al-Maidah : 50

Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin.

Tentunya harus ada perombakan besar-besaran pada tatanan kehidupan ini, manakala kita menginginkan terselesaikannya masalah secara tuntas. 

Dan hal ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Yang pasti akan banyak batu yang menghalangi upaya untuk penyelesaian masalah ini, terutama dari pihak yang selalu bisa bermain pada setiap masalah yang muncul dalam kehidupan. Karenanya, kerja ini membutuhkan keterlibatan seluruh komponen umat, baik yang muslim maupun muslimahnya.

Rabu, 09 Mei 2018

ANAK BANGSA PUTUS ASA ; BENCANA

Hasil gambar untuk Anak bangsa

Kita terkadang naif dalam melihat jiwa manusia. Kita selalu melihat manusia sebagai insan transaksional yang selalu berfikir tukar benefit, padahal didalam diri manusia, ada sifat natural yang luar biasa energinya : PENGORBANAN.

Manusia itu punya sifat berkorban untuk sesuatu yang menurutnya benar.

Seorang ayah rela berkorban untuk memastikan hidup keluarganya berjalan baik. Padahal belum tentu istri dan anak-anaknya mengapresiasi dengan pantas. Inilah software berkorban manusia.

Seorang ibu rela berkorban kurang tidur agar anaknya tersusui dengan baik. Padahal belum jelas apakah si anak akan berbakti atau tidak. Inilah sifat natural martir manusia.

Seorang karyawan rela berkorban waktu istirahat untuk memastikan perusahaannya berada pada layanan prima. Jauh diatas gaji yang diterimanya. Padahal belum tentu perusahaan bisa membalas pengorbanan sang karyawan dengan layak. Inilah sifat martir manusia. Aneh, tapi nyata.

Begitu juga, ada anak bangsa yang siap berkorban agar negeri ini kembali berdaya, pemerintah bekerja efektif mendistribusikan kesejahteraan dan membangun ekosistem yang sehat agar "mudah kenyang".

Mereka siap berkorban untuk negeri, padahal belum jelas juga apresiasi negeri untuk mereka. Mereka terdorong atas sifat MARTIR yang tersemai kuat didiri mereka.

Begitu kita membahas mereka yang siap berkorban ini, kita selalu merasa bahwa manusia-manusia yang siap berkorban ini hanya ada di negeri dongeng. Padahal mereka ada. Mereka yang siap berkorban itu ada disekitar kita. Mereka yang ingin punya niat baik untuk negeri itu ada di sekitaran lingkungan kita.

Para manusia dengan jiwa MARTIR ini adalah potensi negeri. Mereka siap menempuh jalan sukar, sepi, penuh peluh, kehilangan masa muda, kehilangan waktu bermain, untuk memberikan yang terbaik bagi negeri dan bangsanya.

Yang harus dijaga oleh kita semua adalah menjaga para MARTIR ini agar tetap terus memiliki harapan. Jangan sampai mereka putus asa.

Rumitnya jalur perpolitikan negeri yang penuh kepentingan dan sponsor oportunis, terkadang membuat para MARTIR ini putus asa.

Sukarnya memperbaiki keadaan negeri ini terkadang membawa para MARTIR ini menuju kebuntuan jalan perjuangan. Mereka merasa jalan perbaikan itu mustahil dan tidak mungkin. Dan ujungnya, mereka berputus asa.

Jiwa MARTIR yang frustasi ini.... akan mencari jalan pintas diluar nalar. Jalan pendek. Jalan imajinasi yang sesat. Disinilah bahayanya.

Maka... ketika anak bangsa putus asa, disitulah benih kejahatan menyeruak, lahirlah perbuatan menyimpang sesat yang merugikan banyak orang.

*****

Pada saat pengukuhan organisasi Serikat Saudagar Nusantara (SSN) Daerah di Medan, Saya dengan tegas menjelaskan fungsi ketiga dari ORGANISASI SSN ; kita harus menjadi wadah KARANTINA untuk mereka yang siap bekerja berkorban untuk negeri.

Anak bangsa yang mau bekerja dan berkorban untuk negeri itu sedikit. Mereka kesepian. Dianggap aneh oleh masyarakat. Mikirin diri sendiri belum tuntas, tetapi mereka turun memikirkan bangsa. Mirip seperti Tjokro, mirip seperti Soekarno, yang memilih jalan perjuangan yang sepi dan terjal.

Saya menganalogikan para MARTIR ini seperti MUTAN yang DNA nya menyimpang. Mereka adalah orang-orang yang memilih berbuat untuk orang lain, dan dirinya nomor 10. Aneh memang.

Didalam film X-Men, para mutant ini tersingkirkan, stress, dianggap ancaman bagi manusia, tidak layak dapat tempat, hingga seorang Mutan yang bisa menembus fikiran semua Mutant... Prof Xavier... mengumpulkan semua Mutant dalam Xavier School. Prof Xavier menggunakan cerebro untuk mengajak semua mutan diseluruh dunia. Diseru... untuk terwadahi dengan baik.

Para Mutant dikarantina, disekolahkan, diwadahi, diedukasi, dan DIBERI HARAPAN.

Iya... MEREKA DIBERI HARAPAN bahwa suatu saat, kehidupan manusia akan membutuhkan bantuan MUTANT. Suatu saat manusia akan membutuhkan para mutan untuk membasmi kejahatan. Suatu saat, mutan dan manusia akan hidup berdampingan tanpa konflik.

Prof Xavier berhasil memberikan mereka HARAPAN, bahwa ada jalan perjuangan agar bisa hidup berdampingan dengan manusia. Disinilah JALAN HARAPAN itu dibentang Prof Xavier. 

Sementara para mutan yang PUTUS ASA, merasa tidak mungkin mereka bisa hidup berdampingan dengan manusia. Mereka memilih jalan gelap bersama Magneto. Mereka malah MENEROR kehidupan manusia. Mereka MENGHARAMKAN jalan yang dipilih Prof Xavier.

"Kamu lemah Xavier, memilih jalan kooperatif dengan manusia brengsek, harusnya kita perangin manusia selagi bisa, gempur mereka dengan kekerasan, selagi mereka lemah"

Namun Xavier tetap dalam keyakinannya..

"Ada JALAN DAMAI agar kita bisa hidup berdampingan dengan Manusia, tobatlah wahai Magneto..."

Kembali ke fungsi serikat saudagar nusantara, disinilah kami ingin mengarantina energi juang anak bangsa. Bahwa HARAPAN MEMPERBAIKI bangsa lewat jalur PERJUANGAN EKONOMI itu adalah niscaya.

Ada ruang berkorban waktu untuk menjadi Relawan Nusantara Berdaya, program mentoring bisnis pekanan.

Ada ruang berkorban energi untuk menjadi mentor keterampilan bisnis tertentu di forum-forum yang diselenggarakan.

Ada ruang aktualisasi untuk menjadi anak muda yang bermakna. 

Suatu saat, seorang ibu akan mudah memberi makan anaknya.

Suatu hari, seorang ayah dapat menyekolahkan anaknya ditempat terbaik.

Suatu hari, seorang anak muda akan mudah mencari kerja.

Suatu hari, negeri ini akan memiliki APBN 50.000T per tahun tanpa hutang.

Di SERIKAT SAUDAGAR NUSANTARA, kami merawat harapan, mengelola harapan, melestarikan harapan, agar tetap menyala di hati anak bangsa.

*****

Jika boleh memilih tokoh Marvel, ijinkan Saya menjadi Prof Xavier, yang akan terus menyeru seluruh MUTAN MARTIR, agar jangan kehilangan harapan dan mengambil langkah bodoh.

Jika ruang politik praktis hari ini adalah ruang sempit tanpa celah, kita masih punya ruang luas di medan grassroot. Membantu rakyat kelas bawah mencapai pengetahuan yang dibutuhkan. Membantu mereka mencapai kualitas ekonomi yang dibutuhkan.

Jika ruang Indonesia ini terlalu luas untuk Anda, kota dan kabupaten sedang membutuhkan tokoh muda lokal yang siap mengembangkan wilayahnya.

Jika jalan memperbaiki bangsa ini terlalu rumit untuk Anda, bergenggamanlah bersamaku, gapailah tanganku, mari terus jaga niat membangun negeri. Bersamamu... tidak ada yang rumit... bersamaku... kita akan jalani masa depan Emas Indonesia... masa depan hebat NUSANTARA... bersama-sama...

Tolong jangan putus asa... teruslah berharap... pada kebaikan yang akan hadir di negeri ini.

Selasa, 08 Mei 2018

REZEKI RAMADHAN




Si kecil Ali akhirnya ikut tertular sakit mata di sebelah kanannya. Kebetulan waktu itu sedang di Bandung, jadi sekalian ingin tahu juga Pusat Mata Nasional di Cicendo. Alhamdulillah.

Hari ini mata kanan Ali sudah sembuh seperti sedia kala. Hanya saja, sekarang giliran kakaknya yang ketularan. Aneh juga ya. Padahal kalau memang mau menular, kan lebih dekat ke mata yang sebelah kiri.

Namun demikianlah yang disebut rezeki. Bahkan antara kedua mata kita, rezekinya berbeda-beda. Yang satu dapat rezeki sehat, yang satu lagi kebagian rezeki sakit.

Putra kami nomor tiga juga sekarang sakit gigi. Mungkin karena kebanyakan makan yang manis dan lupa menggosok gigi. Tapi dari semua giginya, yang sakit hanya satu, yaitu geraham atas sebelah kiri!

Benar-benar saya tidak habis pikir. Padahal dia kan makan manis dengan seluruh giginya? Tetapi ya memang begitu pengaturan rezeki. Meskipun puluhan gigi tersebut berada pada tempat yang sama, mendapat perlakuan yang sama, ternyata satu sama lain rezekinya berbeda! Allahu Akbar.

وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ

"Dan di langit terdapat rezekimu dan terdapat pula apa yang dijanjikan kepadamu."

(Surat Az-Zariyat: 22)

Ternyata rezeki memang sudah sangat teliti diatur oleh Allah. Pengaturan ini tersimpan dengan baik di langit, hingga tiba waktunya diberikan oleh sang penerima rezeki itu masing-masing. Tidak ada yang tertukar, tidak pula kelebihan atau kekurangan.

Termasuk rezeki dalam hal ibadah, satu sama lain saling berbeda. Saya kenal dengan orang yang punya banyak waktu luang ketika Ramadhan, tetapi tilawahnya tidak tuntas. Sebaliknya mereka yang saya lihat cukup sibuk, justru berhasil khatam selama Ramadhan. Rezeki benar-benar rahasia langit!

Jadi, karena kita sendiri tidak tahu rezeki seperti apa yang Allah siapkan untuk kita pada Ramadhan tahun ini, maka tugas kita adalah berjuang saja dengan gigih. Perbanyak doa agar diberi istiqomah. Boleh jadi tahun ini rezeki kita bisa khatam.

Saat malas menghampiri, jangan katakan, "Maaf Ramadhan, tapi aku sedang malas!"

Melainkan katakanlah, "Maaf malas, tapi sekarang sedang Ramadhan!"

Senin, 07 Mei 2018

IMAN TIDAK DIWARISKAN

Hasil gambar untuk Iman tidak di wariskan

Iman adalah Mutiara
didalam hati manusia
Yang meyakini Allah
Maha Esa Maha Kuasa

Ia tak dapat diwarisi
dari seorang ayah yang bertaqwa
Ia tak dapat dijual-beli
Ia tiada ditepian pantai

Walau apapun caranya jua
Engkau mendaki gunung yang tinggi
Engkau melintas lautan Api
Namun tak dapat jua dimiliki
Jika tidak kembali pada Allah

Pernah dengar lagu tersebut? 
Ya, itu adalah lagu dari salah satu grup nasyid ternama. Yang setiap kali saya dengarkan, selalu rasanya ingin meleleh mata ini.

Seperti yang kita ketahui  bersama bahwa mayoritas agama dari penduduk bangsa ini adalah Islam. Dan sebagian adalah Islam keturunan. Karena kita berislam memang dari orang tua kita yang sudah Islam sejak dulu. Maka kita hanya mengikut saja.

Islam (agama) ini memang bisa kita wariskan, namun tidak dengan iman dan taqwa. Karena ia harus melalui jalur ilmu dan pemahaman. Akan siapa hakikat kita sebenarnya dan siapa Rabb kita. Tanpa ilmu, mustahil kita akan bisa benar-benar beriman. Karena iman tidak bisa diwariskan. 

Semisal kita ambil contoh tentang kisah Nabi Nuh As. Ia adalah seorang Nabi Allah, utusan Allah, imannya kepada Allah tidak diragukan lagi, ketaqwaan luar biasa. Taat pada Allah, dekat dengan Allah.

Bahkan ketika Allah Subhanahu Wa Ta'ala memerintahkan Nabi Nuh untuk membuat Bahtera yang besar ditengah gurun berbukit, tanpa banyak tanya langsung dilaksanakan tugas tersebut. Padahal itu hal yang tidak logis menurut kita.

Sampai-sampai Nabi Nuh dicap gila dan tidak waras oleh kaumnya lantaran ia membuat sebuah kapal besar ditempat yang tidak ada air sama sekali apalagi laut. Namun Nabi Nuh As tidak gentar sedikitpun, ia tetap yakin dan percaya pada Rabb semesta alam.

Begitu kuatnya iman beliau. Namun kita semua tahu akhir dari kisah Nabi Nuh As, anaknya tidak mau ikut naik ke dalam bahtera saat azab Allah berupa banjir besar melanda dan memilih untuk durhaka. 

Begitulah iman, ia hanya akan hadir jika kita benar-benar kembali kepada Sang Khaliq. Sebab iman muncul karena pemahaman, sebab pemahaman muncul karena ilmu, dan sebab munculnya ilmu adalah belajar. Itulah sebabnya Rasullullah Shalallahu Alaihi Wasallam menjadikan belajar (menuntut ilmu) adalah suatu kewajiban bagi setiap umat muslim. Karena ia yang akan menghantarkan pemiliknya pada iman dan taqwa yang sesungguhnya.

Dari Anas bin Malik ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap orang Islam, dan sesungguhnya orang yang menuntut ilmu dimintakan ampun oleh segala sesuatu, hingga ikan-ikan yang di laut. [HR. Ibnu Abdil Barr dalam Jaami’u Bayaanil 'Ilmi wa fadllihi, hal. 11, no. 13, pada sanadnya ada pembicaraan]

Minggu, 06 Mei 2018

BELAJAR DARI SANG IMAM BESAR

Hasil gambar untuk Belajar dari imam besar

Al-Imam Asy-Syafi'i (150-204 H), nama lengkapnya adalah Muhammad bin Idris bin Al-'Abbas bin 'Utsman bin Syaafi' bin As-Saaib bin 'Ubaid bin Yazid bin Hasyim bin Al-Muththalib bin 'Abdi Manaaf bin Qushaiy, nama kunyahnya Abu 'Abdillah, ibunya bernama Fathimah binti 'Abdullah.

Imam Asy-Syafi'i dilahirkan di Ghazza, Palestina pada tahun 150 H, tahun kelahirannya bertepatan dengan tahun wafatnya Al-Imam Al-A'dham Abu Hanifah. Ayah beliau, yakni Idris bin Al-'Abbas berasal dari Makkah, lalu pergi berhijrah ke Ghazza, Palestina.

Tidak lama setelah kelahiran Asy-Syafi'i ayah beliau wafat. Kemudian Asy-Syafi'i diasuh oleh ibunya. Pada waktu Imam Syafi'i berumur 2 tahun, beliau dibawa ibunya kembali ke Makkah negeri nenek moyangnya, dan beliau tumbuh di Makkah sebagai anak yatim.

Dibesarkan dilingkungan Makkah menjadikan beliau menimba ilmu pertama-tama di Makkah. Beliau hafal Al-Qur'an ketika berumur tujuh tahun. Hafal kitab Al-Muwaththa' (kitab karya Imam Malik) pada usia sepuluh tahun. Kemudian datang kepada Imam Malik di Madinah ketika berumur tiga belas tahun.


Bepergian beliau ke berbagai negara.

Setelah beliau menimba ilmu dari Imam Malik bin Anas (di Madinah), kemudian beliau minta izin ke 'Iraq. Imam Malik menyambut  baik keinginan Imam Syafi'i tersebut, dan Imam Malik memberi bekal harta dan makanan kepada Imam Syafi'i. Kemudian beliau berangkat ke 'Iraq.

Di 'Iraq beliau bertemu dengan dua Imam pengikut Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan, dan Imam Syafi'i sering mengadakan munadharah 'ilmiyyah dengan mereka. Imam Syafi'i bertempat tinggal di Kufah sebagai tamunya Muhammad bin Al-Hasan, dan Muhammad bin Al-Hasan sangat memuliakan tamunya itu, dan ia menulis dari Imam Syafi'i tulisan seberat bawaan unta.

Setelah berada di 'Iraq selama dua tahun, kemudian Imam Syafi'i kembali ke Madinah, rindu dengan guru beliau, yaitu Imam Malik. Kemudian beliau tinggal di Madinah selama empat tahun lebih beberapa bulan, hingga wafatnya Imam Malik pada bulan Rabi'ul awwal 179 H.

Pada waktu itu Imam Syafi'i berusia sekitar dua puluh sembilan tahun. Kemudian setelah itu beliau pergi ke Yaman untuk mendengarkan hadits dan fiqh dari guru-guru beliau, dan beliau bekerja pada Walikota Yaman.

Kemudian Imam Syafi'iy kembali ke Makkah Al-Mukarramah, beliau disambut baik oleh penduduk Makkah. Beliau tinggal di Makkah selama empat belas tahun, beliau mengajarkan agama, bertukar  pikiran dengan para 'ulama  dan menyampaikan pendapat beliau kepada orang yang datang ke Makkah untuk berhajji. Pada tahun-tahun tersebut Imam Abu Yusuf wafat, yaitu tahun 182 H. Dan wafat pula Imam Muhammad bin Al-Hasan pada tahun 188 H. Dan pada tahun 193 H Khalifah Harun Ar-Rasyid wafat, dan dibai'atlah  Al-Ma'mun sebagai Khalifah.

Kemudian dari Makkah Imam Syafi'i pergi lagi ke 'Iraq. Setelah beberapa waktu tinggal di 'Iraq, kemudian beliau meninggalkan 'Iraq pergi ke Mesir, beliau berpisah dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau di Mesir ditemani murid-murid beliau, diantaranya Ar-Rabi' bin Sulaiman Al-Muradiy dan 'Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidiy.

Imam Syafi'iy masuk Mesir pada tanggal 28 Syawwal 198 H. Di Mesir beliau mengajarkan ilmunya pada Perguruan Tinggi 'Amr bin Al-'Aash RA, yang di situ dipelajari berbagai ilmu.

Diantara guru-guru beliau di Makkah adalah Ismail bin Qasthanthin, Sufyan bin 'Uyainah, Muslim bin Khalid Az-Zanjiy, Sa'id bin Salim Al-Qaddah, Dawud bin 'Abdur Rahman Al-'Aththar dan 'Abdul Majid bin 'Abdul 'Aziz bin Abu Dawud.

Adapun guru-guru beliau di Madinah ialah Imam Malik bin Anas, Ibrahim bin Sa'ad Al-Anshariy, 'Abdul 'Aziz bin Muhammad Al-Darawardiy, Ibrahim bin Abu Yahya Al-Usamiy, Muhammad bin Sa'id bin Abi Fudaik dan 'Abdullah bin Nafi' Ash-Shaaigh.

Adapun guru-guru beliau di Yaman ialah Mutharrif bin Maazin, Hisyam bin Yusuf qadli Shan'aa', 'Amr bin Abu Salamah muridnya Al-Auza'iy dan Yahya bin Hassan muridnya Al-Laits bin Sa'ad.

Kitab-kitab susunan ( yang ditulis oleh) Imam Syafi'i diantaranya ialah Al-Umm, Ar-Risaalah (kitab Ar-Risaalah ini beliau susun ketika di Mesir), Al-Imlaaush-shaghiir, Al-Amaalil Kubra, Mukhtashar Al-Muzaniy, dan Mukhtashar Al-Buwaithiy.

Al-Imam Asy-Syafi'i tinggal di Mesir selama lima tahun sembilan bulan, yakni sampai tahun 204 H. Pada malam Jum'at yang terakhir dari bulan Rajab, beliau wafat di hadapan murid beliau Ar-Rabi' Al-Jaiziy, beliau wafat dalam usia 54 tahun karena sakit. Kemudian beliau dimakamkan pada hari Jum'at di suatu tempat yang dinamakan Turbatusy-Syafi'i. Demikianlah riwayat singkat Al-Imam Asy-Syafi'i.

Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari beliau. Diantaranya adalah semangat beliau dalam menuntut ilmu hingga beliau rela bepergian keberbagai negara dan belajar pada banyak guru. Dan semangat beliau dalam menulis kitab-kitab rujukan yang amat penting bagi para penuntut ilmu, sehingga karya-karyanya masih dibaca dan dipelajari hingga saat ini.