Sabtu, 03 September 2022

STRATEGI PENDIDIKAN ANAK USIA REMAJA

 


Basis pendidikan Islam yang tidak boleh diabaikan adalah basis usia, sejumlah nash baik dalam Al-Qur'an maupun Sunah sudah menjelaskan perkara ini dengan gamblang dan jelas dan ini sejalan dengan tujuan pendidikan Islam yang hendak dicapai dan visi generasi dalam Islam yang melahirkan sosok pribadi Islam yang tangguh, generasi saleh, generasi pemimpin, dan generasi khairu ummah. Karena dalam pendidikan Islam harus senantiasa integral antara tujuan-tujuan pendidikan yang dicapai dengan konsep yang dimiliki dan juga metode yang diberlakukan. Semua harus berasal dari jenis yang sama yaitu dari Islam.

Perkara mendidik berdasarkan usia Allah Swt. berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum salat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)-mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya. (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (TQS An-Nur: 58)

Ayat ini menjelaskan bagaimana aturan interaksi anak usia prabalig dengan orang tua dalam kehidupan khas, kehidupan rumah yang harus meminta izin terlebih dahulu di waktu-waktu aurat. Orang tua mempunyai kewajiban mendidik anak dalam perkara ini, ayah bunda memberikan pelajaran kepada anak tiga waktu aurat.

Namun ketika anak sudah balig izin itu tidak hanya tiga waktu aurat tapi semua waktu dan kesempatan anak yang sudah baligh harus dapat izin ayah bundanya terlebih dahulu untuk memasuki kamar atau kehidupan khusus lainnya. Allah berfirman :
Dan apabila anak-anakmu telah dewasa maka hendaklah mereka meminta izin jua sebagaimana meminta izinnya orang-orang telah terdahulu tadi. Bukankah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya untuk kamu; dan Allah adalah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana." (TQS An-Nur: 59)

Dalam hadis juga menjelaskan bahwa perkara pendidikan itu harus berbasis usia prabalig dan anak yang sudah balig. Rasulullah saw. Bersabda:

رفع القلم ، عن ثلاثة ، النائم حتى يستيقظ ، والصبي حتى يبلغ ، والمجنون حتى يفيق

“Pena di angkat dari tiga golongan; orang tidur hingga bangun, anak-anak hingga balig, dan orang gila hingga sadar” (al-Bayhaqi dalam Ma’rifatus Sunan)

Dapat dipahami bahwa anak usia prabalig tidak dimintai pertanggungjawaban terhadap perbuatannya hingga dia balig. Dari sini penting memahami usia anak dalam penerapan hukum-hukum Allah agar tidak salah dalam mendidik. Dalam kesempatan lain Rasulullah saw. juga mengajarkan parenting berbasis usia kepada kita dalam perkara salat dan pemisahan tempat tidur langsung menyebutkan usia anak, beliau bersabda:

"Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan salat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka." (Disahihkan oleh Al-Albany dalam Irwa'u Ghalil, no. 247)

Demikianlah Allah dan Rasul-Nya mengarahkan kita dalam mendidik, harus memerhatikan usia saat prabalig dan saat balig. Memperhatikan usia anak dalam mendidik dengan berdasarkan dalil-dalil syarak agar orang tua memahami hukum-hukum apa saja yang terkait dengan usia tersebut yang harus dilakukan oleh orang tua. Kemudian bagaimana perlakuan orang tua terhadap anak saat usia pra balig dan saat usia balig.

Secara umum tahapan usia prabaligh dapat dibagi dua tahap yaitu tahapan prabalig tahap satu, usia dini, usia thufulah (pra mumayyiz) usia 0—7 tahun, usia prabaligh tahap kedua usia sekolah tingkat dasar yaitu usia mumayyiz (7—10 th). Tahapan ini berdasarkan hadist Rasulullah saw., yang langsung menyebutkan usia pendidikan anak tentang salat.

“Perintahkanlah anak-anakmu melaksanakan salat di usia 7 tahun dan pukullah mereka jika meninggalkan salat di usia 10 tahun.” (HR Imam Ahmad)

Batas ambang anak tidak lagi ditolerir meninggalkan ibadah shalat adalah 10 tahun, artinya anak jika sudah mencapai usia 10 tahun harus memiliki keseriusan dalam agama dalam ketaatan meskipun belum balig, jika anak tidak salat di usia itu maka pukullah jika diperlukan. Jika kita memahami tentang pendidikan berbasis usia ini kaitannya dengan parenting adalah sebagai berikut : 1. Memahami tumbuh kembang anak setiap jenjang usia 2. Menentukan tahapan-tahapan pendidikan 3. Menentukan jenjang sekolah 4. Hukum-hukum syarak yang terkait dengan anak sesuai jenjang usia 5. Penentuan kurikulum dan bahan ajar sesua usia 6. Penentuan takdib bagi kesalahan anak 7. Meraih tujuan pendidikan (Takwinusysyakhshiyyah) di setiap jenjang usia 8. Mengantarkan anak prabalig menuju mukallaf Adapaun strategi dalam Islam untuk mendidik anak usia prabalig sebagai berikut: 1. Orang tua fokus kepada tujuan perndidikan yaitu terbentuknya kepribadian Islam yang cerdas akalnya dan saleh jiwanya 2. Menerapkan kurikulum berbasis akidah Islam, menderaskan tsaqafah Islam sebagai pembentuk langsung kepribadian Islam. 3. Menerapkan metode talaqqiyan fikriyyan dalam proses pembelajaran, mendorong anak menjadi pemikir, dan mengamalkan ilmu 4. Menggunakan uslub (tataran teknis) yang dapat merealisasikan tujuan-tujuan pendidikan dan menguatkan metode pembelajaran 5. Menyediakan sarana dan prasarana yang tepat Strategi di atas dapat dilakukan orang tua di rumah dalam program-program yang terarah sehingga pandidikan anak berjalan dengan baik dan terukur. Dengan membawa strategi ini pula orang tua menemani ananda hingga memasuki usia balig. Namun, strategi di atas akan lebih optimal dan terbangun sinerginya apabila ada sistem politik yang mendukung dalam menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam di seluruh sekolah oleh negara. Wallaahualam.

Perlindungan Sosial Hanya Mewujud Sempurna dalam Sistem Islam

 


Gejolak harga-harga kebutuhan pokok akibat kenaikan harga pangan dan BBM global masih dihadapi secara santuy oleh Pemerintah Indonesia. Sikap optimis ini didasarkan pada keyakinan bahwa situasi ekonomi negara kita sedang baik-baik saja.

Pemerintah diwakili Wapres beranggapan bahwa Indonesia masih berada pada jalur yang tepat. Buktinya, di tengah situasi sulit saat ini, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia diklaim cukup baik, yakni lebih dari 5%. Laju inflasi pun disebut-sebut terendah dibanding negara-negara lain. Sementara ekspor perdagangan dikatakan dalam kondisi surplus.

Pemerintah juga beranggapan situasi sulit ini masih bisa diatasi dengan banyak opsi. Termasuk dengan memperbesar dana bantuan sosial (bansos), menggelar operasi pasar, merekayasa subsidi, dan sebagainya. Opsi-opsi ini tampaknya masih menjadi jurus andalan, bahkan menjadi kebanggaan, seakan-akan fungsi kepemimpinan sedang dijalankan.

Jauh Panggang dari Api Namun, situasi di lapangan tidak seindah yang dibayangkan. Sejak sebelum pandemi, kehidupan rakyat sebetulnya sudah dalam kondisi centang perenang. Terbukti daya beli menurun, sejalan dengan pengangguran dan angka kemiskinan yang terus meningkat. Itu pun diukur dengan standar garis kemiskinan yang sangat minimal. Adapun perbaikan ekonomi yang dijanjikan oleh mulut manis penguasa, hasilnya juga tidak kunjung tiba. Kalaupun ada, mereka hanya bermain dengan angka-angka yang justru terkesan mengamuflase keadaan sebenarnya. Berlanjutnya gejolak harga di level internasional, baik akibat perang maupun ketidakpastian produksi akibat isu perubahan iklim, nyatanya telah berdampak buruk bagi perekonomian negara pengutang seperti Indonesia. IMF bahkan memperingatkan, situasi ini akan membuat negara-negara pemilik utang termasuk Indonesia terancam gagal bayar. Pasalnya, negara-negara besar pun akan terpacu untuk meningkatkan suku bunga demi mengamankan kondisi ekonomi dalam negerinya. Dengan demikian, posisi dolar akan terus menguat, dan pada saat yang sama akan mengoreksi besaran utang negara-negara lemah. Tidak heran, utang plus bunga negara kita angkanya makin fantastis saja. Beberapa pejabat pemerintah pun akhirnya kerap mengeluh soal beban APBN yang makin berat hingga berbagai kebijakan berbasis subsidi dan bantuan sosial pun terus dipersoalkan. Contohnya, kebijakan yang hari ini sedang banyak dibincangkan. Dengan dalih mengurangi tekanan terhadap masyarakat di tengah kenaikan harga dan kemiskinan yang makin menguat dan menyebar, pemerintah mengambil kebijakan mengalihkan dana subsidi BBM sebesar Rp24,17 T untuk bantuan sosial. Artinya, alih-alih meringankan beban rakyat dengan menambah subsidi dan bantuan sosial, yang dilakukan justru hanya mengulur meledaknya bom waktu, dengan cara menyelesaikan masalah dengan masalah hingga persoalan pun makin parah. Bayangkan saja, pencabutan subsidi BBM jelas akan membawa efek domino, terutama akibat menguatnya tingkat inflasi yang biasa mengiringi kenaikan harga bahan bakar minyak. Sementara, penambahan dana bansos tidak menjamin akan bisa menutupi semua dampak yang dirasakan oleh masyarakat banyak. Terlebih, sasaran penerima bansos jumlahnya sangat terbatas. Sementara selama ini proyek bantuan sosial selalu diiringi banyak masalah, seperti pembagian yang tidak tepat sasaran, serta fakta bahwa proyek ini senantiasa menjadi lahan basah bagi para pelaku tindak korupsi.

Solusi Tambal Sulam

Selama ini negara atau para penguasa memang cenderung fokus menyolusi problem cabang. Padahal yang dilakukan alih-alih menyelesaikan persoalan, melainkan hanya memperburuk keadaan, bahkan kian menjerumuskan negara dan rakyat pada kondisi yang lebih mengerikan.

Konsep perlindungan sosial, baik yang berbentuk bantuan sosial seperti in-cash transfer (bantuan langsung tunai) dan pelayanan (in-kind transfer), maupun jaminan sosial berbasis asuransi seperti BPJS kesehatan, BPJS tenaga kerja, dan tabungan pensiun misalnya, seakan jadi solusi andalan. Padahal, sejatinya hanya merupakan solusi tambal sulam untuk menutup ketidakmampuan negara mewujudkan kesejahteraan rakyat, orang per orang.

Terlebih pada perlindungan sosial yang berupa jaminan sosial berbasis asuransi sosial. Tampak jelas, konsep ini justru menunjukkan sikap lepas tangan pemerintah dalam kewajiban menjamin hak dasar masyarakat. Rakyat justru didorong, bahkan dipaksa, untuk secara swasembada mendanai kebutuhan yang semestinya secara penuh dipenuhi oleh negara.

Namun, inilah konsekuensi hidup dalam sistem sekuler kapitalisme neoliberal. Dalam sistem ini, negara memang hanya berperan sebagai regulator, bukan sebagai pengurus dan pengayom rakyatnya. Dengan demikian, tidak ada kewajiban moral bagi negara atau penguasa untuk memastikan setiap warga negara terpenuhi kesejahteraannya.

Bahkan, dalam sistem ini, negara dipandang sebagai sebuah perusahaan sehingga nilai efisiensi begitu diperhatikan. Tidak heran jika hubungan yang terbangun antara penguasa dengan rakyatnya tidak ubahnya seperti hubungan penjual dengan pembeli sehingga seluruh kebijakannya selalu menghitung untung rugi.

Bahkan aroma bisnis benar-benar tercium di mana-mana. Kebijakan pangan, pendidikan, kesehatan, transportasi, keamanan, hukum, semuanya bicara soal keuntungan. Tidak heran jika kursi kekuasaan menjadi ajang perjudian para pemilik modal yang berambisi menambah pundi-pundi kekayaan. Sekaligus menjadi pintu masuk bagi para pemodal lokal maupun asing untuk menguasai kekayaan milik rakyat melalui rekayasa undang-undang.

Mirisnya, semua kondisi ini dikukuhkan oleh penerapan sistem kapitalisme secara global. Keterikatan negeri-negeri kaum muslimin pada aturan internasional menyangkut perdagangan dan moneter menjadikan penguasa tidak punya kemandirian. Mereka bertindak sebagai budak yang hilang kedaulatan. Tunduk mengabdi pada kepentingan negara-negara besar.

Jadilah rakyat di negeri yang luar biasa kaya raya ini hidup sedemikian sengsara. Mereka harus membeli semua hal yang sejatinya merupakan hak milik mereka dengan harga yang sangat mahal. Sementara kebanyakan dari mereka daya belinya sangat rendah akibat didera oleh kemiskinan struktural.

Teriakan mereka di jalan-jalan bergema penuh dengan rasa putus asa tanpa ada yang mau mendengarkan. Mata, telinga, dan hati penguasa sekuler seakan tertutup oleh penyakit wahn yang meliputi akal dan jiwa mereka.

Harapan Hanya pada Islam

Sebagai ideologi, Islam menetapkan bahwa kesejahteraan setiap individu rakyat, secara orang per orang, wajib dipenuhi oleh negara atau para penguasanya, karena negara atau kepemimpinan berperan sebagai pengurus dan penjaga. Kelalaian dalam memenuhinya dipandang sebagai sebuah kezaliman yang tak akan bebas dari pertanggungjawaban di dunia dan akhirat.

Penerapan syariat kafah dalam seluruh aspek kehidupan justru menjadi kunci kebangkitan umat Islam selama berabad-abad. Negara Islam tampil sebagai negara yang mandiri dan berdaulat di berbagai bidang kehidupan. Bidang pertahanan (militer), energi, pangan, hukum dan sebaginya selalu terdepan. Negara Islam bahkan mampu merebut kepemimpinan dalam konstelasi politik internasional, dan menggunakannya untuk menebar rahmat ke seluruh alam.

Penerapan sistem ekonomi Islam oleh negara Islam benar-benar memungkinkan negara punya modal untuk menyejahterakan rakyat dan mewujudkan keadilan hidup bagi mereka secara orang per orang.

Karena sistem ekonomi Islam mengatur soal mekanisme kepemilikan, pengelolaan, dan pengembangan kepemilikan, mengatur soal sistem moneter yang antikrisis karena berbasis pada emas dan perak, serta antiriba yang hari ini justru menjadi biang kerusakan. Salah satu contohnya, sistem ekonomi Islam menetapkan seluruh sumber daya alam yang jumlahnya melimpah ruah adalah milik seluruh rakyat yang wajib dikelola oleh negara untuk dikembalikan manfaatnya kepada rakyat. Haram bagi negara menyerahkan kepemilikannya kepada individu, apalagi kepada asing. Belum lagi sumber-sumber keuangan negara di dalam Islam tak hanya berasal dari hasil pengelolaan sumber daya alam Ada juga sumber-sumber syar'i lainnya seperti dari ganimah, fay'i, kharaj, jizyah, rikaz, dan sebagainya yang jumlahnya juga melimpah ruah. Juga kepemilikan negara dan zakat yang pengeluarannya diatur oleh syarak. Tidak heran jika problem kemiskinan dalam sejarah peradaban Islam tak pernah ditemukan sebagai sebuah fenomena. Melainkan sebagai sebuah kasus yang penyebabnya bukan karena kebijakan struktural, melainkan karena kelalaian penerapan hukum oleh sebagian kecil penguasa atau karena faktor bencana alam. Dalam sistem Islam, negara benar-benar hadir sebagai pengayom rakyatnya. Bagaikan seorang ayah, negara atau penguasa mengurus dan menjaga seluruh rakyatnya dengan penuh kasih sayang, tanpa berhitung jasa, apalagi keuntungan. Segala bentuk pelanggaran atau kezaliman yang muncul dari kerakusan manusia, tercegah dengan sendirinya melalui penerapan sistem sanksi Islam. Alhasil, perlindungan sosial yang hari ini menjadi mimpi semua orang benar-benar mampu diwujudkan oleh sistem Islam. Karena kesejahteraan memang merupakan dampak penerapan hukum-hukum Islam, bukan proyek artifisial yang bersifat tambal sulam. Catatan sejarah tentang kesejahteraan hidup di bawah naungan Islam ini benar-benar terserak dalam catatan yang ditulis dengan tinta emas sejarah yang tidak mungkin dihapuskan. Apa yang terjadi pada masa Rasulullah saw., juga penggalan-penggalan kisah kehebatan pengurusan dan penjagaan rakyat pada masa Umar bin Khaththab, Umar bin Abdul Aziz, dan khalifah-khalifah setelahnya, cukup menjadi bukti jaminan kebaikan dari penerapan sistem Islam. Sementara sejarah kehidupan setelah hegemoni sekularisme kapitalisme global justru dipenuhi kisah tragis kesengsaraan, akibat penjajahan dan kerakusan negara-negara besar. Oleh karena itu, sudah saatnya umat kembali kepada sistem Islam, agar problem-problem kesejahteraan sosial, bahkan krisis multidimensi lainnya bisa segera diselesaikan secara tuntas dari akar hingga ke cabang. Insyaallah, tidak hanya umat Islam yang akan beroleh kebaikan, tetapi umat segera keseluruhan, bahkan semua makhluk semesta alam. Allah Swt. berfirman, وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ "Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (QS al-A'raf: 96).

MENAPAKI JALAN GENERASI AL-GHURABA

 


Ini bukan generasi para Nabi, bukan pula generasi yang berjihad di medan perang di tanah Palestina ataupun tanah Suriah, tetapi mereka mampu membuat  para Nabi dan  syuhada ber-gibthah (berangan-angan) di hari kiamat, karena kedekatan mereka dengan Allah dan kedudukan mulia di sisi Allah, bahkan Allah membuatkan mereka mimbar-mimbar dari cahaya kelak di yaumul qiyamah.

Rasulullah saw. bersabda,

“Sesunggunya Allah mempunyai hamba-hamba yang bukan para Nabi dan syuhada. Para Nabi dan syuhada pun ber-ghibthah pada mereka di hari kiamat karena kedekatan mereka dengan Allah dan kedudukan mereka di sisi Allah. Kemudian seorang Arab Badui (yang ada di tempat nabi berbicara) duduk berlutut,seraya berkata, “Wahai Rasulullah, jelaskanlah sifat mereka dan uraikanlah keadaan mereka pada kami!” Rasulullah bersabda, “Mereka adalah sekelompok manusia yang beraneka ragam,yang terasing dari kabilahnya. Mereka berteman di jalan Allah, saling mencintai karena Allah. Allah akan membuat mimbar mimbar dari cahaya bagi mereka di hari kiamat. Orang-orang merasa takut, tetapi mereka tidak takut. Mereka adalah kekasih Allah yang tidak memiliki rasa takut (pada selain Allah) dan mereka tidak bersedih.”

Merekalah Al-ghuraba, yaitu merekalah yang berada pada suatu kondisi keterasingan fase kedua, setelah fase keterasingan zaman Rasulullah saw. dan para sahabat di awal perkara dakwah. Keterasingan yang mirip dengan fase pertama, mungkin saat inilah zamannya.

بَدَأَ الإِسلامُ غريبًا، وسَيَعُودُ غريبًا كما بدَأَ ، فطُوبَى للغرباءِ

“Islam muncul dalam keadaan asing, dan akan kembali asing seperti saat  kemunculannya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing.” (HR Muslim)

Inilah zaman yang ideologi Islam dianggap asing, padahal mengaku berakidah Islam. Inilah zaman yang membuat para pendakwahnya menjadi diasingkan dari negerinya, ada yang diminta keluar dari negerinya bahkan dicabut kewarga negaraanya. Inilah zaman yang generasi Al-ghuraba  dikucilkan dari habitatnya, tidak diberi ruang lagi untuk mendakwahkan agamanya, hingga panji-panji tauhid pun disingkirkan dari peredaran kehidupan negerinya. 

Tapi, berbahagialah generasi Al-ghuraba yang senantiasa mengokohkan kakinya menapaki jejak dakwah Rasulullah saw. Tidak urung para sahabat pun berkeinginan kalau Al-ghuraba itu adalah mereka, ternyata tidak, Al-ghuraba adalah zaman setelah sahabat,

“Akan datang suatu kaum pada hari kiamat kelak.Cahaya mereka bagaikan cahaya matahari. Abû Bakar berkata, “Apakah mereka itu kami wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda, “Bukan, dan khusus untuk kalian ada kebaikan yang banyak. Mereka adalah orang-orang fakir dan orang-orang yang berhijrah yang berkumpul dari seluruh pelosok bumi.” Kemudian beliau bersabda,“Kebahagian bagi orang-orang yang terasing, kebahagiaan bagi orang-orang yang terasing.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah orang-orang yang terasing itu?” Beliau saw. bersabda, “Mereka adalah orang-orang shalih di antara kebanyakan manusia yang buruk. Di mana orang yang menentang mereka lebih banyak daripada yang menaatinya.” (al-Haitsami berkata hadis ini dalam al-Kabir mempunyai banyak sanad, para perawinya sahih).

Apakah yang membuat para Al-ghuraba itu bahagia? Karena mereka diberi Allah kenikmatan dalam mengemban risalah dakwah dimana tidak dirasakan oleh orang-orang munafik dan orang-orang yang mencari aman. Al-ghuraba adalah orang-orang terpilih dalam memperjuangkan Islam kafah walau banyak orang yang menentangnya. Al-ghuraba merasakan kebahagiaan itu melebihi limpahan harta dan dunia dan segala isinya. Rida Allah cukup baginya untuk bahagia walau dalam pembubaran kelompoknya, walau dalam pemutusan jalan rezekinya, walau pengusiran dari negerinya, diminta dicopot kewarganegaraannya karena gara-gara mereka berjuang menegakkan hukum-hukum Allah.

Tidak sedikit pun Al-ghuraba ini lari dari perjuangan walau hampir tak bisa bergerak, apalagi menerima tawaran-tawaran kelompok lain untuk mendukung kekuasaannya, hil yang mustahal. Mereka tetap istiqamah, walau saling berajahan tetap memegang erat fikrah dan thariqah dakwahnya di manapun mereka berada, mereka saling mencintai karena Allah dalam satu visi dan misi yang sama, saling menguatkan dan mendoakan walau satu sama lain belum pernah bertemu. Karenanya mereka sulit untuk digoyahkan, tidak tumbang dengan angin badai dan tidak tertidur denagn angin sepoi-sepoi.

Pengemban dakwah hari ini mencoba menapaki jalan generasi Al-ghuraba, yang senantiasa melakukan perbaikan di tengah kehidupan yang rusak, banyak sekali yang menentangnya sedangkan yang mengikutinya sedikit. Generasi Alghuraba ini terus melangkah dan semakin menguatkan kaki-kakinya di jalan dakwah sehingga mereka mendapatkan mimbar cahaya buatan sang pemilik istana surga. Wallahualam.

Jumat, 02 September 2022

AMALAN SYUKUR

 


Marilah  kita isi dengan pujian-pujian ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai rasa syukur kita atas karunia yang begitu besar yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita. Terutama karunia besar yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada seorang manusia, yaitu karunia iman dan Islam.

Barangsiapa dikasih karunia iman dan Islam, maka seketika itu juga dia telah menjadi orang yang semulia-mulianya manusia. Iman dan Islam adalah tanda bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala cinta kepada seorang hamba. Iman dan Islam adalah tanda bahwa seorang hamba akan menjadi raja-raja di syurga Allah

Apabila ada iman dan Islam dalam hati sesesorang, maka apapun yang terjadi menjadi baik bagi dia. Kalau kaya baik, dengan kaya dia akan tambah amalannya. Kalau miskin baik, karena miskin akan menjadikan sedikit urusannya di dunia dan di akhirat. Kalau sehat baik, dengan sehat dia tambah kuat untuk berbuat kebaikan. Kalau sakit pun baik, karena dengan sakit akan berguguran dosa-dosanya.

Jadi, apapun baik. Hidupnya menjadikan dia baik, karena bertambah pahalanya. Mati pun menjadikan dia baik pula, karena akan menghadap kepada Tuhannya. Bahkan Para Ulama’ mengatakan, kalaupun di dunia ini kita mendapat kesusahan-kesusahan dan kesulitan-kesulitan kita perlu mensyukurinya, karena kesusahan-kesusahan dan kesulitan-kesulitan yang ada di dunia ini akan mempunyai hikmah yang besar.

Dengan kesusahan-kesusahan dan kesulitan-kesulitan itu kita menjadi kurang betah di dunia ini. Kita akan bertambah rindu kepada negeri akhirat. Amalan kita pun akan bertambah baik. Dengan kesusahan-kesusahan dan kesulitan-kesulitan, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuni dosa-dosa kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berkuasa mendatangkan berjuta-juta kesusahan, kok Dia mendatangkan hanya kesusahan itu, maka itu merupakan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita. Ibaratnya kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan seribu kesusahan, kok cuman hanya menurunkan seribu kesusahan, padahal Allah kuasa mendatangkan trilyun-trilyun kesusahan, maka kita pun perlu mensyukuri hal itu.

Maka, orang beriman itu isinya bersyukur saja. Kalau dikasih susah bersyukur dan kalau dikasih gembira pun bersyukur. Apapun keadaannya, bersyukur saja. Itulah orang yang paham, yaitu orang yang punya pemahaman kalau dunia ini diatur oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ditentukan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kesusahan-kesusahan kepada orang beriman bukan untuk menghancurkannya. Akan tetapi, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kesusahan-kesusahan kepada
orang beriman supaya dia tambah banyak pahalanya, tambah kemuliaannya, dan tambah bersih dosa-dosanya.

Kalau orang itu paham, maka dia akan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kegembiraaan. Dia juga akan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kesulitan.
Kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menuruti hajat-hajat kita, bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak kuasa menuruti hajat-hajat kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berkuasa memberikan hajat-hajat kita berjuta-juta kali lipat, bermilyar-milyar, dan bertrilyun-trilyun kali lipat. Akan tetapi, Allah Subhanahu wa Ta’ala menunaikan hajat-hajat kita sedikit demi sedikit itu untuk apa? Jawabnya, karena ada hikmah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Hajat kita yang sebenarnya adalah hajat kita di akhirat nanti. Supaya di sana kita mendapatkan bagian yang sebanyak-banyaknya. Maka, kita duduk dalam keadaan bersyukur, berdiri dalam keadaan syukur. Setiap napas kita, kita isi dengan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kalau kita menjadi orang yang bersyukur, maka kebaikan-kebaikan akan datang dari segala arah. Apa saja yang kita syukuri, nanti di akhirat tiba-tiba akan menjadi kebaikan-kebaikan. Begitu pula sebaliknya, apa saja yang kita keluhkan, nanti di akhirat akan menjadi keburukan-keburukan.

Kita syukuri nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Nikmat iman dan Islam kita syukuri dengan sebenar-benarnya. Nikmat berupa punya teman-teman yang mengamalkan agama itu juga kita syukuri. Karena berkah orang yang mengamalkan agama itu bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk tetangga-tetangganya, bahkan seluruh umat.

Kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebab di kampung kita sudah banyak orang ‘alim dan hafizh al-Qur’an. Nikmat ini perlu kita syukuri, Sebagian ulama’ mengatakan, “Kalau kampung kamu tidak ada yang hafizh al-Qur’an, maka orang-orang kampung itu mendapat dosa semuanya. Dosa gratis tanpa terasa.” Akan tetapi, kalau di kampung kita banyak orang yang hafizh al-Qur’an, banyak ahli ilmu, maka berkahnya akan kembali kepada kita di dunia dan juga di akhirat. Maka, kita syukuri keadaan itu semua.

Kalau keadaan-keadaan ini kita syukuri, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menambah lagi kebaikan dan menambah lagi kebaikan. Untuk itu, semua kebaikan perlu kita syukuri. Entah itu kebaikan dunia ataupun kebaikan agama Kalau kebaikan-kebaikan dunia ini kita syukuri, maka
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberkahi kehidupan dunia ini. Kalau kebaikan-kebaikan agama ini kita syukuri, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menambah keberkahan agama.

Apa saja kita syukuri? Contohnya, ketika kita ke masjid. Ketika kita ke masjid yang kita pikirkan bukan hanya ke masjid, tetapi bagaimana ke masjid dengan syukur. Shalat dengan syukur. Ruku’ dengan syukur. Sujud dengan syukur. Sekali sujud apabila diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala itu
lebih mahal daripada dunia dengan segala isinya. Baca Qur’an dengan syukur. Berjumpa dengan orang Islam dengan syukur. Berjabat tangan dengan orang Islam dengan syukur, karena setiap berjabat tangan dengan orang Islam akan menggugurkan dosa-dosa dan akan maqbul do’a-do’anya.

Kita bisa bernapas dengan satu napas harus bersyukur, karena napasnya orang yang beriman itu mahal. Satu napas yang digunakan untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hasilnya akan kita lihat selama-lamanya, berjuta-juta tahun yang akan datang Maka semua napas kita ini, kita syukuri. Kedipan mata kita ini, kita syukuri. Dengungan telinga kita, kita syukuri. Aliran darah kita, kita syukuri. Kalau semua itu kita syukuri, maka akan menjadi amal kebaikan yang akan kita lihat hasilnya selama-lamanya.

















Rabu, 31 Agustus 2022

TIPUAN SYETAN

 


Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan siang dan malam silih berganti. Dari siang dan malam itu timbullah bulan-bulan dan tahuntahun. Itu semua merupakan perjalanan bagi seorang manusia menuju akhirat yang selama-lamanya.

Mau tidak mau kita akan digiring oleh siang dan malam untuk menuju tempat yang pasti yang telah dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui Para Nabi dan Para Rasul-Nya, yaitu negeri akhirat yang selama-lamanya. Maka, betul-betul rugi orang yang hanya sibuk mencari dunia saja, sehingga dia lupa dengan negeri akhirat yang selama-lamanya.

Rugilah orang yang maju-mundur di dalam amal, sehingga sampai mati tidak ada kesempatan dan tidak ada kesungguhan di dalam membangun akhiratnya.

Kita ini bukanlah manusia pertama di dunia ini, janganlah kita mengira dunia ini akan lama. Kakek-nenek kita dulu ada di dunia, sekarang sudah pergi dari dunia ini. Tetangga kita di kanan kiri kita satu persatu mulai berangkat ke negeri akhirat yang telah dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi kita tidak mau berpikir juga.

Setiap kita melihat orang mati, maka seolah-olah dia saja yang mati, saya tidak akan mati. Kalau kita melihat orang-orang yang berangkat ke akhirat, maka seolah-olah mereka saja yang berangkat, saya tidak akan berangkat.

Kalau kita diberi tahu kehidupan Para Nabi dan Para Rasul ’Alaihimussalam yang siang malam memikirkan akhirat, maka kita akan takjub dan heran, seolah-olah yang butuh akhirat itu mereka saja. Sedangkan kita tidak perlu dengan akhirat.

Inilah kebodohan yang telah masuk ke dalam hati kita, masuk ke dalam pikiran dan sanubari kita, yang telah menjadi watak kehidupan kita siang dan malam. Kita tidak pernah bersungguh-sungguh dengan kehidupan akhirat. Sedangkan akhirat itu adalah perkara yang sungguh-sungguh. Kematian itu adalah perkara yang sungguh-sungguh. Janji Allah Subhanahu wa Ta’ala itu adalah perkara yang sungguh-sungguh. Maka, mesti kita hadapi dengan sungguh-sungguh pula. 

Hari yang mulia ini waktunya kita berpikir sejenak. Apakah akan ada gunanya dunia ini untuk kita? Ketika malaikat Izrail datang menghantarkan diri kita ke negeri akhirat, apakah jabatan ada gunanya, apakah pengaruh ada gunanya, apakah sawah ladang kita ada gunanya, apakah anak istri kita bisa menolong kita, apakah golongan kita, partai kita, bisa menolong kita? Jawabnya: tidak, sama sekali tidak. Oleh karena itu, mengapa kita terus saja tertipu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an :

“Janganlah engkau tertipu dengan kehidupan dunia. Jangan kamu tertipu dengan sang penipu, yaitu syetan.” (Q.S. Luqman: 33)

Syetan mengiming-ngimingi kita kenikmatan-kenikmatan dunia. Padahal syetan tidak punya dunia ini. Dunia ini milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka menakut-nakuti dengan kesusahan-kesusahan. Sedangkan mereka tidak kuasa mendatangkan kesusahan. Hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang kuasa mendatangkan kesusahan.

Maka, janganlah kita menggubris bisikan-bisikan syetan itu. Senantiasa kita mendengarkan dan selalu kita mengingat apa yang telah diiming-imingkan oleh Pencipta alam semesta ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala, melalui Para Nabi ‘Alaihimussalam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengiming-imingi kita, kalau kita takwa kepada Allah, mengamalkan agama dengan sungguh-sungguh, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberkati kehidupan kita ini. Allah akan menjadikan kubur kita menjadi pertamanan-pertamanan syurga. Kemudian kita akan masuk ke dalam syurga kekal abadi, selama-lamanya, bersama Para Nabi, Para Rasul dan wali-wali Allah.

Kesusahan-kesusahan dunia yang dibisikkan oleh syetan ke dalam hati kita sebetulnya tidak ada apa-apanya. Kesusahan bagaimanapun tidak akan mungkin terjadi tanpa kehendak dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kesusahan yang kecil, kesusahan yang besar, hanya terjadi kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala. menghendaki. Tidak usah kamu takut susah. Takutlah kepada yang membikin susah, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kenikmatan yang besar dan kenikmatan yang kecil tidak mungkin akan terjadi tanpa kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka, berharaplah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jangan berharap kepada yang lain. 

NIKMAT YANG AGUNG

 


Senantiasa kita mensyukuri nikmat Allah Yang Maha Besar yang telah diberikan-Nya kepada kita, yaitu nikmat iman dan Islam. Nikmat iman dan Islam adalah nikmat yang besar dan sangat besar. Maka, syetan siang dan malam membuat usaha bagaimana supaya manusia itu lupa dengan nikmat yang begitu besar ini. Kalau manusia sudah upa, dia akan mudah dicuri oleh syetan. Dia akan menganggap bahwa nikmat iman dan Islam adalah nikmat yang biasa-biasa saja. Dia menganggap iman dan Islam adalah nikmat yang biasa-biasa saja sehingga dia pun tidak merawatnya. Na’udzubillahi min dzalik.

Itulah puncak usaha syetan. Pada akhirnya, nikmat ini, kalau tidak diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, bisa hilang dari dada kita.

Di antara nikmat besar yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita adalah kita dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai umat Yang Mulia Nabi Agung Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dengan keberkahan sebagai umat beliau kita menjadi semulia-mulianya umat, karena beliau adalah semulia-mulianya Nabi. 

Karena kita dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala umat Baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka amalan yang nilainya sedikit bernilai sangat besar di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena kita dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai umat Baginda Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka kita mendapat kemuliaan mengamalkan sunnah-sunnahnya, kemuliaan meneruskan perjuangannya. Karena tidak akan ada Nabi lagi, tidak akan ada Rasul lagi, setelah Yang Mulai Baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka umat ini dapat kemuliaan meneruskan perjuangan Beliau.

Bukan hanya sekadar meneruskan perjuangannya saja, tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan umat ini sebagai penanggung jawab perjuangan Yang Mulia Nabi Agung Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bukan hanya sekadar dakwah saja, tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan umat ini sebagai penanggung jawab untuk membangkitkan urusan dakwah di mana-mana di seluruh dunia. Bukan hanya pengamal agama saja, tetapi sebagai penyeru agama. Bukan hanya penyeru agama saja, tetapi penanggung jawab untuk merintis, memulai, dan membangkitkan kerja agama. 

Itu semua adalah bukan hanya sekadar tugas. Itu adalah kemuliaan. Itu adalah karunia. Itu adalah kehormatan yang telah diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada umat ini. Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak menyadarinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan karunia yang begitu besar lagi kepada kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada kita kitab al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kitab yang dijamin keasliannya sampai Hari Kiamat. Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia ini yang masih asli. 

Al-Qur’an dikaruniakan kepada umat ini agar umat ini senantiasa bisa berhubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui al-Qur’an. Mendapatkan nasihat asli dari Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui alQur’an. Maka, sudah semestinya kita mencintai al-Qur’an. Membacanya siang dan malam. Menyemangatkan anak-anak kita untuk belajar alQur’an dan menghapal al-Qur’an. 

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpulkan Ilmu Para Nabi dalam al-Qur’an. Al-Qur’an isinya adalah ilmu yang bermanfaat di dunia ini dan menjadi cahaya di kubur kita. 

Al-Qur’an menjadi kebanggaan pada Hari Kiamat. Bukan hanya sekadar kebanggaan bagi yang membaca saja, tetapi juga menjadi kebanggaan bagi kedua orang tua dan keluarganya. Di sana, di akhirat, orang bisa merasa bangga karena anak-anaknya menjadi hafizh-hafizh al-Qur’an. Di sana, di akhirat, orang bisa merasa bangga karena keluarganya menjadi hafizh-hafizh al-Qur’an. 

Orang merasa bangga bisa berdekatan dengan hafizh-hafizh alQur’an, karena berdekatan dengan ahli al-Qur’an ini pun sudah mendatangkan berkah.

Sekarang mungkin belum tampak, tetapi nanti di akhirat orang-orang yang meremehkan perkara ini akan menyesal. Ternyata ilmu agama adalah ilmu yang besar. Ilmu yang akan ada harganya selama-lamanya saat ilmu-ilmu dunia sudah tidak ada harganya. Di mana dunia mau ada harganya, sedangkan dunia sendiri sudah ambruk, alias kiamat.

Kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala masih memberikan kesempatan kepada kita untuk membangun akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada kita umur beberapa hari. Allah Subhanahu wa Ta’ala masih memberikan kesempatan untuk persiapan pulang ke akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala masih memberikan kesempatan kepada kita untuk memperbaiki hubungan dengan-Nya. Hal itu berarti, Allah Subhanahu wa Ta’ala masih mambuka kesempatan kepada kita untuk bertaubat. 

Umur itu mahal. Sedetik saja umur yang digunakan kita untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bisa untuk membeli istana-istana di syurga. Sebaliknya, kalau umur ini tidak digunakan kita untuk taat, bahkan digunakan untuk maksiat, kalau kita tidak cepat-cepat bertaubat, maka akan menjadi penyesalan yang tidak akan ada habisnya.

Maka pada Hari Jum’at yang mulia ini, kita cangcut tali wondho memperbaiki niat kita lagi. Syetan datang dari arah depan, belakang, kanan, dan kiri kita menggoda agar kita menjadi loyo, agar kita terkesan dengan kehidupan dunia ini, dan lupa dengan kehidupan akhirat yang selama-lamanya. Syetan menggoda kita agar terkesan dengan makhluk lupa dengan Pencipta. Syetan menggoda kita supaya terkesan dengan harta benda, lupa dengan amalan-amalan agama.

Padahal, semua itu kalau kita mau merenung, bagaimana kalau kita ini sudah duduk di Padang Mahsyar? Tentu semua tidak akan ada nilainya apa-apa, selain hubungan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, taat kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan tangisan kita waktu malam karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Amalan yang dibuat kita hanya sedikit saja yang bermanfaat. Amalan-amalan lainnya semua tidak ada nilainya sama sekali.  

DUNIA TEMPAT UJIAN

 


Semua orang menginginkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Akan tetapi, kebanyakan manusia lupa bagaimana caranya untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat tersebut. Para Nabi dan Rasul ’Alaihimussalam, bahkan Nabi yang terakhir, yaitu Baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, semuanya telah memberikan petunjuk kepada manusia bahwasanya syarat pertama

dan yang utama supaya manusia bahagia di dunia dan bahagia di akhirat adalah apabila manusia itu punya hubungan yang benar kepada Penguasa dunia dan Penguasa akhirat, kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Siapa yang ingin kebahagiaan dunia ini tanpa berhubungan baik dengan Pencipta dunia, Allah Subhanahu wa Ta’ala, pasti dia akan gagal. 

Siapa yang ingin kebahagiaan akhirat nanti tanpa ada hubungan baik dengan Penguasa akhirat, Allah Subahanahu wa Ta’ala, pasti dia akan menyesal. Hadirin yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Itu salah satu makna dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Barangsiapa yang takwa, maknanya yakinnya kepada Allah Allah Subhanahu wa Ta’ala benar, kehidupannya siang dan malam dalam taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan jalan keluar dari segala masalahnya. Hal itu berarti, orang takwa itu juga mempunyai banyak masalah di dunia ini.

Memang dunia ini diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala penuh dengan masalah. Namun, akhirnya masalah tersebut diberi jalan keluarnya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang-orang yang benar-benar takwa dijamin oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka, setiap kesulitan apapun yang dihadapinya akan diselesaikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Dan akhir (yang baik) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al A’raf: 128)

Janganlah kita berharap hidup tanpa ada masalah. Memang dunia ini diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala penuh dengan masalah. Masalah itu bukanlah masalah yang sebetulnya. Masalah itu untuk meningkatkan derajat orang-orang yang beriman. Masalah itu pun untuk menjatuhkan derajat orang-orang yang tidak beriman.

Masalah di dunia ini justru supaya membuat kita sadar bahwa dunia ini bukanlah tempat kita yang sebenarnya. Tempat kita yang sebenarnya adalah akhirat. Masalah-masalah yang datang kepada kita di dunia ini adalah untuk meningkatkan derajat kita di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Masalah-masalah yang datang kepada kita di dunia ini adalah untuk menghapus dosa-dosa yang telah kita buat.

Tidak henti-hentinya musibah datang kepada orang beriman, sehingga akhirnya dia mati dalam keadaan bersih dari segala dosa. Ia menghadap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mendapatkan ridho Allah. Akhirnya ia pun masuk syurga tanpa hisab. 

Akan tetapi, bagi orang yang tidak bertakwa, masalah-masalah itu justru menambah dia semakin jauh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menambah dia makin banyak dosa. Menambah dia kian sengsara di dunia sebelum mendapatkan adzab di akhirat. Inilah kehidupan dunia.

Memang kehidupan dunia bukanlah kehidupan yang menyenangkan terus-menerus. Tidak ada kehidupan seperti itu. Orang-orang suci pun, Para Nabi dan Para Rasul ’Alaihimussalam juga menghadapi masalahmasalah. Para Shahabat Radhiallahu ‘Anhum pula menghadapi masalah-masalah. Wali-wali Allah jua menghadapi masalah-masalah. Akan tetapi, tetap saja mereka menjadi orang-orang yang mulia di dunia sebelum di akhirat. Maka, janganlah engkau menjadikan masalah-masalah di dunia ini sebagai alasan untuk menjauhkan diri dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Berseru penyelesai masalah adalah kalau kita betul-betul ta’alluq kepada Allah, bergantung kepada Allah, taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tambah banyak masalah, tambah bergantung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tambah banyak masalah, tambah taat kepada Allah. Tiba-tiba masalah berubah menjadi berkah. Ini adalah dunia. Dunia ini tidak lama. Hari berganti hari. Tiba-tiba akhirat yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah sampai di depan mata kita. Dunia akan hilang, akhirat akan datang. 

Kematian akan datang, harta benda akan habis ditinggalkan. Tinggal hisabnya saja yang berkepanjangan. Mati akan datang. Sedangkan kita tidak bisa bertaubat lagi, tidak bisa beramal lagi. Kemudian kita akan menyesal, “Kenapa saya tidak beramal?! Kenapa saya tidak bertaubat?!”

Maka, bertaubatlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebelum kematian itu datang. Kematian akan datang di waktu-waktu yang tidak kita sangkasangka. 

Katakanlah, sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya, akan menjumpai kamu juga. Kemudian kamu semua akan dihadapkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan bercerita kepada kamu mengenai amalan-amalan kamu di dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak perlu laporan kepada siapa saja. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak perlu bertanya kepada siapa saja. Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah tahu segala-galanya. Justru kalau kita menghadap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang akan bercerita kepada kita, “Kamu dulu berbuat begini, kamu dulu berbuat begini.”

Alangkah beruntungnya kalau orang itu taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala ridho, “Dulu kamu senantiasa berbuat apa yang Aku ridhoi.”

Dan alangkah celakanya seorang hamba yang menghabiskan umurnya dalam maksiat. Dan kemudian dia tidak mau bertaubat. Lalu Allah berfirman kepada dia,“Kamu dulu berbuat begini, kamu dulu berbuat begini. Kamu kira Saya tidak tahu?!” Itulah malapetaka yang sebesar-besarnya.

Maka, pada Hari ini marilah kita perbarui niat kita. Bagaimana sisa-sisa umur kita ini hanya untuk tawajuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menghadapkan hati kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bermohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Taubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menangis kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga kita di dunia menjadi orang-orang yang berkah dan di akhirat menjadi orang-orang yang mulia.